Dinamika Medsos Gambaran Aspirasi Politik Warganet Jelang Pilpres
TERBELAHNYA dua kubu dukungan masyarakat jelang Pilpres 2019, sepatutnya disikapi dengan bijak. Bagi pengamat komunikasi politik FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Fahrianoor, saat ini lewat media sosial (medsos) ekspresi dukungan bisa terlihat terhadap dua bakal calon pemimpin nasional.
“INI artinya, bagi yang mendukung #2019gantipresiden atau #jokowiduaperiode, itu merupakan buah dari ekspresi dukungan. Realitas dan dinamika yang terjadi di tengah masyarakat harusnya dihargai,” ucap Fahrianoor kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Selasa (4/9/2018).
Kandidat doktor ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini menyesalkan justru ada sebagian kelompok yagn tidak dewasa dalam berpolitik dalam menyikapi #2019gantipresiden maupun #jokowiduaperiode.
“Ini menjadi fakta bahwa sebagian masyarakat kita belum dewasa dalam berpolitik. Apalagi, sampai ada yang mengancam Ustadz Abdul Somad untuk berceramah oleh kelompok tertentu, tentu kedewasaan politik kita mengalami kemunduran,” papar sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Ia khawatir masalah semacam ini justru terus digoreng, sehingga demokrasi di Indonesia yang tengah berjalan terus mengalami kemunduran dan kejumudan. “Tanda-tandanya adalah munculnya kelompok yang tak mau berbeda. Mereka justru ingin mempertahankan kepentingan kelompoknya,” cetus Fahrianoor.
Bagi dosen muda ini, sikap-sikap anti demokrasi ini harus segera diakhiri. Sebab, masyarakat yang lebih dewasa dalam berpolitik tentu akan memahami sebuah perbedaan. “Berbeda politik itu hal yang biasa. Namun, ketika ada kelompok yang ngotot ingin mempertahankan rezim tertentu terus berkuasa secara membabibuta, juga tak baik dalam perkembangan demokrasi di Indonesia,” tuturnya.
Lebih parah lagi, menurut Fahrianoor adalah tindakan radikalisme politik di balik kekuasaan. Dengan hadirnya kelompok-kelopok tertentu yang bertindak radikal dan condong terjadi pembiaran secara sistemik.
“Sikap-sikap anarkis semacam ini tak boleh ada pembiaran. Ini berbahaya, justru ketika tidak toleran terhadap kelompok yang berbeda, tindakan ini otokritik bagi pemerintah, khususnya aparat keamanan,” tegas Fahrianoor.
Ia juga berharap agar aparat keamanan cukup objektif dalam bertindak, dan tidak melakukan persekusi dan lainnya. Bagi Fahriannor, hal itu merupakan dinamika politik dan sosial media yang diaktualisasikan para pendukung masing-masing calon pemimpin nasional.
“Sepanjang pemerintah tetap benar, saya rasa tak ada masalah jika muncul berbagai kritikan, terkhusus di media sosial. Namun, apa yang terjadi di media sosial adalah gambaran aspirasi politik para aktivis dan warganet,” ucap Fahriannor.
Dosen ilmu komunikasi FISIP ULM ini menyarankan agar bahasa-bahasa dukungan ataupun penyuaraan dibiarkan saja bergulir, sepanjang tak mengandung hoax, fitnah dan hasutan. “Sebab, hal itu menjadi bagian dari dinamika politik itu sendiri,” pungkas Fahrianoor.(jejakrekam)