Bagir: Wartawan Jangan Terlena Kemerdekaan Pers

0

REVISI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digodok pemerintah dan DPR RI September silam, mendapatkan penolakan keras dari masyarakat, tak terkecuali dari organisasi jurnalis.

MANTAN Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengakui, dalam revisi KUHP itu banyak delik hukum yang berpotensi menjerat pers ke ranah tindak pidana. “Berbagai faktor menjadi alat membelenggu kemerdekaan pers sebagai salah satu pilar dasar demokrasi,” tegas Bagir Manan dalam diskusi Publik KUHP Dalam Perspektif Kemerdekaan Pers, di Hotel Golden Tulip, Jumat (7/2/2020).

Dalam kesempatan itu, Bagir mengingatkan insan pers agar jangan terlalu terlena menikmati kemerdekaan pers tapi lupa mengisi substansi kontennya. “Seolah-olah jika wartawan dan pers akan diatur oleh hukum, maka wartawan acapkali bangga berlindung di UU Pers yang menyebutkan pengaturan pers sepenuhnya oleh pers sendiri. Jika tanpa ada UU Pers, akan terjadi kebebasan menggunakan kekuasaannya. Padahal, kekuasaan tanpa batas itu cenderung korup,” kata mantan Ketua Mahkamah Agung RI tersebut.

Bagir menyebut kemerdekaan pers harus mendapat perhatian. Pertama, perluasan cakupan tindak pidana yang dapat dikenakan kepada pers. Kedua, ancaman pidana yang lebih berat.

BACA : IKP Kalsel Alami Penurunan, Kemerdekaan Pers Belum Sentuh Level Bebas


“Tidak jarang kita kehilangan kemerdekaan pers karena terlalu menikmatinya dan lupa memperjuangkan dan memeliharanya,” ujar doktor Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini.

Dalam telaahnya, Bagir mencatat ada 19 pasal di KUHP yang dapat menjerat pers ke ranah pidana dari hasil publikasinya yang terkait informasi kepada masyarakat. Semua pasal itu peninggalan zaman Belanda, bersifat pasal-pasal karet (haatzai artikelen).

“Walau sebetulnya tidak ada delik pers, namun pers itu rawan terseret kasus pidana sebab tidak ada batasan yang jelas. Mulur-mungkret pasal-pasal itu kan bisa ditafsirkan macam-macam. Misalnya pasal-pasal tentang penyiaran berita bohong, peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila, kehormatan, harkat dan martabat Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara,” ungkapnya.

Ketua Pembina Yayasan Universitas Islam Bandung ini menyebut insan pers dapat menjaga kemerdekaan persnya sendiri, dengan cara menanamkan kesadaran bahwa jurnalisme bukan sekadar menuntut profesionalisme dalam menjalankan tugasnya, melainkan juga kesadaran pers sebagai pranata publik yang harus memberikan manfaat sebesar-besarnya atas segala aspek kepentingan publik.

BACA : Implementasikan Kemerdekaan Dengan Merawat Keberagaman Dan Persatuan

“Jurnalisme menuntut pelaku pers senantiasa menjunjung tinggi etika. Baik etika internal maupun etika eksternal. Jurnalisme juga menuntut pelaku pers yang memiliki wawasan intelektual,” tegas Bagir Manan.

Sementara itu, Prof Dr Hadin Muhjad, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, menuturkan publik jangan terlalu khawatir dengan RKUHP yang sedang digodok itu bisa memberangus kebebasan pers. Ia menggarisbawahi, insan pers yang menjalankan tugas profesi yang patuh kode etik patut dilindungi.

“Mereka (jurnalis) secara profesional bekerja itu harus dilindungi, dalam RKUHP melindungi masyarakat dan pemerintah  dari tindakan siapa saja yang mau berbuat jahat,” ucap mantan Wakil Rektor I ULM ini.

Bagi Hadin, masyarakat tak perlu khawatir secara berlebihan dengan RKUHP kalau toh tidak berniat melalukan perbuatan jahat.

“Tidak ada salahnya RKUHP kita pelajari bersama-sama, agar masyarakat tahu ada pasal-pasal apa, karena dalam hukum ada ranah pembuat dan pelaksana. Kadang-kadang pelaksana tidak bisa membedakan (pasal), tiba-tiba langsung saja mengambil pasal untuk diterapkan kepada pers,” pungkas Hadin Muhjad. (jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.