“Panggilan Alam” yang Tak Lagi Meresahkan

0

Sinergi YABN dan Pemkab Wujudkan Balangan Open Defecation Free

SIANG itu, Aini  (54), warga Desa Sungai Ketapi, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan, tengah menemani salah seorang cucunya yang merupakan seorang balita laki-laki bermain di ambin (teras-red) rumah.

SAAT sedang asyik bermain, tiba-tiba sang cucu yang usianya sudah menginjak tiga tahun itu, tampak meringis. Sambil memegang perut, ia seperti menahan sesuatu.

“Sakit perut kah,”?. Ali, lelaki paruh baya yang biasa disapa Aai itu bertanya dengan dialek cadel khas anak-anak, yang dijawab dengan anggukan oleh sang cucu. Bergegas, Aai segera menggendong sang cucu dan membawanya ke arah belakang rumah, menuju kamar kecil yang berada di pojok.

Kamar kecil milik keluarga Aai itu, baru dibangun sekitar dua tahun yang lalu. Bangunannya berdinding papan dan beratap seng.

Sebelumnya, untuk kebutuhan buang hajat, keluarga Aai menggunakan kamar kecil tradisional atau oleh masyarakat setempat biasa disebut jamban. Jamban dibangun diatas sebuah lubang mirip sumur dengan kedalaman sekitar dua meter dan diameter satu meter.

Dibagian atas lubang, diletakkan batangan kayu untuk tempat jongkok. Disekelilingnya, diletakkan susunan atap daun rumbia berbentuk persegi. Dengan begitu, orang yang sedang buang hajat tidak terlihat dari luar. Agar aroma yang ditimbulkan dari aktivitas buang hajat tidak tercium, jamban dibangun dengan jarak yang cukup jauh dari rumah.

Dengan adanya kamar kecil tradisional tersebut, urusan buang hajat bagi keluarga Aai sepertinya dapat teratasi dengan baik. Tapi ternyata, kondisi tersebut memunculkan masalah lain.

Lokasi jamban yang jauh dari rumah, membuat Aai sering kali tidak bisa tidur nyenyak. Bahkan, pernah membuat lelaki paruh baya berperawakan kecil itu, nyaris meregang nyawa.

Jamban milik keluarga Aai, terletak persis di pinggir sawah, diantara semak belukar. Lokasinya yang cukup jauh dari rumah, membuat urusan buang hajat menjadi masalah dan bukan hal yang menyenangkan, terlebih ketika harus dilakukan saat malam atau menjelang fazar.

Sering kali Aai harus berjuang melawan kantuk yang mendera, saat “panggilan alam” mendesak dan harus dituntaskan kala tengah malam buta. Pun ketika anggota keluarga lain harus menunaikan urusan buang hajat saat malam tiba, Aai harus siap sedia menemani hingga tuntas.

Pernah suatu ketika, Aai yang kesehariannya bertani dan menyadap karet itu, nyaris dipatuk seekor ular kobra saat hendak “merenung” di jamban miliknya.

BACA : Masyarakat Desa Ambahai Diajari Daur Ulang Sampah Agar Bernilai Ekonomis

“Saat itu malam hari. Untung saya cepat ambil langkah seribu sehingga tidak sempat dipatuk,” Aai terkekeh mengenang peristiwa itu.

Setelah kejadian yang hampir saja membuat Aai mati konyol tersebut, ia sebisa mungkin menahan hasrat untuk buang hajat bila malam tiba. Kecuali sudah tidak dapat ditahan lagi, barulah “ritual” di jamban ia lakoni.

Pembuatan kamar kecil tradisional di pinggir sawah diantara semak belukar yang jauh dari rumah itu, sudah menjadi kebiasaan warga setempat. Secara turun temurun, warga Desa Sungai Ketapi melakukannya. Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi salah satu alasan warga.

Pembuatan kamar kecil yang memenuhi standar kesehatan, lebih modern dan menggunakan kloset, dari segi ekonomi masih dianggap mahal. Sementara, jamban tradisional dianggap jauh lebih murah dan mudah pembuatannya.

Namun anggapan tersebut terpatahkan, ketika suatu hari pada 2014 lalu, Desa Sungai Ketapi mendapat kunjungan Tim Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dari Yayasan Adaro Bangun Negeri (YABN). Kunjungan itu, mengubah pola pikir dan pandangan Aai serta warga desa lainnya tentang arti penting kamar kecil yang sehat.

Melalui pemahaman yang diberikan YABN selaku pendamping program STBM, Aai dan warga desa lainnya menjadi sadar, bahwa perilaku buang air besar (BAB) yang dijalankan selama ini tidak sehat. Bahwa, BAB sembarangan adalah hal yang menjijikkan, perilaku yang memalukan dan mengundang penyakit.

Selain membuka wawasan terkait dampak buruk BAB sembarangan, YABN juga melakukan pendampingan kepada warga Desa Sungai Ketapi untuk secara swadaya dan gotong royong membangun kamar kecil yang sehat. “Kali pertama mengunakan WC, memang sedikit kesulitan. Karena tidak biasa, kadang-kadang licin jadi agak ribet lah,” ujar Aai.

Meski begitu, pendamping dari YABN tak surut semangat membangun niat dan motivasi warga desa agar menggunakan kamar kecil yang sehat sebagai pilihan utama untuk buang hajat.

Program STBM sendiri ternyata tidak hanya dilaksanakan di Desa Sungai Ketapi saja. STBM yang merupakan program sinergitas antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Balangan dengan PT Adaro Indonesia itu, dijalankan di puluhan desa lainnya dengan menyasar ratusan kepala keluarga (KK).

Melalui pendampingan YABN, program STBM yang digalakkan pemerintah pusat pada 2014 silam tersebut, sepanjang 2015 hingga 2018, di Balangan tercatat sudah sembilan desa dan satu Kelurahan yang dinyatakan bebas buang air sembarangan atau ODF (Open Defecation Free).

BACA JUGA: Peremajaan Dan Kesehjateraan Petani Karet Harus Diperhatikan

Menurut Koordinator Bidang Kesehatan YABN, Haris Fadilah, hingga saat ini program tersebut terus dijalankan oleh pemerintah kabupaten setempat. “Kolaborasi YABN bersama Pemkab Balangan dalam mewujudkan Kabupaten Balangan sebagai daerah ODF terus bergelora,” ujarnya.

Pada 2019 ini, Pemkab Balangan melalui Kelompok Kerja (Pokja) Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL), melaksanakan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP).

Pada pelaksanaannya, program tersebut merupakan gerakan pembangunan Sanitasi Air Minum Tuntas Waja Sampai Kaputing (Satu Wasaka) dan aksi gerakan “Balangan sanitasi Tuntas” (Santun).

Melalui gerakan Satu Wasaka dan Santun tersebut, 2019 ini sedikitnya telah dibangun 2.846 unit kamar kecil sehat dan aman di 107 desa, menggunakan anggaran Dana Desa sebesar Rp 6,3 Miliar.

Pemkab Balangan telah merencanakan target akses universal pada 2019 ini, yaitu tercapainya target layanan sanitasi 100%, kumuh 0% dan layanan air minum 100%. Untuk mencapai target universal tersebut, menurut Bupati Balangan, H Ansharuddin, bukanlah hal mudah.

“Dibutuhkan kesungguhan dan akselerasi dari pemerintah provinsi, kabupaten dan pihak terkait lainnya, termasuk paling utama adalah pengubahan perilaku masyarakat terkait betapa pentingnya kesehatan lingkungan,” ujarnya.

Untuk itu, semua pihak diminta untuk turut serta menumbuh kembangkan kesadaran pada diri sendiri dan masyarakat, akan pentingnya sanitasi yang baik. Sehingga, mampu menggerakkan dan mendorong masyarakat untuk aktif memelihara kualitas sanitasi di lingkungan masing-masing.

Sementara itu, Aai tak lagi dihantui perasaan was-was ketika menerima “panggilan alam” disaat tengah malam atau menjelang pajar sekalipun. Kini, tiada lagi resah dan takut akan mati konyol karena dipatuk kobra saat buang hajat.(jejakrekam)

Penulis Sugiannoor
Editor Fahriza

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.