MAHKAMAH Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT Mantimin Coal Mining (MCM). Keputusan MA ini berpandangan bahwa penambangan yang dilakukan PT MCM berpotensi membuat alam rusak dan mengancam aquifer air.
“MENYATAKAN batal Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 441.K/30/DJB/2017, tertanggal 4 Desember 2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara,” ujar ketua majelis Irfan Fachruddin dengan anggota Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono, dilansir dari detik.com, Jum’at (12/2/2021).
Hakim beralasan pencabutan izin tambang PT MCM karena sebagian area tambang PT MCM berada di kawasan karst yang merupakan kawasan lindung geologi.
Apabila kawasan tersebut dilakukan eksploitasi, maka berpotensi merusak fungsi aquifer air, karena ekosistem karst memiliki fungsi aquifer air alami, sebagai penampung dan penyalur air bagi wilayah di sekitarnya.
“Area tambang PT MCM juga berada di Pegunungan Meratus yang merupakan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035, dan di pegunungan tersebut melintas Sungai Batang Alai yang dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, perikanan, dan sumber air minum, sehingga apabila dilakukan eksploitasi berpotensi terganggunya sumber air,” kata hakim MA.
Menteri ESDM menerbitkan keputusan objek sengketa bertentangan dengan Pasal 21 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 52 ayat (5) huruf c juncto Pasal 53 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Pasal 56 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035 dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas kehati-hatian (precautionary principle).
Sekadar diketahui, agenda #SaveMeratus bermula saat Kementerian ESDM meneken SK nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT. MCM menjadi tahap kegiatan operasi dan produksi.
Putusan ini pun ditentang habis-habisan kelompok masyarakat sipil. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggugat Menteri ESDM dan PT M ke PTUN Jakarta. Walhi meminta Menteri ESDM mencabut izin eksplorasi PT M karena operasi batu baranya merusak alam. Pada 22 Oktober 2018, PTUN Jakarta tidak menerima gugatan tersebut.
Putusan itu dikuatkan di tingkat banding pada 14 Maret 2019. Walhi tidak tinggal diam dan mengajukan kasasi. Gayung bersambut. Gugatan Walhi dikabulkan. PT MCM pun mengajukan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung atas putusan PTUN Jakarta.
PK Ditolak, Izin Operasi Produksi MCM Batal
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Lambung Mangkurat, Ahmad Fikri Hadin, mengatakan ditolaknya permohonan PK dari PT MCM berimplikasi pada batalnya atau dicabutnya izin operasi produksi PT MCM di kawasan HST.
“PK ini adalah upaya luar biasa. Kadarnya sekali saja, tidak bisa lagi PK. Artinya sudah finish. MCM tidak bisa lagi berusaha di sana, karena izinnya sudah batal atau dicabut,” ujar Fikri.
Fikri menyebut bahwa ditolaknya upaya PK dari PT MCM berdampak positif terhadap upaya perlindungan lingkungan hidup serta para aktivis yang berjuang untuk Pegunungan Meratus.
“Ini daerah memang tidak boleh ditambang karena paru-paru dunia,” sebut Fikri.
Adapun Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Berry Nahdian Furqon menyambut baik putusan dari MA menolak PK yang diajukan PT MCM.
“Ini kabar baik, alhamdulillah berkat perjuangan bersama dan dukungan semua pihak upaya penyelamatan Pegunungan Meratus dari aktivitas pertambangan dapat dihentikan, minimal sampai saat ini. Tentu ini mesti tetap dipertahankan kedepannya dan dilanjutkan dengan gerakan rehabilitasi kawasan meratus yang sudah gundul,” ujar Berry kepada jejakrekam.com
Dia berkata, banjir bandang dan tanah longsor yang baru saja terjadi di HST semakin meneguhkan bahwa Bumi Murakata mesti bebas dari tambang batubara dan perkebunan skala besar yang akan semakin menambah kerusakan pegunungan Meratus.
“Putusan MA sudah tepat dan selayaknya direspons oleh Kementerian ESDM dengan mencabut izin konsesi perusahaan tambang tersebut,” tegasnya
Berry menegaskan posisi Pemkab HST periode 2016 – 2021 sedari awal selaras dengan usulan masyarakat dan para aktivis lingkungan, HST bebas dari pertambangan batu bara dan sawit.
“Kita mempertimbangkan aspek sosial dari masyarakat. Kita juga mempertimbangkan aspek lingkungan karena ini (pertambangan dan sawit) mengancam kondisi lingkungan dan berdampak pada berbagai program strategis pertanian yang ingin kita bangun di mana membutuhkan tata kelola SDA yang bagus,” tutup Berry. (jejakrekam)
Pencarian populer:https://jejakrekam com/tag/save-meratus/