Kenakan Laung Jadi Identitas, Paman Birin Ingin Mengulang Memori Sukses Pilkada Kalsel 2015

0

LAUNG atau ikat  kepala khas Urang Banua menjadi ciri khas duet calon Gubernur-Wakil Gubenur Kalimantan Selatan H Sahbirin Noor-H Muhidin (BirinMu) yang sebelumnya merupakan eks Walikota Banjarmasin dalam kontestasi Pilkada 2020.

LAUNG dalam tradisi asli Urang Banua adalah ciri khas dan jati diri yang menunjukkan identitas. Ada dua jenis yang biasa dipakai. Laung Tukup dan Laung Tinggi.

Ciri laung tukup menutup seluruh permukaan kepala. Agak mirip dengan blangkon Jawa, tapi tak punya bonggol di bagian belakang. Sedangkan laung tinggi, hanya ikat kepala tanpa menutup bagian atas. Dari depan berbentuk segi tiga. Inilah yang dikenakan pasangan calon nomor urut 1.

Tradisi itu kini digunakan BirinMu untuk menunjukkan identitas mereka di pentas politik pilkada. Ciri yang membedakan dengan kontestan lain. Sehingga mudah dikenal dan akrab dalam tradisi kedaerahan.

BACA : Gerakan Laung Bahenda, Sebuah Perlawanan Simbolik dan Kearifan Dayak

“Karena slogan kita Banua Maju, Kalsel Maju, maka kita menyelaraskannya dengan busana khas Urang Banua. Tak ketinggalan laungnya,” kata Paman Birin menjelaskan foto resmi mereka di surat suara Pilkada 2020 yang tersebar di baliho-baliho serta spanduk.

Gaya berbusana itu, lanjut Paman Birin, bukan kali ini saja digunakan. Pada Pilkada 2015 silam, saat berpasangan dengan mantan Walikota Banjarbaru Rudy Resnawan, sekarang Pjs Gubernur Kalsel telah menjelma menjadi ciri khas. Bedanya, jika sebelumnya berwarna hijau, sekarang kuning.

“Selain memang sudah familiar dengan warga, ciri itu penting untuk menunjukkan jati diri dan identitas. Agar mudah dikenal. Melihat laung, pasti ingat Paman Birin – H Muhidin. Paham ja kalo (mengerti),” ucapnya.

BACA JUGA : Di Ponpes Darussalam, Guru Wildan Angkat Paman Birin ‘Dangsanak’ Dunia Akhirat

Busana tradisional itu dipakai BirinMu, demi menghormati adat istiadat dan memuliakan hajatan besar di Banua. Biasanya, busana tersebut dipakai oleh pasangan pengantin dalam resepsi perkawinan. Di masa lalu, pakaian tradisional dikenakan para sultan dan pejabat istana dalam acara-acara formal.

“Pilkada adalah pesta demokrasi. Hajatan besar lima tahunan. Untuk menghormati dan memuliakannya, kami sepakat berbusana Urang Banua,” tuturnya. (jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.