Mereka yang Bertahan di Kaki Rinjani

0

Angin sering kali menyibak paksa terpal tenda-tenda tanpa pintu. Suhu dingin membuat gelap terasa semakin pekat, sebab matahari sudah tenggelam dua jam lalu. Selasa (12/9) malam itu, suhu dingin khas lereng Rinjani sudah turun sampai 13 derajat celsius. Sebagian penyintas gempa lengkap dengan jaket, selimut, sarung, atau pun sisa kaos kaki yang mereka miliki sudah mempersiapkan diri untuk beristirahat. Sembalun, sepotong firdaus di bumi pertiwi, kini punya kisah tersendiri.

MALAM itu kami menjenguk pengungsi di Dusun Lauk Rurung Barat, Sembalun Bumbung, Lombok Timur. Tidak ada lampu penerang jalan, langit hanya menyisakan rasi bintang, berbekal lampu sorot dari telepon genggam, kami menuju lokasi para penyintas kini tinggal.

Tenda-tenda terisi penuh, bukan oleh para pendaki, melainkan para penduduk asli. Pasca gempa susulan 6,4 SR mengguncang, Ahad (29/7) hampir dua bulan lalu, masyarakat Desa Sembalun Bumbung terpaksa tinggal di tenda terpal yang mereka dirikan sendiri. Satu tenda biasa dimuati 14 kepala keluarga (kk) atau sekitar 50 jiwa.

Puncak udara dingin di Sembalun biasa terjadi di malam-malam musim kemarau. Satu hal yang begitu kontras, karena terik kemarau pun menyengat kulit di siang harinya. Kini, keadaan tersebut menjadi tantangan bagi mereka yang tidak lagi memiliki tempat tinggal. Seperti kebanyakan para penyintas gempa, rumah-rumah di Sembalun Bumbung mengalami rusak ringan hingga berat. Sedangkan lokasi pengungsian jauh dari kata layak.

Ada sebuah sungai besar tanpa air di dekat tenda pengungsi Lauk Rurung Barat. Aliran limbah dari MCK setempat dibiarkan mengalir begitu saja ke sana. Tidak heran bila lalat terlihat beterbangan atau mengerubung di tiang penyangga tenda. Permasalahan pengungsi tidak berhenti pada masalah kebersihan, jika musim hujan tiba, lokasi para penyintas gempa tinggal juga merupakan daerah rawan banjir.

“Kalau musim hujan, air turun dari dataran tinggi, merendam sini (daerah pengungsian-red). Sawah juga terendam, kita biasa membetulkan (areal persawahan yang terendam) tiap tahun,” ujar Nasrudin (41), salah satu penyintas di Dusun Lauk Rurung Barat.

Keesokannya, salah satu penyintas gempa, Ruhil (22) mengajak kami menyambangi tendanya. Ibu muda dengan satu anak itu sedang menunggui putra semata wayangnya, Riki Pratama (2) yang tidur siang. Suhu panas begitu terasa di dalam tenda, terlebih tenda Ruhil dan keluarga kecilnya tinggal tidak terlalu besar. Di dalamnya pun terdapat seekor burung dalam sangkar juga sebuah kompor yang kala itu sedang digunakan untuk memasak.

“Anaknya rewel kalau malam kedinginan, tapi kalau siang minta keluar dari tenda, panas di sini ya,” cerita Ruhil.

Menjadi penyintas gempa dengan bayi adalah seni menjalani hidup bagi Ruhil. Bukan hanya masalah cuaca, pakaian ganti bagi bayi-bayi juga masih minim. Ruhil menambahkan, ia juga khawatir bila musim hujan tiba.

“Air datang dari sana arah barat. Tertampung semua di sini (lokasi pengungsian). Tidak bisa didirikan rumah di sini. Sawah juga tergenang. Makanya kita juga buat ini (dipan-red) kalau tidur di bawah basah semua,” lanjutnya bercerita.

Lebih lanjut, Tim Aksi Cepat Tangap (ACT) telah menyiapkan 80 shelter knockdown bagi penyintas gempa di Desa Sembalun, Sembalun Bumbung, dan Sembalun Lawang. Implementasi shelter tersebut dijadwalkan pada 24-25 September ini.

“Kami memprioritaskan pemberian shelter kepada pengungsi yang memiliki bayi, balita, dan lansia. Target September ini produksi shelter bisa mencapai 500 unit, bulan depan 3000 unit. Semoga dengan produksi masif, makin banyak pengungsi yang mendapatkan hunian layak,” jelas salah satu Tim Pemulihan Bencana ACT, Aghny Fitriany

Sembalun Akan Lebih Bangkit

DEFISI tanah surga nyaris sempurna bila disematkan bagi Sembalun. Berbagai tumbuhan palawija juga sektor pariwisata adalah kunci perekonomian warga. Belum lagi, Agustus menjadi musim tertinggi kunjungan wisatawan. Kuasa Allah, gempa besar terjadi di akhir bulan. Kini jalur pendakian Rinjani dan sejumlah tujuan wisata alternatif ditutup, menyebabkan sektor utama penggerak ekonomi warga itu lumpuh.

Bizan Fatomi (22) penggiat pariwisata dan juga penyintas gempa yang tinggal di Desa Sembalun Timba Gading menceritakan, gempa memang melumpuhkan sektor pariwisata. Saat ini mengandalkan pemasukan di sektor lain.

“Sekarang itu kan bulan high season-nya pendakian ke gunung (Rinjani-red), tapi terkait gempa ini semuanya mandek (berhenti-red). Untungnya sektor perekonomian sembalun terbantu pertanian. Banyak lagi sektor pertanian di Sembalun, ada pertanian, wisata dan peternakan,” ujar Fatomi.

Tokoh masyarakat setempat, Tuan Guru Haji Abdul Rachman juga menyampaikan semangat optimis bahwa Sembalun dapat pulih kembali. Ia mengatakan, masyarakat Lombok sedang diuji, dan diingatkan untuk kembali kepada jati dirinya

“Sangat-sangat yakin Sembalun akan bangkit kembali. Masih banyak berbagai pihak yang menolong kita, masih ada ACT yang juga sedang membantu kita. Saya yakin sekali bahwa Sembalun akan lebih bangkit daripada sekarang. Ya kami dibantu semangatnya sebelum nanti teman-teman pergi meninggalkan (pergi dari Lombok-red) kita. Kita juga akan sepakat membina masyarakat Semblaun yang kembali ke jati dirinya,” ujar pemilik pesantren pertanian di Sembalun itu.

Sejalan dengan itu, tagar #IndonesiaBersamaLombok tetap menjadi ikhtiar ACT untuk kembali memulihkan kehidupan masyarakat Lombok pascagempa.(jejakrekam)

Penulis Gina Mardani Cahyaningtyas
Editor Fahriza

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.