Polemik Kotak Suara Kardus Akibat Buruknya Komunikasi KPU

0

PENGGUNAAN kotak suara berbahan karton atau kardus dinilai Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampouw, bukan hal baru dalam penyelenggara pemilu. Meski, kini jadi polemik di tengah masyarakat terkait keamanan dan kerahasiaan surat suara dan potensi kecurangan yang dianggap semakin besar.

“KOTAK suara berwarna putih dengan tulisan KPU di salah satu sisi, ada jendela plastik di sisi depan itu sudah lama digunakan sewaktu Pilpres 2014 dan tiga kali pemilihan kepala daerah (pilkada). Jadi, bukan barang baru,” kata Jeirry Sumampouw kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Jumat (21/12/2018).

Menurut dia, kotak suara berbahan karton merupakan barang habis pakai yang umum digunakan berbagai negara di dunia. Secara legal, Jeirry menyebut hal itu sudah disetujui DPR RI melalui Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2018, melalui pengesahan dari Kemenkumham.

BACA :  Kotak Suara Pemilu 2019 Kardus Kedap Air dan Transparan

“Dalam pasal 7 ayat (1) PKPU itu mengatur kotak suara Pemilu 2019 berbahan dasar karton kedap air yang transparan satu sisi atau disebut juga dupleks. Jadi, bukan masalah, hanya belum terinformasikan dengan baik di tengah masyarakat,” ucapnya.

Bagi dia, kotak suara karton tidak menjadi permasalahan serius, karena tetap kokoh pada setiap sisinya dengan ukuran 40 x 40 x 60 cm. “Justru yang terjadi adalah komunikasi KPU yang buruk. Sejak awal tahun, tidak ada informasi bagi pemilih atau masyarakat, sehingga membuat orang akhirnya berasumsi sendiri. Beritanya pun menjadi viral di mana-mana,” tutur Jeirry.

BACA JUGA : Kotak Suara Pemilu 2019 dari Kardus Tebal Mirip Kaleng Krupuk

Alhasil, menurut dia, kabar itu menjadi tendensi negatif dengan menghubungkan kecurangan pemilu yang dibentuk melalui opini oleh pihak-pihak tertentu untuk mempolitisir isu sehingga masyarakat termakan.

“Jadi seolah-olah masalah ini masih sesuatu yang baru padahal dalam pilkada sebelumnya sudah digunakan,” kata Jeirry.

Dia menilai, KPU belum memberikan penjelasan yang proporsional kepada publik tentang kotak suara karton sejak disetujui DPR atau disahkan Kemenkumham pada April 2018 lalu.

“Jika kita berbicara kecurangan di kotak suara, saya kira itu bukan soal bahan,” ucapnya.

Tetapi, menurut Jeirry, yang harus menjadi fokus maupun kontrolnya ada pada pengelola yang profesional dan mandiri, serta memiliki integritas dalam menghindari kecurangan pemilu.

“Saya kira kecurangan itu yang dikhawatirkan makin kecil. Bahkan, tidak ada. Namun, andaikata memiliki niat curang atau manipulative, maka dipastikan berpotensi,” ujarnya.

Jeirry menyatakan, menjaga atau mengontrol pengelola jauh lebih penting dibandingkan berpolemik terkait kotak suara.

BACA LAGI :  Buka Kotak Suara, Satu TPS di Kabupaten Tabalong Bakal Laksanakan Pemungutan Suara Ulang

Bagi dia, penjelasan KPU agak rawan dan tidak tepat dalam menjelaskan dan punya potensi yang bisa dimainkan. Misalnya, Ketua KPU RI Arief Budiman ketika mendemonstrasikan kekuatan kotak suara dengan menyemprotkannya dengan air, serta mendudukinya di kantornya, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

“Jika tiba-tiba ada orang iseng atau sengaja membuat kotak suara seperti itu. Persisnya sama, kelihatannya seperti itu lalu dibuat video dan diviralkan, itu tentu akan membuyarkan semua penjelasan yang sudah dibuat oleh KPU,” ujarnya.

Jeirry menegaskan, ini bukan masalah seberapa menahan beban seorang Arief Budiman. Namun, yang perlu dilakukan KPU adalah meyakinkan orang bahwa proses itu aman.

“Mau pakai koran atau kertas pun, jika memang orang bisa percaya dengan mekanisme yang dibangun KPU, maka tidak menjadi masalah,” pungkasnya.(jejakrekam) 

Penulis Arpawi
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.