Bila Air Sudah Kehilangan Jalan dan Rumahnya

0

SUBUH dinihari hingga pagi Selasa (5/12/2017), hujan menerpa Kota Banjarmasin. Akibatnya, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ini seperti kelabakan, akibat serbuan air yang menggenang hampir di setiap sudut kota. Kalau dulu air hanya singgah di daerah rendah dan pinggiran. Maka sekarang air sudah tidak segan menumpuk di kawasan pusat kota. Bahkan di jalur utama kota.

SEPANJANG Jalan Lambung Mangkurat depan Kantor Pos,  Kantor Pajak , Kantor Bank Mandiri , kemudian masuk Pasar Niaga, semua terendam air. Begitu pula sebagian kawasan kantor di daerah Jalan S Parman,  DI Panjaitan , juga terkena imbas hujan yang dasarnya tidaklah terlalu lama. Hanya  hujan berdurasi sekitar 3 – 4 jam. Ya, memang sejak 5 tahun terakhir ini, Kota Banjarmasin setiap bertemu dengan musim hujan dipastikan pusing untuk mengelola curahan ‘anugerah rahmat’ tersebut. Dan yang terjadi akhirnya ‘hujan’ menjadi sebuah ‘persoalan’ untuk Kota Banjarmasin.

Padahal sejak dulu air selalu menjadi sahabat kota ini. Posisi ketinggian muka Kota Banjarmasin yang berada di bawah muka air laut (dulu di sekitar 17 cm – 20 cm) dengan karakteristik rawa plus  pasang surut.  Walaupun, kondisi seperti ini tapi ternyata alam pun bisa mengatur semuanya dengan baik melalui hadirnya sungai-sungai baik berskala besar , menengah dan kecil.

Kemudian dilengkapi lagi dengan banyaknya embung atau danau / telaga sebagai daerah resapan yang berfungsi sebagai ‘rumah air’ (tempat singgah air).  Akhirnya,  Kota Banjarmasin mendapat gelar Kota 1.000 Sungai. Kota yang saking banyaknya memiliki sungai dan tampungan air (rawa) sehingga tidaklah bisa lagi dihitung  jumlahnya. Karena sulit menghitunglah maka akhirnya di metaforakan sebagai memiliki 1.000 sungai.

Lalu , melihat kondisi saat ini yang bila air hujan menerpa maka muncullah ‘calap’ yang seolah tidak bisa di atasi tentu muncul tanya mengapa ini terjadi ? Padahal sudah lebih miliaran rupiah dana pemerintah kota yang diluncurkan untuk mengatasi hal ini. Kenapa jadi tetap tidak bisa mengatasi bahkan mengurangi ‘kecalapan’ ini ?.

Secara sederhana, kita bisa jawab bahwa penangganan yang dilakukan tersebut adalah karena tidak sesuai dengan keinginan dari sang air yang membuat ‘masalah’ tersebut. Karena tidak sesuai maka air pun marah plus bertingkah dan protes melalui ‘demo’ dengan mengenangi jalan jalan berikut masuk ke bangunan bangunan.

Kalau kita mau mengatasi hal ini, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah pahami perilaku dan keinginan air. Ini kata kuncinya. Dan bila yang dilakukan tidak melalui proses pemahaman terhadap perilaku /  keinginan air maka bisa dipastikan air akan marah dan selalu bertingkah. Dampaknya Banjarmasinpun  akan selalu ‘kecalapan’ alias tergenang.  Dengan fakta yang sering terjadi ini maka tidak menutup kemungkinan ke depan bisa lebih parah lagi.

Secara sederhana bagi kawasan dengan kondisi geografis seperti Kota Banjarmasin ini dalam hal mengelola hal ‘air limpahan’ , maka yang diperlukan adalah adanya  jalan  atau jalur tempat hilir mudik air dan rumah, ketika air ingin singgah atau menetap. Bila jalan dan rumah air kondisinya baik dan terawat maka bisa dipastikan air tidak akan bertingkah.  Jalan  air bisa berupa sungai ataupun kerokan / tabukan. Sedangkan, rumah  air bisa berupa embung / telaga atau area resapan. Tingkah polah air yang membuat masalah bagi kota tidaklah lepas dari akibat kondisi jalan dan rumahnya yang semakin tergusur dan dimatikan.

Mengapa ‘calap’ selalu terjadi adalah karena kegagalan kita dalam memelihara keberadaan sungai sebagai jalan dan area resapan / embung sebagai rumah air.

Tentu bila ingin air tidak lagi berula,h tatkala hujan melanda maka jawab nyasangatlah mudah dan sederhana. Hidupkan dan perbaiki jalan air berupa sungai sungai atau kembalikan kepada kondisi asalnya dahulu. Kemudian area resapan atau embung / telaga sebagai rumah air segera difungsikan atau diadakan kembali.  Dan, dalam membangun janganlah menguruk, tapi memilih pola panggung dengan bagian kolongnya di gunakan sebagai area resapan limpahan air.

Selanjutnya kalau kita mau membicarakan atau menelisik mengapa saat ini air suka berulah dikotabjm maka minimal kita harus lihat dan cermati beberapa faktor :

  1. Kondisi terbaru perbandingan ketinggian muka air laut terhadap muka daratan Kota Banjarmasin Apakah kondisi nya masih seperti puluhan tahun lalu di level 17 cm di bawah muka air laut. Ataukah sudah berubah menjadi bertambah jauh.
  2. Kondisi sungai di sekitar kota,  jumlahnya , lebar dan dalamnya , koneksivitasnya , kondisi endapan dan daya tampung terhadap limpahan air. Apakah kondisinya sudah banyak yang mati , buntu dan dangkal. Apakah antar sungai kecil, menengah dan besar masih terkoneksi dengan baik atau malah tersedat?
  3. Kondisi area resapan di Kota Banjarmasin, lokasinya di mana , berapa luas areanya , masihkah area resapan ini terkoneksi dengan sungai atau area resapan yang lain, kemudian bagaimana status fungsi atau peruntukan area resapan tersebut , apakah sudah berubah peruntukannya atau masih tetap.

Bila dikaitkan ketiga faktor tersebut maka akan didapat fakta bahwa wajar saja air selalu menjadi masalah bagi Kota Banjarmasin. Coba cermati kondisi sungai yang sudah banyak mati dan berubah fungsi menjadi urugan tanah padsonic. Begitu pula dengan kondisi kawasan resapan air yang juga berubah menjadi kawasan perumahan dan pembangunan ruko-ruko dengan pola pembangunan yang diuruk. Ya, bahkan banyak juga bangunan bangunan yang di biarkan terbangun di atas sungai dengan mematikan sungai. Semuanya dibiarkan tanpa adanya niat untuk melakukan pembenahan atau perbaikan dan penindakan terhadap pelanggaran aturan tersebut.

Kemudian pembuatan drainase kota juga sangat memprihatinkan. Kesan sekadar tindakan ‘trial and error’ dan asal dibuat sebagai penunjuk bahwa telah dilakukan usaha perbaikan atau penanganan agar tidak tergenang alias calap lagi sangatlah kentara. Buktinya banyak drainase begitu dibangun atau direhab tidak sampai setahun kembali tidak mampu membuang air ke area yang diharapkan.  Tidak jarang tinggi muka air saluran drainase sejajar dengan muka air sungai. Sehingga begitu air sungai pasang, maka air di drainase pun tdak habis mengalir. Bahkan, kadang malahan air sungai naik ke saluran drainase sehingga air dalam dranasepun terpaksa meluber kejalan dan halaman. Dan inilah yang menyebabkan calap banyak melanda kota.

Melihat fakta kondisi saat ini , dengan banyaknya sungai dan anak sungai yang mati, buntu dan dangkal. Dan kemudian diperparah kondisi area resapan semakin habis tergerus oleh pembangunan. Serta juga hal dampak kenaikan muka air laut akibat pemanasan global yang menyebabkan dorongan saat air laut pasangatau  naik semakin jauh masuk ke hulu sungai. Dan di tambah dengan adanya pendangkalan pada dasar sungai , penyempitan lebar sungai jelas semakin membuat air limpahan tatkala hujan sulit untuk bergerak kehilir ataupun mengalir sampai kelaut.

Kondisi itu,  disebabkan beberapa hal di atas, maka pembenahan atau pembuatan drainase kota pun tidak mudah. Bila dalam membuat desain ataupun rancangan sistem drainase belum mengacu dan berpatokan pada hasil data survei akurat terhadap ketiga faktor di atas, maka bisa dipastikan drainase yang dibuat tidak akan banyak memberi manfaat dalam mengatasi banjir / calap yang mengenang kawasan Kota Banjarmasin.

Patut dicatat bahwa kajian komprehensif dan terpadu terhadap ketiga faktor di atas wajib dilakukan sebelum membuat roadmap / master plan ataupun DED drainase kawasan Kota Banjarmasin. Bila yang dikerjakan masih berpola seperti konsep yang ada ini maka bisa di pastikan dalam kurun tiga tahun ke depan, calapa atau  banjir masih akan mendera kota ini. Bahkan, bisa saja akan semakin parah kalau langkah yang di ambil tidak tepat sasaran. (jejakrekam)

Penulis : Ir H Subhan Syarief MT

Ketua LPJK Kalimantan Selatan

Kandidat Doktor Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.