Punya Legal Standing Kuat, BLF Optimistis Gugatan Judicial Review UU Provinsi Kalsel Dikabulkan MK

0

DIREKTUR Borneo Law Firm (BLF) Dr Muhamad Pazri optimistis gugatan judicial review terhadap UU Provinsi Kalsel terkait pemindahan ibukota provinsi dari Banjarmasin ke Banjarbaru ke Mahkamah Konstitusi (MK) akan berjalan mulus.

“TAHAP awal paling maksimal pada 31 Maret 2022, gugatan judicial review atas UU Provinsi Kalsel yang memuat pasal pemindahan ibukota provinsi dari Banjarmasin ke Banjarbaru sudah siap secara administrasi. Selanjutnya, pada pekan pertama April 2022, sudah siap formulasi substasi judicial review,” kata Muhammad Pazri kepada jejakrekam.com, Selasa (15/3/2022).

Berdasar data, fakta dan informasi baik dari aspek historis dan lainnya, Pazri mengatakan jika rencana memindahkan ibukota provinsi ke Banjarbaru sepatutnya Pemprobv Kalsel membuat kajian atau penelitian.

“Pemprov Kalsel seharusnya membentuk tim pemindahan ibukota yang dikuatkan dengan surat keputusan (SK) Gubernur Kalsel terbaru. Nah, dalam pengamatan kami sementara, tidak ada itu,” kata doktor hukum lulusan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini.

BACA : Bentuk Forkot Banjarmasin, 52 Dewan Kelurahan Siap Gugat UU Provinsi Kalsel ke MK

Termasuk, kata Pazri, sepatutnya saat memindahkan ibukota Provinsi Kalsel karena berkelindan dengan hajat orang banyak, tentunya harus melibatkan dua walikota dan 11 bupati se-Kalsel, bukan hanya Pemprov Kalsel.

Berdasar kajian dari BLF, Pazri mengatakan untuk legal standing bisa kuat saat mengajukan gugatan judicial review, bisa mencontoh putusan MK terkait pemindahan ibukota provinsi atau kabupaten lain di Indonesia.

“Legal standing pemberi kuasa sebagai pemohon ke Borneo Law Firm (BLF) versi masyarakat, bisa berasal dari berbagai kalangan,” kata advokat muda ini.

BACA JUGA : Sindir UU Provinsi Kalsel dengan Pantun, Walikota Ibnu Sina : Kalu Pina Katulahan Lawan nang Tuha!

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. (Foto Pontas.id)

Dia mencontohkan seperti 52 Dewan Kelurahan yang tergabung dalam Forum Kota (Forkot) Banjarmasin, tokoh masyarakat dari 13 kabupaten/kota, tokoh agama, tokoh mantan-mantan pejabat Kalsel, profesor (guru besar) dan doktor, aparatur sipil negara (ASN), wartawan, seniman, budayawan, OKP, LSM, ormas atau paguyuban yang memiliki badan hukum atau AD/ART, mahasiswa, guru, dosen, kalangan profesi dan pekerja lain, ibu rumah tangga, karyawan swasta dan wiraswata atau pengusaha.

“Khusus di MK, tentu pembuktian harus dikuatkan dengan bukti surat, surat pernyataan, berita acara, daftar hadir, saksi-saksi minimal lima orang dan tiga ahli yang dikuatkan dengan kartu identitas diri,” papar Pazri.

BACA JUGA : UU Kalsel Ada 2 Versi; 8 Pasal dan 49 Pasal, Pazri : Bisa Dibenturkan dengan UUD 1945!

Mantan Presiden Mahasiswa ULM ini mengatakan semua elemen masyarakat pemberi kuasa ke BLF bisa memperkuatkan gugatan judicial review ke MK. “Tentu saja akan lebih kuat memberikan gambaran, sikap dan suasana minimnya partisipasi publik terhadap pembentukan UU Provinsi Kalsel, khususnya terkait pemindahan kedudukan ibukota provinsi,” papar Pazri.

Atas dasar itu, Pazri hakkul yakin pembuktian bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 teramati pada alasan paling kuat pada proses dan tata cara pembentukan sudah sarat pelanggaran. Sebab, tidak berlandasan filosofis, sosiologis, yuridis dan historis.

BACA JUGA : Hakim Kabulkan Gugatan Class Action Korban Banjir Kalsel, Pazri: Ini Kemenangan Rakyat

Magister hukum lulusan ULM ini merincikan pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 khusus permohonan pengujian formil, diajukan maksimal 45 hari sejak UU atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara RI.

“Sedangkan, Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratutan Perundang-Undangan bahwa UU itu disahkan oleh presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak UU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan presiden,” urainya.

Masih menurut Pazri, pada Pasal 73 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2018 menyatakan dalam hal UU tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama, UU tersebut sah menjadi dan wajib diundangkan.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.