Terlarang, Tradisi Baladuman dan Balatupan di Bulan Ramadhan yang Mulai Dilupakan

0

SEDARI dulu, masyarakat Banjar memiliki tradisi unik saat memasuki bulan Ramadhan. Salah satu tradisi yang mungkin kini mulai ditinggalkan seakan terlupakan, bahkan terlarang adalah baladuman dan balatupan.

BALADUMAN biasanya identik dengan tradisi perang meriam karbit atau minyak tanah. Medianya biasanya berupa batang pohon kelapa atau batang bambu yang tebal (paring latung). Sedangkan, balatupan lebih pada letupan atau bunyi yang keras dari petasan atau alat khusus yang dibikin sendiri.

Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Kalsel, Humaidy Ibnu Sami mengakui tradisi baladuman atau balatupan biasanya diambil dari bahan dan peralatan yang bersumber dari lingkungan.

“Karena diambil dari lingkungan sendiri, tidak berbiaya mahal, apalagi sampai disebut sebagai membakar duit yang terkesan sebagai perbuatan mubazir dan berpoya-poya dari orang kaya dan berpunya,” tulis Humaidy Ibnu Sami di akun facebooknya, dikutip jejakrekam.com, Minggu (2/5/2021),

Menurut Humaidy, baladuman merupakan kegiatan yang mengeluarkan bunyi ledakan besar yang menggema cukup jauh berupa bunyi dum, dum atau gum..gum yang keluar dari batang bambu dan kelapa yang diisi minyak tanah (minyak gas) atau karbit. Kemudian disulut api di lubang kecil  yang sengaja dibuat di bagian belakangnya.

BACA : Perang Meriam Karbit, Tradisi Batampur Sambut Lebaran di Kecamatan Pandawan

Sedangkan, papar dia, balatupan merupakan kegiatan yang mengeluarkan bunyi ledakan kecil tidak menggema terlalu jauh berupa bunyi tum…tum atau tup…tup yang keluar dari lubang petrum pelang atau jari-jari ban sepeda atau becak yang sudah dikreasi menjadi pistolan, senapanan, geranatan dan catukan mini atau hanya dari kayu ulin yang dilobangi. Kemudian, diisi dengan sendawa korek api dengan sedikit robekan kertas pembakarnya, lalu lubang itu diberi paku lantas dipukul atau dibenturkan.

“Laduman dan latupan yang berupa mercon dari pilinan kertas ini, diperkirakan muncul pada masa penjajahan Belanda di Kalimantan Selatan dengan membawa budaya Eropa.  Biasanya mercon diledakkan mereka saat memperingati tahun baru Masehi atau hari besar kerajaan Belanda atau ulang tahun Ratu yang sedang bertahta,” ungkap peneliti senior Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin.

Humaidy yang juga dosen UIN Antasari ini mengakui rupanya tradisi bule Belanda ini, secara perlahan-lahan diadopsi oleh masyarakat Banjar untuk mendampingi baladuman dan balatupan tradisional.

Hingga, jenis mercon atau petasan yang merupakan baladuman dan balatupan modern ini semakin ke sini semakin bertransformasi. Bahkan, bervariasi dari yang kecil sampai yang besar, dari satu ledakan menjadi beberapa ledakan, dari jenis dilempar ke berbagai jenis seperti dihempas, diluncurkan dan diasah.

“Masalahnya kemudian, laduman dan latupan modern semakin berbiaya tinggi dan banyak risiko membahayakan baik secara individu maupun sosial kemasyarakatan,” kata peraih gelar master pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini.

BACA JUGA : Nuansa Bulan Puasa di Borneo Selatan Era Kolonial Belanda

Alhasil, keberadaannya di bulan Ramadhan sudah banyak yang terlarang. Lantas, larangan tersebut merembet pula pada larangan laduman dan latupan tradisional yang tidak berbiaya tinggi dan minim risiko yang membahayakan.

“Dulu di Kalimatnan Selatan, utamanya wilayah Hulu Sungai, semarak sekali baladuman batang kelapa sebagai main perang-perangan antar kampung yang berseberangan dan dipisahkan oleh sungai dalam rangka memeriahkan bulan Ramadhan,” ungkapnya.

Begitupula, papar Humaidy, dengan laduman batang bambu dan Latupan berbagai jenis yang sudah disebutkan di atas menghiasi aneka bunyi di langit Ramadhan. “Kini Ramadhan terasa sunyi dari bunyi-bunyian hanya ada sesekali dan terasa lesu kurang bergairah karena tidak ada lagi keramaian yang bersahut-sahutan,” ucapnya.

BACA JUGA : Rukyat Era Raja Banjar Sultan Adam; Tetuha Kampung Wajib Lihat Bulan

Sementara itu, sejarawan muda FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur mengakui pelarangan petasan atau tradisi balatupan dan baladuman secara resmi di bulan Ramadhan diumumkan Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman Saidullah II, Raja Banjar yang memerintah tahun 1825-1 November 1857.

“Bahkan, Sultan Adam Al-Watsiq Billah membuat prasasti pengumuman yang dibagikan ke setiap kampung. Prasasti ini dipahat di atas kayu ulin. Berisikan larangan membunyikan petasan dan membuat keributan pada bulan Ramadhan. Bukti sejarah yang ditulis pada permukaan kayu ulin ini dengan huruf arab melayu (Jawi) masih terdapat di koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru,” papar Mansyur.

BACA JUGA : Ini Lima Metode ‘Batambaan’ Pengobatan Tradisional Masyarakat Banjar

Dewasa ini, tradisi ini pun juga dilarang pihak kepolisian. Perang meriam karbit yang menjadi tradisi warga yang bermukim di tepian Sungai Martapura, seperti Desa Melayu, Desa Melayu Tengah, Desa Melayu Ilir, Desa Keramat, dan Desa Pekauman, Kecamatan Martapura Timur, seakan tak hidup lagi.

Meski begitu, tradisi ini masih ada seperti beberapa tahun lalu dilakukan masyarakat Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), ketika mereka memeriahkan Hari Raya Idul Fitri. Bahkan, perang meriam karbit dilakukan masyarakat Kecamatan Pandawan, melibatkan beberapa desa seperti Desa Palajau, Pandawan, Bulian, Rasau, Palas dan Banua Asam.(jejakrekam)

Penulis Rahim/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.