Manuskrip Kuno Masih Dianggap Keramat, Kenapa Belajar Keindonesiaan Harus ke Belanda?

0

ADA adagium berkembang jika ingin belajar tentang Indonesia datanglah ke Museum Leiden, Belanda. Pernyataan ini terbilang wajar, karena di museum ini mengoleksi sedikitnya 260 ribu manuskrip kuno Indonesia.

BANDINGKAN dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia hanya memiliki 103 ribu manuskrip kuno negeri ini, atau 2,5 kali lipat lebih banyak terdapat di museum yang berada di bawah pembinaan Universitas Leiden, Provinsi Zuid Holand, Belanda.

Selain di Museum Leiden, koleksi artefak dan lainnya juga tersimpan di Tropenmuseum Amsterdam, yang berdiri pada 1864 sebagai museum terbesar antropologi dan etnologi di Belanda.

Ada pula, Rijksmuseum Amsterdam, dari barang antik yang dikoleksi termasuk di dalamnya adalah Intan Banjarmasin, hasil rampasan Perang Banjar yang awalnya dimiliki Sultan Adam. Koleksi ke-Indonesia-an juga terdapat di Museum Volkenkunde Amsterdam, Museum Maluku di Utrecht, hingga Museum Sophiahof di Den Haag.

Banyak karya momental kesejarahan Indonesia ditulis para sarjana Barat (Belanda), terkhusus Banjar, Kalimantan Selatan juga didapat dari koleksi museum-museum tersebut. Di antaranya, Hikayat Banjar karya s JJ Rass, Hikayat Lembu Mangkurat yang disadur dari penulis sarjana Belanda, AA Cense dalam sebuah disertasinya.

BACA : Dari Naskah Kampung Melayu Dan Marabahan, Kitab Sabilal Muhtadin Dicetak Di Makkah Dan Istanbul

Termasuk, beberapa karya Begawan Sejarawan Banjar Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Idwar Saleh juga mengutip beberapa manuskrip yang jadi koleksi museum di Belanda, hingga jadi rujukan sahih soal kesejarahan Banjar.

Hingga, penyusunan kembali Kitab Sabilal Muhtadin pun didapat dari manuskrip kuno yang disimpan zuriat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (Datu Kelampayan) yang dikenal dengan Naskah Kampung Melayu dan Marabahan.

Dari penelusuran akademisi FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dr Taufik Arbain menemukan adanya manuskrip surat Sultan Banjar Muhammad Seman kepada penguasa Serawak, James Brooke dengan angka tahun 1885 ternyata jadi koleksi Museum Brunei Darussalam.

BACA JUGA : Mengenal Aksara Arab Melayu dan Huruf Jawi

Bahkan, keturunan Pangeran Hidayatullah (Raja Kesultanan Banjar, 1859-1862) dari Jakarta, Pangeran Yusuf Isnendar menyebut ada harta Kesultanan Banjar disita oleh kolonial Belanda diboyong ke Negeri Kincir Angin itu, usai pembumihangusan keraton di Martapura pada 11 Juni 1860 sebanyak 21 item diliris Yayasan Pangeran Hidayatoellah, Cianjur.

Di antaranya, Kursi (Singgasana) Kerajaan berlapis emas dengan nama “De Troon van Sultan Adam”, Mahkota dari emas bertahtakan berlian dan batu mulia dengan nama ” De Kroon ven Sultan Adam”, Intan 120 karat, 103 karat, 83 karat, 70 karat, 40 karat, dan 30 karat, Sejumiah uang emas dan perak.

BACA JUGA : Kitab Perukunan dan Sabilal Muhtadin, Bukti Ulama Banjar Berpengaruh di Dunia Islam Melayu

Kemudian ada pula, payung tinggi salut emas, payung ubur-ubur, Keris Naga, Keris Baru Lembah Panduk bertabur intan. Berikutnya,  tombak si Maruta,Tombak Kala Barcu, Tombak si Sasa, tombak Kalontaka, tombak si Macan, teming emas, teming perak, gong Menah, Gamelan si Rarancakan, Batung Pakasan Nabi, Marjan si Gantar Bumi, bokor emas, paludahan emas. 

Naskah kuno atau manuskrip Banjar dalam ejaan Arab Jawi serta surat harta Kesultanan Banjar yang disita oleh Belanda dari keturunan Pangeran Hidayatullah di Cianjur. (foto docplayer/istimewa).

Ada anggapan umum jika Indonesia itu dijajah oleh Belanda selama 3,5 abad sebenarnya terbantahkan. Mengapa? Sebab selain Belanda, sebenarnya Inggris juga pernah menduduki wilayah Kesultanan Banjar.

BACA JUGA : Manuskrip Kebudayaan Banjar Dibedah di Brunei Darussalam

Nah, jika diukur berakhirnya perang Banjar versi catatan Belanda dan meredupnya perlawanan, hanya setengah abad dari 1859-1906. Atau dalam hitungan kasar, Belanda hanya bisa menguasai Tanah Banjar dengan penghapusan Kesultanan Banjar sepihak pada 11 Juni 1860 dikorelasikan dengan Proklamasi Kemerdekaan Kalimantan yang dicetuskan tokoh revolusi fisik Banua, Hassan Basry pada 17 Mei 1949, maka hanya sekira 89 tahun.

BACA JUGA : Intan Sultan Adam, Rampasan Perang Banjar yang Kini Dikoleksi Museum Belanda

Akademisi dan peneliti sejarah Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur mengakui banyak manuskrip atau naskah kuno disimpan di negeri Belanda, termasuk soal kesejarahan Kalimantan Selatan, Banjar pada khususnya.

“Manuskrip yang termasuk naskah kuno yang ada di Kalsel juga masih disimpan masyarakat. Pemeliharaannya pun masih secara perorangan atau kelompok. Inilah kesulitan kita ketika untuk melacaknya,” kata Mansyur kepada jejakrekam.com, Selasa (21/2/2023).

BACA JUGA : Bahas Pengembalian Harta Kesultanan Banjar, Jurnalis Belanda Wawancara Keturunan Pangeran Hidayatullah

Magister sejarah lulusan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengungakpkan kebanyakan manuskrip atau naskah kuno itu masih disimpan para zuriat atau ahli waris. Kemudian, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikut secara turun temurun.

“Sebagian mereka masih menganggap keramat atau memiliki nilai magis, sehingga tidak bisa semua orang bisa membuka, apalagi membacanya,” kata Mansyur yang juga mendalami ilmu filologi ini.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/02/21/manuskrip-kuno-masih-dianggap-keramat-kenapa-belajar-keindonesiaan-harus-ke-belanda/
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.