Konspirasi Gombal Libas Beras Lokal

Oleh : Zahida Ummu Sausan

0

DI TENGAH-tengah  kebijakan pencabutan subsisdi BBM dan rencana pencabutan subsidi LPG 3 kg yang melahirkan kesulitan bagi rakyat,pemerintah memutuskan mengimpor 500 ribu ton beras dari Vietnam dan Thailand. 

PRESIDEN Jokowi menyatakan kebijakan tersebut  dilaksanakan demi memperkuat cadangan beras nasional. Di kesempatan lain saat Komisi VI DPR RI melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Mentri Perdagangan Enggartiasto Lukito mengenai kebijakan impor  beras,mengatakan impor beras yang direncanakan oleh kementrian perdagangan dilakukan dalam rangka memenuhi stok beras sebelum adanya panen raya yang dimulai Maret 2018.

Rencana ini mendapat reaksi penolakan banyak kalangan karena dinilai penuh kejanggalan sana-sini. Setidaknya ada beberapa kejanggalan yaitu

Pertama, seperti diungkapkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI ) Fadli Zon, di satu sisi kementrian pertanian mencatat ada surplus beras 329 ribu ton pada Januari 2018.

Data BPS menunjukkan sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementaratingkat konsumsi beras 2,5 juta ton. Ini artinya ada kelebihan beras 300 ribuan ton.

Kejanggalan kedua, Fadli Zon menyebut kementrian perdagangan mengimpor beras premium, bukan beras medium .Yang menjadi persoalan di pasar adalah kelangkaan beras medium yang dikonsumsi hampir  98 persen masyarakat. Sementara beras premium hanya dikonsumsi dua persen penduduk. Karena yang langka itu  beras medium sudah semestinya bukan beras premium yang ditunjukan kepada orang orang berduityang diimpor .

Ketiga, impor tidak dilakukan perusahaan umum Badan Urusan Logistik (Bulog) , melainkan Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Tujuan impor beras ini untuk menstabilkan harga beras yang berarti menyangkut kepentingan umum. Menurut Fadli, atas dasar itu yang berhak mengimpor beras adalah Bulog, bukan PPI.

Keempat, izin impor dikeluarkan saat petani hendak menghadapi musim panen, sehingga kondisi ini dikhawatirkan bisa memiskinkan petani. Fadli pun menyarankan agar pemerintah terus melakuan operasi pasar untuk menstabilkan harga beras dan pasokan .

Kejanggalan kelima, kebijakan impor beras hanya akan medemoralisasi dan memiskinkan petani. Karena itu, Wakil Ketua Komisi  IV DPR RI Viva Yogamauladi menilai impor beras dilakukan berpotensi melanggar Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Dalam Pasal 39 UU Nomor 18 Tahun 2012 bahwa impor pangan tidak boleh berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi ,dan kesejahteraan petani. Padahal, dalam waktu dekat,  para petani akan memasuki masa panen.

Mendudukkan Persoalan

Mencermati hal ini  sesungguhnya ada dua persoalan yang bisa dipilah. Pertama,  masalah harga dan ketersedian beras adalah masalah produksi-konsumsi, hukum permintaan dan penawaran serta kelangkaan. Sedangkan, yang kedua persoalan ekspor-impor adalah urusan perdagangan antar negara. Dalam sistem ekonomi kapitalis masalah perekonomian terletak pada kelangkaan,sehingga solusi yang diberikan adalah meningkatkan produksi barang dan jasa tapi tidak pernah memperhatikan secara  serius masalah distribusi barang tersebut kepada setiap individu.

Akibatnya, walaupun barang  secara jumlah mencukupi tapi tidak ada jaminan setiap orang dapat memenuhi barang tersebut. Pemerintah senantiasa  berusaha untuk memfokuskan pada peningkatan produksi nasional atau penyediaan stok nasional tanpa memperhatikan secara serius distribusi kekayaan tersebut di tengah-tengah rakyat.

Hal ini terbukti walaupun setiap tahun pemerintah mengklaim cadangan beras surplus baik dari hasil panen maupun ditambah hasil impor, masih banyak warga negara yang mengalami kelaparan.  Menurut penelitian FAO tahun 2015 masih ada sekitar 19,4 juta penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan.

Terkait persoalan ekspor-impor yang merupakan urusan perdagangan antar negara berarti hal ini terkait dengan konvensi internasional yang menjadi landasan bagi setiap negara dalam menjalankan politik hubungan luar negerinya. Dalam hal ini, kebijakan impor yang diputuskan Indonesia tidak lepas dari pengaruh  kebijakan di pasar global yang dibuat lembaga tingkat dunia yaitu Konsensus Washington.

Penyebaran agenda ekonomi neoliberal secara massif ke seluruh penjuru dunia terjadi paska krisis moneter Amerika Latin tahun 1980-an. Dalam kerangka menanggulangi krisis moneter di kawasan itu, IMF bekerjasama dengan Departemen Keuangan Amerika Serikat dan Bank Dunia, menawarkan sebuah paket bantuan finansial plus kebijkan ekonomi yang dikenal sebagai Konsensus  Washington.

Sepintas program-program Konsensus Washington tampak wajar, netral dan berpihak kepada negara-negara miskin. Namun di balik program itu tersembunyi kepentingan negara adikuasa. Apalagi dalam praktiknya, kebijakan ini sering dipaksakan sekaligus  kepada negara yang sedang didera krisis tanpa tahapan,fleksibilitas dan persiapan untuk memperkokoh kekuatan ekonomi dan domestic. Agenda Konsensus Washington pada garis besarnya meliputi:

  • Kebijakan anggaran ketat,termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuk dari sini diharapkan ada surplus anggaran sehingga bisa dirancang untuk sumber pembayaran utang karena memangkas dan bahkan penghapusan subsidi untuk rakyat seperti pendidikan,kesehatan,dan perumahan. Dengan kata lain, bayar utang itu wajib,sedangkan pemenuhan urusan rakyat belakangan
  • Liberalisasi keuangan. Kebijakan ini seolah fair,up to date dan “di-back up” oleh kekuatan moneter dunia seperti IMF dan World Bank. Hal ini sebenarnya hanya dimaksudkan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin dan dividen perusahaan setiap saat dapat keluar dari negara berkembang
  • Liberalisasi industri dan perdagangan. Kebijakan ini hanya memudahkan negara-negara maju untuk mengekspor barang dan jasa ke negara-negara miskin. Negara-negara maju justru menerapkan upaya perlindungan terhadap sektor industri dan pertanian mereka melalui kuota,kebijakan anti dumping, export restraint,subsidi dan hambatan non tarif. Ini tampak jelasdalam persetujuan GATT,APEC, dan sebagainya
  • Keempat,penjualan aset-aset perusahaan milik negara. Dengan istilah keren privaritisasi, kebijakan ini sebenarnya dimaksud untuk menciutkan peran negara dalam penguasaan ekonomi. Pada praktiknya program penjualan aset negara ini dilakukan dengan sembrono dan diobral dengan harga murah. “Program privatisasi identik dengan perampokan (piratization),”kata Prof Marshall Goldman dari Universitas Harvard.

 

Di Indonesia agenda ekonomi neoliberal sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1980-an. Misalnya, lewat paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Namun agenda ini baru diterapkan besar-besaran  paska krisis moneter 1997. Setelah nilai rupiah anjlok, pemerintah mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian.Ingatlah kepongahan Presiden IMF Michael Camdesuss saat Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent(LoI) pada saat itu. Sebagai syarat pencairan dana, IMF mewajibkan Indonesia melaksanakan paket kebijkan Konsensus Washington dengan menandatangani LoI. Salah satu butir kesepakatan itu adalah penghapusan subsidi bahan bakar minyak,memberi peluang masuknya perusahaan multinasional  seperti Shell. Privatisasi BUMN pun mulai dilaksanakan seperti privatisasi Indosat, Telkom, BNI, PT Tambang Timah, Aneka Tambang dan lain-lain. Strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang Mafia Berkeley jelas mengacu pada Konsensus Washington.

Maka terlihat betapa kebijkan ekonominya selalu menempatkan Indonesia sebagai kepanjangan tangan kepentingan global. Seperti  orang yang tidak mau belajar pada kegagalan, pemerintah Orde Baru menggandeng IMF untuk memulihkan krisis moneter yang demikian parah . Momentum ini segera dimanfaatkan oleh kelompok neoliberal –melalui IMF—untuk memaksakan agenda neoliberalnya.

Saat itu,  pemerintah dipaksa menjalankan Konsensus Washington sebagai syarat pencairan dana talangan yang disediakan oleh IMF melalui penandatangan LoI; mulai dari penghapusan tariff biaya masuk,pencabutan subsidi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi dan agenda-agenda neoliberal lain yang terus berlanjut hingga saat ini.

Dalam kaitannya dengan liberalisasi perdagangan, demi mendapatkan utang dari IMF, pemerintah menjalanakan sepenuhnya kemauan IMF, menghapus tarif bea masuk beras dan gula impor hingga 0%. Bahkan dalam jangka panjang pemerintah berkomitmen akan menghapus seluruh bea masuk produk agro-industri.

Sejak liberalisasi impor diterapkan, industri gula mengalami kehancuran. Padahal banyak negara lain yang perekonomiannya lebih kuat pun masih mempertahankan  bea masuk impor seperti Amerika sebesar 195%, beberapa negara di Eropa bahkan 240%,Thailand 104%.

Padahal, tidak ada negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dengan mengikuti Konsensus Washington. Dua dekade kemerosotan di  Amerika Latin (1980-2000) adalah  contoh nyata dari kegagalan ini. Negara-negara yang menyalahi Konsensus Washington seperti  Jepang,Taiwan, Korea Selatan dan China justru berhasil meningkatkan ekonomi dan kesejahteraannya karena memberi peran negara dan swasta secara berimbang serta tak bergantung utang.

Ini semua menunjukan dengan sangat jelas bahwa motif dari kebijakan IMF tersebut  bertujuan untuk mengakomodir kepentingan pemodal-pemodal negara-negara maju yang membutuhkan pasar untuk produk-produk industri pertaniannya terutama Kanada dan AS serta Uni Eropa. Makna liberalisasi pasar adalah agar negara dunia ketiga secepatnya meliberalisasi pasarnya  agar menjadi pasar bagi produk-produk negara maju sementara negara maju tetap mengenakan proteksi (dengan tarif ataupun non tarif).

Dari sini, dapat dilihat kemana arah kebijakan  impor beras yang dtetapkan pemerintah, tentu saja untuk menjalanakan Konsensus Washington untuk memprivatisasi dan meliberalisasi  impor agar sesuai arahan negara  kapitalis.

Jika dikaitan dengan keputusan pemerintah untuk mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand apakah masih berkaitan dengan Konsensus  Washington tentu mustahil tiada. Jamak  diketahui bahwa Amerika adalah investor terbesar  kedua di Thailand (setelah Jepang).  Sedangkan untuk Vietnam , negara ini telah melakukan  penandatanganan kerjasama dengan Amerika dalam bidang ekonomi yaitu Trade Agreement (BTA) yang   dikukuhkan tanggal 2001. Kerjasama perdagangan yang terjadi antara Vietnam dan AS terus mengalami pertumbuhan setelah dilakukan BTA.

Selama kurang lebih 20 tahun sejak kebijakan Doi Moi,Vietnam merupakan salah satu negaa ASEAN yang  memiliki pertumbuhan yang cepat,dengan rata rata 7 persen sampai 8 persen kenaikan GDP per tahun. Produksi pertanian meningkat dimana Vietnam menjadi iNegara kedua terbesar mengeksport  beras dan merupakan produsen kopi kedua terbesar di dunia.

Menggantungkan pasokan beras dari impor beresiko utama mengancam ketahanan pangan. Apalagi pasokan beberapa komoditas seperti beras di pasar global menipis,sangat di tentukan kondisi dan kebijakan negara produsen produsen. Disamping itu ,devisa yang dibutuhkan untuk impor juga cukup besar apalagi jika kurs rupiah melemah.

Pertanian dalam Islam

Suramnya kondisi sektor di negara ini, tidak hanya disebabkan lemahnya perhatian pemerintah untuk membenahi sektor ini. Namun juga disebabkan oleh sistem yang digunakan dalam mengelola negara dengan mengadopsi prinsip kapitalis liberal, peran negara dalam urusan publik makin minimal.padahal dengan penduduk yang mayoritas muslim semestinya nnegara dikelola sesuai dengan aturan Islam.

Dalam politik ekonomi Islam, pertanian harus diarahkan untuk mampu berswasembada dalam memenuhi kebutuhan primer yakni pangan pakaian dan perumahan. Selain itu, dalam tahap awal, sektor ini dijadikan sebagai sumber pendapatan devisa untuk mengembangkan industry pengolahan khususnya industri berat.

Tanah yang menjadi bagian asasi dari sektor pertanian dikelola mengikuti status hukum tanah apakah masuk tanah dalam individu, milik umum ataupun negara. Tanah yang masuk dalam kategori milik umum seperti barang tambang, tidak boleh diserahkan kepada swasta. Tanah pertanian yang bestatus hak milik atau hak guna berdasarkan ijma sahabat, jika tidak digarap selama tiga tahun maka akan diambilalih oleh negara untuk distribusikan kepada pihak lain yang membutuhkan.

Pemerintah juga diberi kewenangan untuk melakukan pengelolaan tanah secara  eksklusif untuk kepentingan negara seperti pengembangan komoditas pangan yang dianggap strategis.

Selain memiliki kebijakan yang unik dalam memproduktifkan tanah pertanian, Islam juga mendorong pemerintah untuk memberikan subsidi kepada para petani seperti pupuk benih dan sarana pertanian yang dibutuhkan sebagaimana jamak khalifah di masa pemerintahan Islam.

Anggaran dan kegiatan riset pertanian juga mendapatkan perhatian khusus agar mampu menghasilkan benih sarana dan metode pertanian yang makin produktif dan makin efisien terhadap penggunaan air, tanah,dan pupuk serta adaptif terhadap berbagai musim.

Yang tak kalah pentingnya adalah pengaturan dalam tata niaga dalam Islam, perdagangan luar negeri haram untuk mengikuti konsep pasar bebas. Oleh karena itu,negara mengatur komoditas yang boleh diekspor dan diimpor agar sejalan dengan kepentingan politik pertanian negara dan kemaslahatan petani dan rakyat secara umum.

Pemerintah mengontrol ketat kegiatan pemasaran sehingga  praktik penimbunan dan kecurangan dalam transaksi perdagangan dapat dikendalikan. Wallahu a’lam.(jejakrekam)

 

 

 

 

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/03/09/konspirasi-gombal-libas-beras-lokal/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.