Pandemi, Resesi, dan Tingkah Elite

0

Oleh: Dr. Lyta Permatasari, M.Si

KEKHAWATIRAN rakyat tentang kelangsungan hidupnya di era pandemik berbanding terbalik dengan sikap elit yang masih nyaman-nyaman saja dan tersenyum bahagia. Sebagai bagian tengah dari situasi ini, saya merasa perlu menyampaikan apa yang terjadi di bawah untuk di dengar di atas karena elit negeri ini, siapapun itu, bergerak dengan bebas dan leluasa di negeri tercinta Indonesia dalam menjalankan aktifitas kesuksesannya dengan membawa satu bendera yang sama yakni bendera Republik Indonesia dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sedang meratap dalam banyak dimensi kesedihan.

SAAT ini situasi dalam negeri sedang sulit, dalam kacamata rakyat. Sulit berusaha, sulit untuk mendapatkan penghasilan, sulit untuk bergerak aktif dan keluar rumah pun juga harus hati-hati karena bisa jadi bila lengah sedikit, akan terpapar korona. Dimana-mana terjadi demikian, angka kenaikan infected covid selalu meningkat, seperti yang diberitakan oleh Merdeka.com pada tanggal 28 September 2020, kasus positif korona per tanggal tersebut bertambah 3.509 orang menjadi 278.722 orang, dengan data pasien meninggal bertambah 87 orang menjadi 10. 473 orang. Dengan demikian maka dalam kurun waktu kurang lebih 6 (enam) bulan bangsa Indonesia telah kehilangan sepuluh ribu lebih anak bangsa karena tak berhasil melawan korona. Dengan rata-rata kematian 1.700 orang per bulan. Sebuah angka yang ngeri dan fantastis.

Korona hadir membatasi interaksi. Inilah yang membuat hampir seluruh sendi kehidupan lumpuh karena sebagai makhluk sosial, hidup kita adalah rangkaian interaksi. Untung saja teknologi komunikasi data telah canggih sehingga satelit memfasilitasi pertemuan virtual via aplikasi, bila tidak maka tanpa interaksi digital, sendi-sendi kehidupan pasti akan mundur kebelakang dan gelap. Tanpa interaksi, mustahil ada jual-beli konvensional. Walaupun kini tersedia online market, jual-beli konvensional tetap dirindukan, sekali lagi karena kita adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan oranglain, melihat oranglain dan membuat kesepakatan secara face to face. Pendek kata, pola kehidupan telah berubah, dari mulai kehadiran secara nyata beralih ke kehadiran secara maya dan pola ini akan terus begitu sejak saat ini hingga nanti. Pandemik menandai bangkitnya pola kehidupan maya (virtual reality). Teknologi telah mengantarkan kemudahan untuk menuju pada kehidupan virtual yang membuat kita nyaman. Salah satunya adalah aplikasi media sosial dan tik tok yang saat ini sedang begitu digandrungi oleh segala usia. Ditengah pandemik, kita masih bisa tersenyum melihat potongan video pendek dari aplikasi hiburan yang kita instal, tak hanya memiliki sisi positif, komunikasi digital juga melahirkan sisi negatif. Walau telah di back-up dengan UU-ITE.

Ada tiga hal yang berubah cukup cepat di masa pandemik yakni pola konsumsi, pola interaksi dan pola komunikasi. Ketiga pola ini membentuk keberlanjutan sehingga merubah pola kehidupan secara nyata di desa dan kota. Kehidupan tradisional yang hangat dan penuh interaksi kini berganti pola menjadi berjauhan, dingin dan kurang greget. Jarak seakan membatasi dengan sangat jelas walau ruang kaca virtual seakan mendekatkannya. Ketiga pola yang berubah itu telah melahirkan pola keuangan baru dimana M-Banking adalah salah satu jawabannya. Dengan instal M-Banking kita bisa melakukan banyak hal dan membeli apapun dengan kemudahan, kecepatan dan efisiensi waktu. No problem dengan teknologi informasi dan komunikasi. Semuanya baik dan menguntungkan.Masalahnya adalah cukupkah keuangan kita untuk menunjang seluruh aktifitas virtual di masa pandemik ini? Sementara sumber-sumber pendapatan seakan tertutup, sumber mata pencaharian baru yang akan digeluti memerlukan modal dulu yang mendapatkan modalnya juga sulit, sementara kredit perbankan menjadi andalan di masa pandemik yang tentunya tidak bisa juga meng-cover seluruh kebutuhan hidup.

Pandemik meminta kita untuk bersabar dan menjadi makhluk kreatif secara sekaligus. Bersabar dengan kesederhanaan dan mengurangi banyak keinginan, dan kreatif dalam hal menciptakan sumber mata pencaharian baru dengan berwirausaha dan berkolaborasi dengan perbankan yang tepat, juga komunitas yang mendukung.

Tentang ini, ada pola RLAFM1 dan RLAFM2 dalam konsep Power to Powerless yang bisa membantu masyarakat dalam berwirausaha di masa pandemik. Hal ini bisa dilihat pada tautan youtube Forum Komunikasi Go Green di https://www.youtube.com/watch?v=BEyA86qk9zc&t=4110s.     RLAFM1 dan RLAFM2 sendiri adalah singkatan dari Rahmatan Lil Alamin Financing 1 dan 2 yakni sebuah model pemberdayaan masyarakat yang merupakan novelty dari Dr. Agus Syabarruddin, M.Si Direktur Utama Bank Kalsel.

Sabar dan kreatif adalah langkah terbaik yang harus kita ambil di masa pandemik yang akan berlangsung panjang ini. Para epidemiolog memperkirakan bahwa pandemik akan berlangsung selama kurang lebih dua tahun, itu berarti baru pada tahun 2022 kita bisa menghirup nafas lega bebas pandemik. Bila hitungannya adalah 2022, itu berarti masih tersisa 15 (lima belas) bulan lagi situasi pandemik yang berat ini kita lalui. Dalam masa panjang tersebut, bukan saja kita, pemerintah pun merasa kelelahan dalam menghadapinya bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan bahwa ekonomi Indonesia kembali terkontraksi pada kuartal III 2020 di kisaran -2,9 persen hingga -1persen. Karena itu, banyak yang menyimpulkan Indonesia sudah resesi, dan kini tinggal menunggu pengumuman resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hal itu.

Kekhawatiran tentang Resesi Ekonomi Indonesia sudah pula disampaikan oleh Ekonom yang juga Rektor Universitas Trilogi Jakarta Prof. Mudrajad Kuncoro Ph.D dalam sebuah diskusi Refleksi 75 Tahun Indonesia Merdeka dengan Tema Peluang dibalik Krisis. Rekaman lengkapnya dapat dilihat pada tautan https://www.youtube.com/watch?v=uMMRRRlr5fU&t=12s. Kekhawatiran Prof. Mudrajad kembali disampaikannya pada momentum Sarasehan Virtual 100 Ekonom : Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Negara Maju dan Berdaya Saing oleh CNBC Indonesia, Selasa (15/9/2020). “Tiga triwulanterakhir kita di ujung resesi,” katanya. Ia menjelaskan sejak kuartal IV tahun 2019 (Q4 2019), perekonomian Indonesia tumbuh negatif. Resesi terjadi bila perekonomian berkontraksi selama dua kuartal secara berturut-turut. “Kita di jurang resesi,” jelas Mudrajad.

Sinyal kritis tentang situasi krisis dalam negeri juga disampaikan dengan sangat Indonesia oleh Ir. Sarwono Kusumaatmadja dalam Webinar Forum Sahabat pada tanggal 26 Juni 2020 dengan tema Dinamika Global akibat Pandemik Covid-19. Beliau menuturkan bahwa Pandemik Covid-19 mempunyai daya paksa luar biasa terhadap umat manusia untuk merubah perilaku dan gaya hidup dengan kerugian ekonomi dan jumlah korban yang semakin banyak. Pandemik ini telah menempatkan Indonesia pada situasi krisis yang sangat menekan. Kekompakan kita sebagai satu bangsa dalam mengamankan penyangga kehidupan strategis yakni Pangan, Air dan Energi akan meningkatkan kapasitas dalam memulihkan keutuhan pembangunan secara menyeluruh dengan menampilkan keunggulan keunggulan kompetitif bangsa di tengah dinamika global.

Dari sudut ketersediaan pangan, posisi Indonesia dalam Coral Reef Triangle merupakan aset strategis yang sulit ditandingi oleh negara manapun. Hanya saja hal ini belum tergali sepenuhnya. Bahasan lengkap mengenai Coral Reef Triangle ini dikaitkan dengan kelestarian ekologi Laut Kalimantan bagaikan sense of hope bagi Indonesia. Bahwa ada sumberdaya yang terlupakan nun jauh di bawah laut Kalimantandalam rangkai peta Coral Reef Triangle yang bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan kemakmuran baru. Dapat disimak di https://www.youtube.com/watch?v=g6KhOlpyiSk tentang ini.

Pandemik dapat dilihat dengan banyak pendekatan, namun kali ini saya hanya akan membahasnya dari 3 (tiga) pendekatan saja yakni Pendekatan Ekonomi, Pendekatan Kemanusiaan dan Pendekatan Keilmiahan. Hal yang saya sampaikan diatas adalah penjabaran dari pendekatan Ekonomi dan Keilmiahan. Kini kita bahas pendekatan kemanusiaannya yang mungkin akan bersinggungan atau bahkan bersilangan dengan kepentingan rakyat.

Kita mulai dari pembahasan mengenai pundi-pundi uang negara. Sebagai negara yang berdaulat dan disegani dengan kekayaan alam yang melimpah dan kondisi pulau bak surgawi, Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang kaya untuk dinikmati oleh seluruh rakyatnya dari masa ke masa. Walau tanah ibu pertiwi terluka oleh galian pertambangan namun masih ada tanah subur yang bersemi dan ditanami hamparan padi yang menguning. Walau sebagian tanah tandus oleh perkebunan kepala sawit, masih ada kebun buah-buahan yang tersebar menghasilkan buah lokal beraneka ragam dan warna. Namun kekayaan bangsa ini seakan terbelenggu dan dinikmati oleh sekelompok elit tertentu saja.

Kekayaan bangsa ini hanya sedikit yang mampir ke tangan rakyat. Sulit sekali rakyat merasakan kesejahteraan di negerinya sendiri, hal ini diperparah dengan adanya situasi pandemik. Rakyat semakin jauh dari impian kesejahteraan hidup.

Dalam kondisi seperti ini, media mengabarkan bahwa banyak rangkap jabatan di BUMN tanah air dengan gaji ratusan juta rupiah. Berlebihan dan mengusik nurani untuk mempertanyakan mengapa uang rakyat dihamburkan begitu saja disaat banyak rakyat yang sangat memerlukan uang untuk kelangsungan hidupnya? Hal ini adalah sebuah tindakan dan kesepakatan rusak yang sangat yang mencederai hati rakyat Indonesia di tengah keprihatinan yang sedang dihadapi saat ini. Permainan tidak pernah ada habisnya, maka berhentilah bermain. Kalau saja perputaran uang yang tidak sehat adalah permainan yang menggairahkan, sebaiknya dihentikan atas nama rakyat Indonesia dan tumpah darah tercinta ini. Harus ada komando yang menghentikannya. Komando lahir dari pemimpin atau orang kuat di belakang pemimpin yang suaranya di dengar oleh pemimpin.

Harus ada perbaikan. Harus ada komando “benar” yang dijalankan bukan komando yang salah arah. Komando yang lahir dari rasa cinta negeri dan tanggungjawab terhadap tanah air. Bila hal ini tidak terasa lagi di dada para pemimpin kita, maka boleh jadi bukan Indonesia yang ada di hatinya namun sebuah kerajaan baru yang kesemuanya dilandasi oleh kepentingan demi kepentingan dalam permainan demi permainan yang tak ada akhirnya dan rakyat akan berguguran karena tidak dianggap penting dan bukan bagian dari permainan tersebut. Sumber daya alam bukan bahan bakar untuk memutar permainan. SDA adalah cadangan kehidupan bagi rakyat Indonesia. Sungguh sangat sedih melihat kondisi ini rapuh dan tak ada jeda untuk bertumbuh kuat lagi.

Kita memerlukan kolaborasi dan kesepakatan yang benar untuk masa depan bangsa. Menghentikan jeritan rakyat, bukan dengan memintanya berhenti berkeluh kesah namun dengan mengajaknya berkolaborasi menuju tujuan kesejahteraan. Rakyat jangan dibiarkan gelisah dalam impian kosong. Menghargai rakyat sebagai saudara sebangsa adalah satu-satunya cara dan jalan agar bangsa ini dapat keluar dari keterpurukan ekonomi di tengah krisis pandemik.

Sangat bisa dipahami, sulit untuk mengurus negeri kepulauan sebesar Indonesia dengan 34 Provinsi dan 17.504 pulau. Kesulitan ini sebenarnya akan menjadi mudah bila putera-puteri terbaik bangsa diperkenankan untuk menjadi super leader di daerahnya masing-masing, didukung untuk menjadi leader yang baik dan di beri ruang untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Sayangnya hal ini sulit diraih.

Hal yang dikenal dengan istilah oligarki telah menutup pintu bakti anak bangsa yang tidak memiliki kecukupan materi untuk mengabdi pada negerinya Alhasil para leader yang sesungguhnya tidak bisa muncul menjadi penjaga dan pembela bangsa yang sejati, yang tampil adalah leader yang memiliki uang. Disinilah letak runtuhnya simpati pada kekuasaan. Inilah yangmenyebabkan banyak persoalan bangsa tidak dapat diuraikan satu demi satu, permasalahan semakin menumpuk dan menjadi dilema yang harus diakhiri. Jiwa-jiwa pengabdi, leader sejati harus diberi ruang untuk tumbuh kembang. Krisis leader merupakan hal yang sedang kita alami. Leader khas Indonesia hampir tak terlihat di jajaran elit masa kini. Hanya sedikit yang muncul itupun hanya beberapa. Sebut saja salah satunya Bupati Jember dr. Faida yang cukup kharismatik dan menjadi teladan di tengah krisis kepemimpinan saat ini.

Sebentar lagi PILKADA, sebuah fenomena yang ditunggu namun juga disayangkan karena dipaksanakan dilakukan di tengah pandemik. Saatnya masyarakat memilih pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin yang pikiran, hati dan jiwanya tidak dibebani oleh kepentingan dan ego sektor. Pemimpin yang bisa mewarnai setiap daerah dengan warna kesejahteraan dan tolong menolong antara sesama.

Jangan biarkan tingkah elit menimbulkan ketidaksepahaman. Munculkanlah kesepahaman yang bisa mendukung keberhasilan bersama. Rakyat kita pinter kog. Di level desa- kota semua sudah paham tentang toleransi, tentang perlunya saling berbagi. Namun masalahnya adalah mereka tidak bisa saling membagi karena tidak ada yang dibagi. Keterbatasan diatas keterbatasan. Itulah yang terjadi kini di tengah kehidupan masyarakat kita, rakyat Indonesia. Karenanya perlu kesepahaman dalam sikap politik terkait bangsa dan masa depan negeri ini agar sikap elit menunjukkan arah yang jelas, kemana jalan keluar yang dituju oleh bangsa ini untuk keluar dari kesulitan akses dan ekonomi, kesulitan hidup di tengah pandemik dan kesulitan bangkit dari ketertinggalan. No One Left Behind. (jejakrekam)

Penulis adalah penggiat komunitas Birokrat Menulis dan Staf Pengajar S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.