Pro Kontra UU Pemilu

0

AKADEMISI Fakultas Hukum ULM Daddy Fahmanadie menilai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memiliki banyak kelemahan, dan beberapa pasalnya berpotensi kontra produktif.

SALAH satu pasal yang saya soroti adalah pasal 529 dan 530, sebab ada delik sanksi pidana menjerat koorporasi, yang tentu saja pidana itu tidak bisa dijatuhkan secara kumulatif,” ungkap Daddy dalam diskusi yang bertajuk Kepastian Hukum Pemilu 2019 dalam Dimensi Demokrasi Bukan Democrazy, Jum’at (26/4/2019) di
Cafe Upnormal.

Menurutnya, andai koorporasi dijerat UU Pemilu, ujung-ujungnya menjerat individu seperti manajemen perusahaan. Daddy mencontohkan kasus yang terjadi di sejumlah TPS di Kabupaten Sintang, Kalbar, yang tiba-tiba hilangnya kertas suara presiden, beredar kabar karena kesalahan perusahaan percetakan.

“Ini akan menjadi persoalan baru sebab ada celah kekosongan hukum, sementara ketidakadaan surat suara di sejumlah TPS di Sintang siapa yang bertanggungjawab,” kata jebolan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini.

Kemudian persoalan lainnya, tambah Daddy, dilema atas UU Pemilu adalah delik formal dan delik materil.

BACA : Beli Suara Marak, Ada 13 Kasus Politik Uang di Kalsel Ditangani Bawaslu

Ketua Klinik Hukum DF ini menyoroti implementasi regulasi di lapangan, baik terkait proses kampanye maupun pemungutan suara. Baginya pemilu 2014 lebih baik ketimbang Pemilu 2019, meskipun adanya perbedaan dimensi regulasi, namun ada bentuk kesamaan pelanggaran Pemilu yakni money politic.

Daddy menuturkan, perlunya untuk merevisi regulasi, baik tahapan maupun tindak pidana Pemilu, agar persoalan yang terjadi tidak lagi terulang kembali di pesta demokrasi mendatang.

Koordinator Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Kalsel Dr Samahuddin Muharram menawarkan solusi yang cukup ekstrem, dimana sistem Pemilu secara proporsional tertutup dinilai akan mendorong masuknya wakil rakyat terbaik di parlemen dan mencegah potensinya terjadi money politic.

Samahuddin sadar sistem proporsional tertutup, demokrasi Indonesia mundur satu langkah dan tidak semua caleg memiliki potensi yang sama terpilih menjadi anggota legislatif.

“Bila memang sistem proporsional terbuka tetap diberlakukan, mau tidak mau partai politik dan penyelenggara Pemilu perlu untuk membenahi diri,” ucap mantan ketua Komisioner KPU Kalsel ini.

Akademisi FISIP ULM ini mengungkapkan, parpol harus bisa memastikan tidak ada lagi aktor kutu loncat dan bukan hanya orang yang memiliki modal finansial yang mumpuni terpilih menjadi wakil rakyat.

Sebagai organisasi kader, lanjutnya, partai politik harus mampu melahirkan kader-kader partai yang berkualitas yang mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat di parlemen. “Dan yang tidak kalah pentingnya elit-elit politik harus mengembalikan moral politik yang terlanjur dicap buruk oleh masyarakat,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.