Pemilu 2024 Berpotensi Picu Polarisasi, Direktur PUSAD Paramadina Sebut Medsos Jadi Penyebabnya

0

DIREKTUR Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina Jakarta Ihsan Ali Fauzi menyebut jelang Pemilu 2024, potensi polarisasi di tengah masyarakat telah mengemuka dan makin menguat.     

FAKTA itu diungkap Ihsan Ali Fauzi dalam diskusi bertajuk Demokrasi, Polarisasi dan Krisis Gerakan Masyarakat Sipil gelaran Forum Ambin Demokrasi, Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) dan jejakrekam.com di Rumah Alam, Sungai Andai, Banjarmasin, Jumat (22/12/2023).

Dalam diskusi dipandu pegiat demokrasi, Noorhalis Majid juga menghadirkan sejumlah akademisi, aktivis pro demokrasi hingga tokoh keagamaan.

Menurut Ihsan Ali Fauzi, apakah Indonesia yang memiliki keberagaman penduduknya, termasuk Kalimantan Selatan yang heterogen masih memiliki potensi polarisasi dalam politik.

“Mari kita saling mengingatkan bahwa polarisasi dalam politik tidak baik. Ada tiga hal yang memicu polarisasi. Di antaranya adalah tergantung pada delegasi politik, narasi yang dibangun, sampai regulasi penyelenggara. Jika masyarakat terbelah susah untuk menyatukannya kembali,” kata pendiri PUSAD Yayasan Paramadina Jakarta ini.

BACA : Polarisasi Warga Kalsel Kian Runcing, Tokoh NU Serukan Ulama NU Kembali ke Khittah

Dia mencontohkan pada Pemilu 2014 dan 2019 sangat kental dan kuat polarisasi dengan hadirnya pelabelan ‘cebong’ dan ‘kampret dari masing-masing kubu pendukung atau politik sang calon.

“Hal ini jelas membuat kita resah, karena menyangkut persoalan kebangsaan. Jujur, kita pasti resah jika pasca pemilu justru masih ada gap dan polarisasi masyarakat,” kata Ihsan Ali Fauzi.

Jebolan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta ini menilai peran generasi muda sangat penting dalam menghadapi badai polarisasi. Sebab, menurut Ihsan, generasi muda sebagai agen perubahan, bahkan jumlah pemilih yang kebanyakan dari kalangan generasi muda turut pula menjadi alasan kuatnya.

BACA JUGA : Polarisasi Tak Terhindarkan, Akademisi ULM Serukan Denny-Birin Redam Ketegangan

“Generasi muda ini memegang peranan penting. Termasuk untuk mencegah terjadinya polarisasi. Tapi sesungguhnya, problem pemilu itu bukan polarisasi, alih-alih politik uang. Money politic ini yang jadi tugas kita bersama dalam memberantasnya. Mereka terutama mahasiswa  punya tanggung jawab bagi kesehatan demokrasi,” kata doktor lulusan Ohio State University Columbus ini.

Bagi Ihsan Ali Fauzi, ada beberapa faktor menyebabkan polarisasi dari politik, sosial, hingga faktor ekonomi. Dia melihat Pemilu 2024 akan jadi pemilu yang paling dinamis. Faktornya bisa jadi karena persaingan yang ketat karena banyak kandidat yang memiliki peluang yang cukup besar.

BACA JUGA : AJI dan Monash University Indonesia Kolaborasi Pantau Ujaran Kebencian Online di Pemilu 2024

“Hal ini dapat menyebabkan ketegangan politik, akses informasi yang massif dan tak terkontrol ini juga dapat meningkatkan polarisasi,” kata pakar sejarah Asia Tenggara dan politik lulusan Ohio University, Athens, Amerika Serikat ini.

Menurut Ihsan Ali Fauzi, guna mencegah fenomena polarisasi seluruh elemen diharapkan bersama menciptakan iklim politik yang kondusif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara tidak membawa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan melakukan pengawasan pada media sosial.

“Instrumen dalam polarisasi politik salah satunya media sosial. Inilah mengapa penting memberikan pemahaman kepada para pemilih, khususnya pemilih muda dalam melihat konten yang berkaitan dengan politik dan pemilu,” katanya.

BACA JUGA : Trend Dan Tantangan Pemilu Serentak 2024, Politik Uang Tidak Selamanya Menang

Ihsan Ali Fauzi menyebut agak sulit memang jika seseorang sudah punya pilihan, jika ada konten yang dianggap merugikan pilihan yang lain maka kecenderungan untuk membagikan di media sosial itu relatif lebih besar tanpa kroscek terlebih dahulu. “Inilah yang menjadi pemicu rusaknya hubungan kekerabatan di lingkungan masyarakat,” kata pria berkaca mata ini.

Ihsan Ali Fauzi  berharap jelang Pemilu 2024 tidak ada lagi masyarakat yang menghapus dan memblokir pertemanan di media sosial akibat perbedaan pilihan. “Literasi media dan politik menjadi kunci agar potensi polarisasi dapat dicegah,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.