Calap (Banjir) dan Format Masa Depan Kota Banjarmasin

0

Oleh : Subhan Syarief *)

BICARA masa depan merupakan hal yang menarik, karena masa depan umumnya selalu di cita kan untuk dapat menampilkan sebuah situasi yang lebih baik. Situasi dan kondisi yang tentu harus lebih baik dibandingkan dengan masa lalunya.

KOTA Banjarmasin adalah kota yang hampir memasuki usia ke 500 (lima ratus) tahunnya, tinggal 5 tahun lagi dia akan genab berusia 5 abad. Sebuah usia yang tentu tidaklah muda lagi, kota Banjarmasin dasarnya telah menjadi  kota tua. Kota tua yang semakin rapuh , rapuh karena tak mampu menjawab tantangan perubahan akibat gebyar pembangunan yang sangat dinamis dan tak kenal arti kata menyerah, persoalan perubahan iklim yang tak membaik bahkan ternyata semakin menimbulkan masalah.

Kondisi geografis ‘unik’ kota Banjarmasin yabg dibelah serta dikelilingi sungai tentu sangatlah menyimpan potensi. Sayangnya posisi daratan yang semakin jauh berada di bawah permukaan air laut , kehilangan sungai kecil dan menengah sebagai ‘jalan air’ dan rumah air’, kemudian tergerus nya area resapan sebagai tempat penampungan air limpahan menjadi fakta yang terpaksa di nikmati. Dan tentu ujungnya memunculkan masalah seperti yang akhir akhir terjadi dan semakin parah. Yaa.., salahsatunya adalah naiknya muka air sungai ke daratan yang dari waktu ke waktu semakin meningkat tajam. Area daratan yang terendam semakin bertambah.

Walhasil, dari kondisi kekinian kota Banjarmasin ini, membuat muncul tanya besar. Apakah kota ini perubahan nya sudah berjalan menuju ke jalur format yang semestinya dengan semakin membaiknya kondisi kota berikut warganya atau apakah perubahan yang terjadi malahan semakin menambah permasalahan dan beban berat kota sehingga kota menuju ke arah kondisi tidak nyaman.

Sepertinya umumnya ciri dari sebuah Kota, maka kota Banjarmasin pun mengalami aspek pertumbuhan yang cepat dan dinamis. Pertumbuhan inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap bentang alam dan lingkungan kota Banjarmasin. lingkungan kota yang dulunya dipenuhi oleh area resapan dan berbagai sungai, baik kecil , menengah dan besar pelan pelan ternyata terdegradasi oleh dampak pembangunan infrastruktur kota.  Area resapan menyusut berubah menjadi daratan, sungai banyak yang mati, buntu dan bahkan berubah menjadi kawasan permukiman. Ini membuat beban kota Banjarmasin semakin bertambah dan parahnya semua berjalan tak sesuai dengan karakteristik kotanya.

Ya, bila cermat melihat maka akan ditemukan bahwa semua yang diformat dalam pembangunan ataupun penataan kota Banjarmasin mulai dahulu sampai saat ini telah banyak yang mengabaikan hal keselarasan dengan lingkungan.

BACA: Kota Banjarmasin, Sungai dan Arsitektur

Dampak dari ketidak selarasan inilah yang akhirnya memunculkan konflik masalah. Ada 3 (tiga) masalah yang muncul bila model format penataan seperti saat ini dilanjutkan dan tak mau di rubah. Masalah yang bisa dipastikan selalu terjadi di kota Banjarmasin. Ya, masalah Macet , Calap / Banjir dan Kumuh (MCK) akan tetap jadi hambatan kota ini kedepan. Ketiganya ini salinglah terkoneksi dan tak bisa terpisah. Akan tetapi dari masalah tersebut, yang paling utama adalah hal Calap / Banjir. Bila hal kecalapan / kebanjiran ini tak bisa di tanggulangi dan kemudian selalu terjadi disetiap saat waktu muka air sungai menaik / pasang maka ujungnya pasti kumuh dan juga macet akan terjadi semakin parah. Bayangkan saja ketika air menggenangi jalan dan permukiman setinggi 30 cm dan kemudian sampah sampah bermunculan terbawa air yang menaik / banjir tersebut. Tentu ujungnya berdampak lalu-lalangnya kendaraan dijalan akan terhambat dan membuat jalan menjadi macet. Kemudian dengan sampah yang berhamburan dipastikan kekumuhanpun akanlah hadir di sekitar kawasan yang tergenang tersebut. MCK (Macet , Calap dan Kumuh) adalah masalah pokok kota Banjarmasin kedepan.

Kembali ke hal calap / banjir yang tak henti selalu mengincar atau terjadi terjadi di kota Banjarmasin merupakan PR yang teramat bagi para pemangku kebijakan dan para ahli penata kota , atau berbagai pihak yang peduli. Kondisi tersebut bisa dipastikan akan selalu menjadi ‘hantu’ menakutkan bagi keberlanjutan kota ini.

Kondisi alamiah akibat naiknya muka air sungai  sebagai dampak kondisi muka air laut pasang yang dari tahun ketahun selalu meningkat akan mengancam daratan kota Banjarmasin. Dan kondisi ini akan terus berlangsung setiap waktu. Bila tak cermat dan tak tepat metode penangganan atau lambat dalam menangani maka akan semakin banyak kawasan kota yang tergenang.

Sejatinya dengan kondisi ini maka Banjarmasin dasarnya memang mesti fokus kearah hal tata kelola limpahan air baik yang bersumber dari hulu / atas ataupun yang bersumber dari hilir. Karena sejatinya semua kemajuan ataupun kesemarakan kota tak akan banyak berguna ketika musibah kecalapan masih terjadi dan kemudian semakin parah.

Tentu semua tidaklah ada arti, bila ternyata kota ini selalu tergenang ketika hujan mendera dan air laut pasang. Ujungnya tagline Barasih wan Nyaman yang di gaungkan dan dibanggakan tidaklah akan bisa tercapai. Semua akan hanya jadi sekedar ‘celoteh kosong’ tak bermakna dan hanya sekedar jadi alat ‘citra’ saja.

Bagi yang cermat dan paham masalah pasti menyatakan hal calap / banjir ini akanlah menjadi  momok yang mengancam keberlangsungan kota. Bahkan bisa saja bila lambat bertindak sebagian wilayah kota akan  terendam dan ujungnya menjadi ‘hilang’ dari peta wilayah daratan.

Ya, muka air laut yang selalu menaik akibat pengaruh pemanasan global pelan tapi pasti akan berdampak memaksa muka air sungai akan juga turut menaik kedaratan. Tentu ini akan membuat banyak wilayah yang dulunya daratan berubah fungsi menjadi kawasan air / tergenang. Bila kondisi ini tak mampu di atasi maka akan lah semakin banyak kawasan daratan yang akan berubah fungsi , terutama daerah bantaran sungai. Kondisi ini bagi kota Banjarmasin sangatlah mungkin untuk terjadi. ini karena sungai dan area resapan sudah banyak hilang. Bahkan sungai utama yang membelah kota , yang dasarnya sangat berperan penting mengatur siklus pasang surut air ternyata telah tak mampu berfungsi dengan baik. Banyak yang semakin dangkal, menyempit, buntu dan bahkan juga banyak yang mati. Kondisi ini bila lambat ditangani akankah menjadi ‘bom waktu’ yang akan kembali ‘meledak’.

Bencana banjir besar di awal tahun 2021 salahsatu pelajaran berharga yang mestinya jadi acuan dalam menata kota. Sayangnya ini tidak lah diperhatikan. Bahkan ujung tombak dalam pengaturan tata guna lahan kota seperti RTRW yang baru disahkan pun sepertinya tak menganggap penting hal normalisasi ‘sungai dan area resapan’ sebagai pengatur kondisi masa depan kota. Mestinya dalam berbagai regulasi terkait tata guna lahan , dalam membangun. Berbagai Perda , seperti perda RTRW dan RTBL  kota Banjarmasin ataupun regulasi terkait infrastruktur fisik dalam pengodokannya perlulah dilakukan reposisi sudut pandang.

Semestinya semua lebih dikaitkan dengan hal kondisi kelemahan kota Banjarmasin dalam hal masalah calap dan tata kelola air limpahan.

Musibah Banjir yang terjadi kemaren, ataupun kondisi yang menyebabkan air kiriman baik dari hulu dan hilir yang tak bisa di tampung dan disalurkan dengan lancar kearah sungai dan area resapan mestinya dijadikan ‘ruh’ dalam menjiwai perda RTRW tersebut. Sayangnya publik banyak yang tak pernah tahu apa isi dari RTRW tersebut. Dan tak pernah di bahas atau di sampaikan ke publik secara utuh. Umumnya yang disampaikan hanyalah secara global. Walaupun ada sosialisasi itupun yang di undang hanyalah terbatas dan tak jarang yang hanya banyak memberikan persetujuan tanpa di sertai pembahasan mendalam. Salah satu contoh saja ketika adanya aturan yang memberikan ijin untuk kembali melakukan reklamasi terhadap lahan di kota Banjarmasin. Padahal kita tahu lahan lahan dikota Banjarmasin saat ini sudah penuh dengan urugan, diperkirakan bisa saja 60 % – 70 % lahan kota yang juga sebagai resapan air sudah habis terurug. Kondisi ini bila kemudian kedepan ternyata sisa lahan rawa / area resapan yang ada inipun kemudian masih diijinkan untuk melakukan reklamasi maka dipastikan yang tersisa nya akan semakin sedikit. Nah.., bila ini dikaitkan dengan kebutuhan penampungan debet air ketika air pasang ataupun ketika hujan melanda maka bisa kita bayangkan apa yang terjadi. Air akan ditampung pada area resapan yang luasnya tak banyak, tentu pasti ujungnya akan membuat genangan pada daerah daratan yang rendah.

BACA: 15 Kampung di Kota Banjarmasin Raih Penghargaan Proklim

Jadi bila melihat kondisi kota Banjarmasin yang mau tidak mau dimungkinkan akan selalu di kepung oleh air melalui limpahan dari hulu , bila terjadi hujan ekstrem dari atas serta kemudian tak mampu di tampung oleh kabupaten Banjar. Dan juga melalui hal limpahan dari hilir sebagai dampak naiknya permukaan air laut yang selalu meningkat setiap tahunnya.  Kondisi ini mestinya mendapat perhatian khusus dan serius dari para pengambil kebijakan kota Banjarmasin.  Bahkan seharusnya menjadi acuan para pihak ketika mau membangun infrastruktur di kota ini. Kondisi ini sejatinya juga memaksa dilakukan perubahan baru dalam mengatur arah, ritme dan format kota Banjarmasin kedepan. Format penataan kota tidaklah bisa seperti dahulu lagi. Karateristik geografis kota Banjarmasin yang berubah akibat persoalan limpahan air tersebut sangatlah berpengaruh dalam pengaturan model penataan kedepan. Yaa,  perubahan arah baru dalam memformat Kota Banjarmasin mestilah segera di lakukan.

Dengan kondisi geografis kota Banjarmasin yang telah berubah dari kondisi rawa menjadi daratan akibat urugan tentu akanlah membuat masalah. Ini mestinya berkonsekuensi menuntut di hadirkannya model penangganan kota kedepan menggunakan model adaftasi baru. Model adaftasi yang bisa menyelesaikan masalah sebagai akibat kebijakan ‘melawan alam’ atau tak sesuai dengan karakteristik asal kawasan Kota Banjarmasin yang sudah kadung di lakukan secara masif. Pengurugan masal yang menghasilkan hilangnya banyak area resapan dan juga membuat sumbatan terhadap arus sirkulasi air pasang surut adalah sebuah masalah utama yang mesti di atasi. Mengatasinya tentu tidaklah mudah. Karena sangat tak mungkin untuk memindahkan atau membuang urugan yang sudah mendominasi kawasan kota Banjarmasin ketempat lain.

Memang ujungnya agar kota Banjarmasin mampu bertahan atau beradaptasi dengan kondisi kekinian. Wabil khusus dalam menyikapi perubahan kondisi ektrems terhadap cuaca, lingkungan dan hilangnya berbagai furniture alam yang berfungsi menjaga keseimbangan maka mau tidak mau format arah pengembangan kota pun mesti dilakukan perubahan mendasar. Tak bisa lagi menata dan mengarahkan kota dengan pola dan model yang ada saat ini.

Piranti RTRW, RPJP dan RPJM  serta berbagai regulasi dalam pengaturan membangun infrastruktur kota mesti wajib dilakukan rekayasa ulang, ini bila Kota Banjarmasin ingin selamat dan tetap mampu bertahan.

Ya, sejatinya format baru kota Banjarmasin mestilah sudah dibuat dan dipersiapkan. Sebuah format baru yang mampu mengatasi berbagai persoalan sebagai akibat dari perubahan iklim, lingkungan dan pertumbuhan yang dinamis sebagai ciri utama dari sebuah kota. (jejakrekam)

November dan Awal Desember 2021

*) Penulis ada seorang doktor dan pengamat perkotaan tinggal di Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.