2 Ahli Hukum Berikan Keterangan di Sidang PK Mardani H Maming, Ini Penjelasannya

0

SIDANG lanjutan Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli, kembali bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin, Jalan Pramuka, Senin (4/3/2024).

KEDUA ahli yang dihadirkan Penasihat Hukum Mardani H Maming itu yakni, Prof Dr Ridwan dosen Hukum Administrasi Negara dan Dr Muhammad Arif Setiawan dosen hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Doktor Arif Setiawan adalah salah satu akademisi yang turut terlibat dalam proses eksaminasi atau pengujian terhadap putusan perkara Mardani H Maming.

BACA : Sidang PK Mardani H Maming, Penasihat Hukum Pinta Batalkan Putusan Kasasi, Ini Alasannya

Alasan dilakukan eksaminasi terhadap putusan itu selain dilatarbelakangi guna keperluan akademik, juga lantaran putusan cukup menarik untuk diuji.

“Eksaminasi dilakukan terhadap perkara menarik,” ujarnya dalam persidangan yang dihadiri Mardani secara virtual dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat.

Berdasarkan hasil eksaminasi itu muncul kesimpulan, adanya kehilafan yang dilakukan hakim dalam memutus perkara korupsi yang dilakukan mantan Bupati Tanah Bumbu itu, yakni tidak
ditemukannya meeting of mind yang semestinya menjadi alasan kuat untuk dipertimbangkan hakim dalam memutuskan perkara.

BACA JUGA :  Lakukan PK di Banjarmasin, Beredar Video Plesiran Diduga Mardani H Maming di Surabaya

“Setelah membaca putusan, ahli tak menemukan adanya meeting of mind dalam pemberian, hanya satu pihak. Itulah yang menjadi kehilafan hakim,” ujarnya.

Selanjutnya, adanya hukuman tambahan berupa uang pengganti (UP) Rp110 miliar, lantaran dinilai adanya kerugian negara yang muncul akibat perkara korupsi tersebut. Arif Setiawan mengatakan dari hasil eksaminasi bahwa uang yang diterima Maming adalah hasil dari bisnis perusahan yang dijalankan oleh pihak keluarga.

“Sebagian putusan hakim mengakui itu perusahan keluarga. Pemberian itu dari saudaranya. Bagaimana itu disebut sebagai suap,” paparnya.

Semantara itu, Prof Dr Ridwan menjelaskan, pemindahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) memang kewenangan seorang bupati.

BACA LAGI :  Tolak Kasasi Mardani H Maming, MA Kuatkan Putusan Tingkat Banding PT Banjarmasin

“Yang tidak boleh melakukan pengalihan itu pemilik IUP. Itu jelas diatur dalam undang-undang. Kalau bupati yang melakukan memang kewenanganya,” terangnya.

Menanggapi ahli, Jaksa KPK RI Greafik Loserte mengatakan, dalam konteks membuktikan ada tidaknya perbuatan korupsi, yang pertama pihaknya lakukan yakni, ada atau tidak meeting of mind nya. Cuma memang dari sisi akademisi untuk menilai ada dan tidak meeting of mind nya berbeda-beda cara pandangnya, tapi itu hal yang biasa.

“Kami selaku penuntut umum sedari awal menyakini bahwa meeting of mind dalam perkara ini tidak terwujud dalam bahasa terang-benderang, tapi dalam sembunyi-sembunyi, itulah yang dimaksud dalam konteks kesepakatan diam-diam,” urainya.

BACA :  Banding Mardani H Maming Ditolak, PT Banjarmasin Perberat Hukuman 12 Tahun Penjara

Dalam hal itu, Greafik menambahkan, pihaknya menyampaikan bukti-bukti yang mendukung atas tuduhan, diantaranya keterangan saksi, ahli, bahkan alat bukti surat dalam bentuk rekening koran. “Itu sama-sama kita lihat dalam persidangan terdahulu, itulah meeting of mind nya,” tegasnya.

Kemudian, kalau dikatakan bahwa perjanjian bisnis tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, pertanyaannya adalah apakabar dengan perjanjian bisnis yang digunakan sebagai modus operandi tindak pidana?

“Itu hal biasa kita temui dalam tindak pidana apapun, apalagi tindak pidana korupsi,” imbuhnya

Ketika ahli mengatakan perjanjian bisnis tidak ada urusannya dengan tindak pidana, nanti dulu. “Kita buktikan bahwa perjanjian bisnis itu hanyalah sebagai cara untuk menutupi tindak pidana asalnya, apa itu? Ya suap,” katanya.

Begitu juga dengan, keterangan ahli yang menyatakan bahwa uang pengganti hanya dapat dikenakan dalam tindak pidana yang hubungannya dengan kerugian keuangan negara, pihaknya tidak sependapat dengan hal itu.

“Kami berpendapat, terhadap hasil suap yang diperoleh oleh terdakwa, maka dalam tuntutan kami harus diajukan uang pengganti terhadap hasil tindak pidana yang diperoleh dari suap itu yang nilainya Rp 110 miliar dan ketika terdakwa mengatakan tidak setuju terhadap putusan itu, lalu kenapa uang penggantinya dibayar Rp 10 miliar,” paparnya.

Berarti itu wujud mengikuti putusan, mengakui bahwa uang pengganti itu adalah bagian tindak pidana yang dia lakukan, begitu juga dengan kewajiban pejabat, yakni bupati yang tidak punya kewenangan untuk menolak menandatangani peralihan IUP OP, karena sudah disetujui oleh Kepala Dinas dan Tim Verifikasi.

“Kita memandang pasal 93 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, subyek hukumnya bukan hanya pihak yang memiliki permohonan pengaju dalam hal ini adalah pengusaha, tapi juga mengikat terhadap pejabat pemerintah yang karena kewenangannya bisa memindahkan IUP OP itu kepada pihak lain,” tuturnya.

Sementara itu Yasir Arafat, Kuasa Hukum Mardani H Maming menambahkan, dengan mendengar keterangan ahli hari ini, bisa dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusan PK.

“Penjelasan meeting of mind, kami kira itu hal yang sangat wajar, ahli menjelaskan itu, karena memang sesuai dengan keahlian dia sebagai ahli hukum pidana,” ucapnya singkat.

Majelis Hakim yang dipimpin Suandi kemudian menunda sidang. Adapun sidang selanjutnya akan digelar pada Kamis 14 Maret 2024, dengan agenda mendengarkan pendapat Jaksa KPK RI atas penjelasan ahli.(jejakrekam)

Penulis Iman S

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.