Melihat Potret Kehidupan Penghuni Rumah Lanting yang Tersisa di Banjarmasin

0

RUMAH Lanting merupakan salah satu warisan budaya yang ikonik di Kota Banjarmasin. Letaknya yang mengapung di atas sungai, berjejer satu demi satu membuat keberadaan rumah lanting menjadi khas nan unik.

NAMUN, seiring berjalannya waktu rumah lanting kian menyusut. Padahal, dulu di kawasan Seberang Masjid, Kecamatan Banjarmasin Tengah, misalnya, ada puluhan rumah lanting berjejer rapi.

Menyusutnya jumlah Rumah Lanting gegara mayoritas warga sudah menemukan tempat tinggal yang layak. Di samping itu, minimnya perhatian dari pemerintah membuat warga pesisir sungai sulit untuk mempertahankan khas warisan budaya tersebut.

“Saya pun kalau disuruh memilih, inginnya punya rumah seperti orang lainnya berada di daratan,” ucap Abasiyah, salah satu penghuni rumah lanting di Seberang Masjid kepada jejakrekam.com, Senin (12/10/2020).

Menurut wanita berusia 56 tahun itu, perawatan rumah lanting memerlukan dana yang tidak sedikit. Misalnya, satu buah rumah lanting, memerlukan sedikitnya 500 bambu berukuran besar untuk dapat menopang rumah yang mengapung.

Sosok Abasiyah saat ditemui jejakrekam.com di kediamannya kawasan Seberang Masjid, Kecamatan Banjarmasin Tengah. (Foto: M Syaiful Riki)

Belum lagi, kayu-kayu besar lainnya yang berada di bawah lantai rumah. Yang kegunaannya, selain agar membuat rumah mengapung, juga berguna sebagai penangkal gelombang, agar tidak langsung menghantam bambu.

Gelombang besar yang menghantam, memang menjadi salah satu penyebab betapa mudahnya rumah lanting dapat rusak.

“Biasanya perahu bermesin besar seperti speed boat itu. Kami yang tinggal di rumah lanting biasa berteriak agar mereka melintas pelan, tapi kerap dicueki. Mereka tetap melaju,” tuturnya.

Bila sudah seperti itu, air pun masuk ke dalam rumah. Lantai rumah menjadi basah. Kalau lagi apes, dinding kayu rumah yang sudah lapuk, bisa saja jebol.

Abasiyah sudah tinggal selama 36 tahun di rumah lanting. Ia tinggal bersama suami dan satu orang cucu. Dari cerita dia, selama ini biaya perbaikan rumah lanting, selalu merogoh kantong pribadi. Tak pernah ada bantuan dari Pemerintah setempat.

Kalau pun ada bantuan dari pemerintah, hanya sebatas bantuan non tunai. Alias hanya bantuan sembako di tiap bulan.

“Rata-rata, rumah lanting di sini dirawat oleh pemilik masing-masing. Yang saya ingat, pengecatan rumah bermotif Sasirangan dan perbaikan atap yang dulu dari daun rumbia menjadi seng ini pun bantuan dari Mahasiswa,” bebernya.

Lebih jauh, Abasiyah menceritakan satu pengalaman yang mungkin ia lupakan selama tinggal di rumah lanting.

Kata dia, saat itu rumah lanting berkelir biru putih miliknya hanyut ke tengah Sungai Martapura lantaran tali penambatnya terlepas sewaktu Abasiah asyik menanak nasi. Warga yang tinggal di bantaran sungai seketika berteriak histeris.

Abasiyah sudah tidak bisa mengingat secara persis kapan peristiwa itu terjadi. Ia hanya bisa mengira-ngira, bahwa peristiwa itu terjadi sekitar lima tahun lalu.

“Orang-orang mengira, saya sedang tidak berada di rumah. Beruntung ada kelotok yang membantu menarik kembali rumah ini ke pinggir sungai,” ceritanya sambil terbahak.

Itu satu dari sekian banyak peristiwa yang dialaminya ketika tinggal di rumah lanting. Sementara peristiwa yang paling teranyar, terjadi pada enam bulan yang lalu.

Ketika itu, angin puting beliung tiba-tiba menghantam rumahnya. Atapnya hancur terbawa angin. Alhasil, ia pun harus kembali berjuang memperbaiki rumahnya, agar kembali seperti sedia kala.

“Saat itu terpaksa harus menginap di rumah tetangga selama sekitar seminggu,” tutupnya. (jejakrekam)

Penulis M Syaiful Riki
Editor Donny

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.