Bukan Menakuti Masyarakat, Pakar Hukum ULM Sebut Politik Uang Sumbernya dari Peserta Pilkada

0

PAKAR hukum tata negara Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dr Muhammad Effendy mengakui publik kerap hanya menyoroti penyelenggara pilkada atau pemilu dan masyarakat yang rawan terhadap politik uang.

“SEMENTARA, pesertanya atau kontestan pilkada sendiri yang melakukan pelanggaran, termasuk melakukan politik uang, luput dari sorotan. Setelah pemungutan suara ulang (PSU) pilkada, yang dibicarakan di tingkat bawah, adalah soal dapat berapa, siapa yang memberikan,” tutur Effendy dalam diskusi politik dihelat Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin di Rumah Alam Sungai Andai, Sabtu (12/6/2021).

Mantan Dekan Fakultas Hukum ULM ini mengatakan bagi peserta pilkada, politik uang itu apakah itu merupakan pelanggaran atau bukan, sepertinya tidak terlalu dipahami, sehingga tekanan publik untuk menolak politik uang sama sekali tidak terjadi.

“Begitu juga berbagai komentar atau apresiasi dari para calon terhadap berbagai hal yang mereka komentari di media sosial, sepintas bukan kampanye, padahal semua tahu itu bagian dari kampanye terselebung, sehingga sulit bagi penyelenggara menindaknya,” ucap Effendy.

Mantan anggota KPU Provinsi Kalsel ini mengatakan solusi tidak semata pada perbaikan regulasi, penguatan penyelenggara juga sangat penting. Bagi Effendy, jika penyelenggara kuat, tentu mereka dapat menjadi wasit yang adil bagi semua peserta.

BACA : Jika Politik Transaksional, Oligarki Campur Tangan, Isra : Pilgub Kalsel Hingga PSU Contoh Anomali

“Penyelenggara semestinya lebih banyak memberikan edukasi kepada masyarakat, bukan menakut-nakutinya atau menjadikannya sebagai pihak yang diadili. Padahal politik uang itu sumbernya dari peserta. Kenapa yang ditindak bukan peserta, karena penyelenggara tidak cukup kemampuan menindaknya,” ucap Effendy.

Sementara itu, dosen FISIP ULSM Banjarmasin Dr Mahyuni mengakui  tantangan bagi penyelenggara adalah bukan pada ketidakmampuan dalam menjalankan tugasnya sesuai UU yang berlaku.

“Tapi berbagai ancaman intimidasi, dilakukan oleh para calon dan tim pemenangan yang tidak ingin calonnya sampai kalah. Intimidasi, terutama terkait berbagai pelanggaran hukum dan sanksinya bagi penyelenggara, adalah bentuk intimidasi yang sangat berat, hal tersebut sangat berpengaruh terhadap mental para penyelenggara,” papar mantan Ketua Bawaslu Kalsel ini.

BACA JUGA : Pakar Hukum ULM Sebut Politik Uang Bisa Dipakai Bayar Pemilih agar Tak Mencoblos ke TPS

Mahyuni setuju agar penyelenggara mestinya lebih fokus pada soal edukasi pemilih, agar partisipasi meningkat dan pengasan partisipasi semakin luas. Dengan demikian, rakyat terlibat mengawasi, bukan hanya oleh pengawas pemilu yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas.

Berikutnya, Dr Muhammad MED, mantan Wakil Bupati HS Berry Nahdian Furqon, matan komisioner KPU Batola Khariadi Asa dan Noorhalis Majid juga memberikan komentarnya.

Meski diskusi diselingi rintik hujan yang terus membasahi rumah alam, namun tetap berlangsung dengan hangat. Kesepakatan pun diambil untuk gerakan penguatan masyarakat sipil dalam memulihkan demokrasi yang sudah dikuasai kelompok oligarki.

Isu-isu seperti Save Meratus, penyelamatan lingkungan, kemiskinan, pendidikan, harus menjadi isu utama dalam demokrasi.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.