Korupsi adalah Musuh Terbesar dan Penghancur Peradaban

0

Oleh : Anang Rosadi Adenansi

KORUPSI adalah musuh terbesar sebuah peradaban. Jadi semua kehancuran baik moral maupun ekonomi berasal dari tindakan korupsi. Terutama, pihak-pihak yang memiliki akses kekuasaan dan pemegang amanah rakyat.

SEADANYA para pemegang amanah rakyat ini tidak menyalahgunakan kewenangannya, dan tidak korupsi, tentu rakyat kita akan makmur.

Modus korupsi pun banyak ragamnya. Baik berlindung para proyek pembangunann seperti belanja barang habis pakai, belanja modal maupun belanja barang. Modelnya pun harga ditinggikan atau marku-up, sehingga mendapat keuntungan dari harga satuan yang sebenarnya bukan riilnya.

Bagaimanan pun satuan harga agak sulit untuk dideteksi, dengan begitu mereka bermain di volume pekerjaan atau mark up konstruksi. Sebut saja, misalkan, jika membangun drainase, mereka sengaja dengan berbagai pola agar boayanya menjadi besar, padahal seharusnya konstruksi tersebut secara teori tidak demikian.

BACA : Gurita Korupsi Politik dan Menjemput Ajal Anak Bangsa

Nah, di sinilah pertanyaannya apakah konsultan yang mengarahkan pejabat atau pejabatnya yang mengarahkan konsultan atau kontraktrnya. Dalam hal ini, tidak bisa sepenuhnya mengandalkan aparat, karena mereka main di prosudural.

Atas dasar itu, makanya sudah tidak ada jalan lain, maka Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai sebenarnya solusi mencegah korupsi yang terus menjadi-jadi.

Dalam hal ini, Bappenas pun sepertinya tidak terlalu serius menjaga marwah pembangunan yang bersumber uang rakyat. Berapa banyak pun peraturan atau pedoman tidak memiliki makna apa-apa tanpa sanksi yang jelas dan konkret.

Kejujuran tidak bisa hanya dengan imbauan atau menyitir ayat-ayat suci saja. Namun, harus juga dengan hukum yang keras dan tegas. Maka, tanpa itu semua akan menjadi sia-sia dan rakyat semakin terhimpit sakit akibat tabiat korupsi.

BACA JUGA : Dugaan Korupsi Pengadaan Alat Kesehatan, Anang Rosadi: Mari Kita Kawal Proses Persidangan

Oleh karenannya, Presiden RI sebagai pimpinan tertinggi di negeri ini, tidak bisa hanya cuap-cuap saja. Apalagi, mengancam sana-sini, bahkan ingin melakukan efisiensi dengan membubarkan sejumlah lembaga. Sebab, saya mengamati dari dulu, terkesan kuat hanya sekadar omong doang, tidak ada bentuk konkret untuk menghapuskan korupsi serta menindak tegas para penilap uang rakyat itu.

Walau pun di atas kertas, organisasi Tranparency International (TI) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik menjadi 40 atau dua poin dibandingkan tahun 2018 pada tahun 2019 lalu. Bahkan, Indonesia berada di rangking 85 dari 180 negara. Meski skor yang dipatok dari indikator 0 (sangat korup) dan 100 yang berarti sangat bersih, membuktikan korupsi di Indonesia masih menggejala.

BACA JUGA : Pemberantasan Korupsi yang Masih Setengah Hati

Inilah mengapa keseriusan untuk berpikir dan bertindak harus menjadi hal utama. Kalau tidak, dan hal ini terus terjadi berulang-ulang, potensi chaos pun akan terbuka, karena rakyat sudah sangat gampang tersulut emosinya, karena pemerintahan yang lemah. Apalagi, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen pun tampaknya telah ‘dikorupsi’ kewenangannya.(jejakrekam)

Penulis adalah Aktivis Anti Korupsi Kalsel

Mantan anggota DPRD Kalsel periode 2009-2014

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.