Berusia 66 Tahun, Sejatinya Kabupaten HSU Lepas dari Predikat Daerah Tertinggal

0

AWALNYA bernama Kabupaten Amuntai terbentuk pada 1 Mei 1952 dengan dasar UU Nomor 22 Tahun 1948. Seiring perkembangannya, nama kabupaten berjuluk Bumi Taqwa seluas 915,5 kilometer per segi ini berubah menjadi Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) pada 14 Januari 1953. Wilayah kabupaten ini makin menyempit, seiring berpisahnya beberapa kecamatan membentuk kabupaten baru bernama Kabupaten Balangan.

JELANG Hari Jadi Kabupaten HSU ke-66 yang diperingati pada Selasa (1/5/2018), daerah yang masih berlabel ‘kabupaten tertinggal’ terdiri dari 10 kecamatan dan 219 desa/kelurahan tengah bersiap diri. Bahkan, dalam susunan acara Harjad Kabupaten HSU ke-66, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani serta Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan bertandang ke Lapangan Pahlawan Amuntai, sekaligus meresmikan pencanangan kegiatan TNI Manunggal KB-Kes Tahun 2018.

Ada catatan yang diberikan Rosehan Anwar. Ketua DPD Pospera HSU ini mengatakan di usia matang Kabupaten HSU yang menginjak 66 tahun, sejatinya harus bisa mengejar ketertinggalan dari daerah lain, khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan.

“Bagi kami warga Amuntai, tentu hari ulang tahun adalah refleksi kolektif dari sebuah perjalanan panjang baik dan buruknya pemerintahan daerah. Bagaimanapun, banyak harapan yang belum bisa diwujudkan pemerintah daerah, terutama di periode kedua Bupati HSU H Abdul Wahid dan Wabup HSU Husairi Abdi sebagai janji politiknya dalam pilkada yang lalu,” tutur Rosehan Anwar kepada jejakrekam.com, Minggu (29/4/2018).

Tentu saja, menurut Rosehan, harapan dan impian warga HSU adalah lebih baik lagi di tahun-tahun berikutnya, sehingga gelaran hari ulang tahun tak hanya seremonial belaka lewat pameran, lomba dan kegiatan lainnya. “Yang lebih substansi adalah menjadi hari jadi sebagai momentum untuk intropeksi diri. Sebab, label daerah tertinggal satu-satunya di Kalsel masih melekat di Kabupaten HSU,” paparnya.

Dia mengeritik belanja APBD HSU masih kurang tajam dalam skala prioritas dan asas manfaat menyangkut kepentingan khalayak ramai. Menurut Rosehan, problema daerah itu khususnya di Kota Amuntai, seperti penataan pasar karena HSU tak memiliki sumber daya alam (SDA) seperti daerah tetangga sehingga lebih mengandalkan sektor perdagangan dan jasa, di samping sektor pertanian dan perikanan.

“Penataan pedagang kaki lima (PKL) sebagai sumber pemasukan daerah dari sektor informal belum tergali maksimal. Lalu, akses jalan yang belum memadai termasuk infrastruktur penghubung antar desa, kualitas jalan, persoalan penyalahgunaan obat-obatan terlarang seperti carnophen dan lem fox masih meresahkan. Ini belum lagi, masalah banjir yang menjadi langgan bagi Kota Amuntai dan sekitarnya,” ujar Rosehan.

Dia berharap agar pemerintah daerah lebih terbuka lagi untuk menyerap aspirasi warga HSU sehingga bisa dirumuskan grand design atau rencana besar demi mengejar ketertinggalan sebagai salah satu kabupaten induk di Kalsel. “Kami tentu berharap Kota Amuntai bisa setara dengan kota-kota lainnya. Begitupula, HSU yang dikenal penduduknya kreatif dengan kerajinan khas bisa terangkat kembali,” ujarnya.

Bagi Rosehan, porsi dalam APBD HSU esensinya adalah milik rakyat dan tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga tak elok jika hanya dinikmati segelintir orang atau kelompok yang dekat dengan kekuasaan.

“Ketimpangan pelayanan publik seperti temuan dari Ombudsman RI. Kemudian, porsi anggaran yang menurun pada 2018 dibanding 2017, belum optimalnya pemanfaatan lahan rawa serta catatan-catatan lain harus bisa dijawab pemerintah daerah. Sekali lagi, ini semua demi menuju kabupaten yang maju, dan tak lagi meraih predikat daerah tertinggal,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

 

Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.