Menanti Gebrakan NU ke Depan, Apakah Revolusi atau Transformasi?

0

Oleh : Ahmad Zaki

RAMAI diperbincangkan dan diperdebatkan di berbagai media sosial mengenai arah gerak Nahdlatul Ulama (NU) usai terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat Muktamar NU ke-34 Lampung, beberapa waktu lalu.

ADA yang menarik dari berbagai tulisan yang ada. Yakni, dari status facebook Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) M Najib Azca dengan mengutip pidato Ketua Umum PBNU terpilih Gus Yahya saat tasyakuran di Pondok Pesantren Krapyak. Topiknya mengenai kaum revolusioner kekanakan (infant revolutionaries) dan transformasi NU.

Najib Azca pun menyatakan Kaum Revolusioner kekanakan yang dinyatakan oleh Gus Yahya. Yakni,  mereka yang mendukung revolusi, tetapi tidak memikirkan cita-cita bersama dan hanya mementingkan posisi.

Kalau merujuk dari kemunculan NU dulu yang notabenenya dilahirkan dari rahim para ulama kharismatik diinisiasi oleh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. NU merupakan organisasi kebangkitan ulama merevolusi tatanan perubahan dunia dan untuk peradaban masyarakat Indonesia pada saat itu masih terbelenggu penjajahan serta terkotak-kotaknya perjuangan.

BACA : PWNU Kalsel Minta Gus Yahya Jadikan NU Lokomotif Kebangkitan Ekonomi Umat

Untuk hal kekinian dimana Indonesia sudah ‘merdeka’ tidak ada lagi revolusi yang dimaksud, karena di dalam tubuh NU tidak ada revolusi apapun. Yang ada hanya sebuah transformasi pemikiran.

Istilah transformasi yang selalu ditebar ini bisa juga merujuk dari judul buku yang ditulis oleh Gus Yahya pada tahun 2020 yang berjudul PBNU, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama. Dalam tulisannya, Gus Yahya selalu ingin mengedepankan tradisi-tradisi ke-NU-an dengan kaum sarungannya.

Dalam tradisi NU yang selalu identik dengan dunia santri dan pondok pesantren tradisional (kitab kuning) ini ada sebuah kata:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح

al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru lebih baik.

BACA JUGA : Lanjutkan Estafet di Tanfidziyah, Gus Yahya Dinilai Layak Pimpin PBNU

Nahdhiyin sebagai warga Indonesia memiliki hak yang sama dalam politik, dan ikhtiar Gus Dur  (KH Abdurrahman Wahid) adalah penyaluran aspirasi politik nya di salah satu parpol yang lahir dari NU. Memang benar kalau PBNU itu sendiri tidak harus dikooptasi oleh salah satu parpol saja. Bahkan harus steril dari parpol agar tidak ada kepentingan-kepentingan di dalamnya.

Karena sesuai dengan konsep yang dicanangkan oleh Gus Yahya dalah jam’iyah diniyah ijtima’iyah menginginkan PBNU tidak terbelenggu oleh parpol.

Kita tunggu kepengurusan baru PBNU masa khidmat 2021-2026 yang akan diumumkan oleh Gus Yahya pada saat Hari Lahir NU pada 31 Januari 2022. Apakah nanti kepengurusan PBNU yang baru dengan gebrakannya merupakan sebuah revolusi atau hanya transformasi.(jejakrekam)

Penulis adalah Kultural NU

Koordinator Forum Intelektual Muda

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.