Oleh: Dirham Zain
KENDATI delapan dari sembilan (9) parpol atau Fraksi DPR RI menolak sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup, kemudian didukung kesimpulan rapat kerja (raker) Komisi II DPR RI dengan Mendagri Tito Karnavian.
RAKER itu juga diikuti Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), KPU dan Bawaslu R. Intinya sepakat menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun, masih ada pihak tertentu yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, sambil menunggu amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia.
Kehendak untuk mengembalikan sistem pemilu dari terbuka ke sistem tertutup adalah kemunduran demokrasi (setback). Kendati dalam perspektif yuridis, apakah pemilu sistem terbuka atau tertutup merupakan varian pilihan legal pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah).
Akan tetapi, sistem tertutup jelas mengabaikan hak dan kedaulatan rakyat guna memilih calon legislatif (caleg) sebagai wakil mereka di parlemen. Ini merupakan alasan pertama.
BACA JUGA : Cegah Pelanggaran Pemilu, Bawaslu Kabupaten Banjar Gelar Sosialisasi Peraturan Pengawasan
Alasan kedua adalah sebelumnya sudah ada Putusan MK RI Nomor 22-24/ PUU-VI/ 2008, tanggal 23 Desember 2008 yang menguatkan sistem pemilu proporsional terbuka.
Kemudian alasan ketiga, menurut saya bahwa enam orang penggugat tersebut bukan partai politik peserta Pemilu 2024, sehingga gugatan mereka absurd (tidak logis) dan rancu. Hal ini karena tidak jelas hak konstitusional mereka dirugikan oleh sistem pemilu proporsional terbuka tersebut.
BACA JUGA : Berlangsung 2 Hari, Bawaslu Banjar Sosialisasikan Peraturan Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu 2024
Alasan keempat adalah penggugat meminta MK agar menghapus Pasal 420 huruf (c), dan huruf (d), dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Padahal ketentuan dalam pasal ini terkait metode Sainte Lague di mana suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan ganjil 1, 3, 5 dan seterusnya.
Oleh karena itu, jika MK mengabulkan petitum penggugat, lantas bagaimana caranya membagi perolehan kursi parleman ke partai politik peserta Pemilu 2024 di suatu daerah pemilihan (dapil)?
BACA JUGA : Hadapi Politik Uang di Pemilu 2024, Akademisi ULM Sarankan Bawaslu Bisa Dekati Ulama
Kemudian, alasan kelima bahwa penggugat meminta MK menghapus pasal 422 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Lha, kalau Pasal 422 ini dihapus, berarti anggota dewan boleh diusulkan oleh partai politik, kendati yang bersangkutan tidak menjadi caleg alias tidak terdaftar sebagai caleg khususnya dalam daftar caleg tetap (DCT). Ini jelas celaka!
Atas dasar kajian dan uraian tersebut di atas, maka prediksi saya, bahwa gugatan mereka akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi RI. (jejakrekam)
Penulis adalah Koordinator Staf Khusus Bupati Tanah Bumbu
Wakil Ketua DPW PKB Provinsi Kalimantan Selatan