Walhi: Pemerintah Tebang Pilih Tangani Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan

0

ASAP akibat kebakaran hutan dan lahan mulai menyelimuti Kalsel. Di Banjarmasin dan kabupaten/kota lainnya di Kalsel, bertebaran baliho larangan membakar lahan lengkap dengan ancaman hukumannya.

MASYARAKAT lokal, banyak dijadikan kambing hitam penyebab kebakaran lahan dan hutan.

Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menilai pemerintah tebang pilih dalam menangani kasus kebakaran lahan dan hutan. Menurutnya, penegak hukum tajam ke masyarakat tapi tumpul ke koorporat.

“Kabut asap memang terjadi saban tahun, namun maraknya pembukaan lahan perkebunan besar. Kasus kabut asap tak terkendali,” ujar Kisworo.

Ia menegaskan, pembakaran lahan untuk ladang berpindah sudah menjadi tradisi masyarakat dalam bertani. “Masyarakat dengan kearifan lokalnya terbukti mampu menanggulangi api agar tidak menjalar dengan luas,” tegasnya.

Ia meyakini masyarakat lokal bukan penyebab utama kasus kabut asap yang puncaknya pada tahun 2015 lalu. Ia mengkhawatirkan dengan pelarangan pembakaran lahan untuk pertanian justru memutus mata rantai tradisi dan gotong royong bentuk solidaritas antar komunitas masyarakat.

Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Kalimantan Selatan Rafieq Muchlison mencontohkan petani di Pegunungan Meratus yang telah mempraktekkan perladangan berpindah dengan baik dan aman, mulai takut untuk berkultivasi karena ancaman hukum terhadap kegiatan pembakaran untuk pembukaan lahan.

“Di satu sisi masyarakat lokal dan adat tidak mau menentang peraturan pemerintah, di sisi lain mereka tidak bisa melakukan aktivitas pertanian tanpa membakar tanah. Jika pelarangan kegiatan pembalakan hutan dalam praktek budidaya mereka berlanjut, tentu akan berdampak pada ekologi Pegunungan Meratus, serta sosial, ekonomi, dan budaya mereka,” tegasnya.

Ia mengkhawatirkan dampak ekologis yang akan terjadi jika masyarakat tidak bisa bertani adalah meningkatnya eksploitasi sumber daya hutan Pegunungan Meratus. “Jika petani tidak lagi bisa menghasilkan beras, mereka akan menembus hutan untuk mendapatkan uang tunai untuk membeli beras,” ucap Rafieq Muchlison.

Kekhawatiran Rafieq cukup beralasan karena tidak bertani dalam jangka waktu yang lama, kapasitas pembenihan padi perlahan mulai menghilang, maka pelan-pelan Kalimantan Selatan akan kehilangan keragaman sumber daya pangan, terutama padi.

“Secara ekonomi, orang-orang Meratus terpaksa membeli beras untuk memenuhi konsumsi makanan. Hal ini mengakibatkan peningkatan pengeluaran rumah tangga, sementara harga komoditas karet sebagai sumber utama pendapatan rumah tangga cenderung lebih murah, dan akan meningkatkan kemiskinan,” bebernya.

Ia menuturkan, jika masyarakat lokal tidak lagi melakukan perladangan berpindah, maka ada tradisi yang telah turun-temurun memjadi terputus.(jejakrekam)

Penulis Husaini
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.