Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Banjarmasin di Masa Kesultanan (1526-1860) (3- Habis)

0

Oleh : Vera D Damayanti.

4. Kota Pelabuhan Utama Belanda di Kalimantan Tenggara (1787-1860)

SEIRING berjalannya waktu, pengaruh VOC dalam bidang politik dan perdagangan kesultanan meningkat sebagai dampak dari bantuan militer dari Belanda kepada sultan dalam menghadapi pemberontakan dan perang yang berkepanjangan.

SETELAH pada tahun 1756 sultan menjadi vasal Belanda, maka pada 1787 disepakati sebuah kontrak yang menyebabkan wilayah kesultanan terbagi atas wilayah sultan dan wilayah VOC. Di Banjarmasin kedua wilayah ini sebagian dibatasi oleh Sungai Kuin dan Sungai Martapura.

Dengan adanya kontrak tersebut, Belanda memiliki kuasa penuh untuk mengatur wilayahnya dalam segala sektor, termasuk dalam mengembangkan lanskap. Untuk meningkatkan perdagangan dan memperkuat pertahanan, Belanda memperbaiki Kamp Tatas.

Pada tahun 1806, dibuat rencana pembangunan benteng yang lebih permanen –yang dikenal sebagai Benteng Tatas- yang terdiri dari barak militer, rumah residen, dan gudang.  Sebuah pelabuhan beserta rumah cukai dibuat tak jauh dari benteng.

BACA : Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Banjarmasin di Masa Kesultanan (1526-1860) (1)

Berbeda dengan struktur bangunan vernakular Banjar berupa rumah panggung di atas bantaran sungai atau rawa, Belanda menerapkan tradisinya  dalam konstruksi bangunan, di mana benteng ini dibangun di atas lahan rawa yang diurug sehingga permukaan tanahnya kering karena lebih tinggi daripada rawa. Hal ini kemungkinan bertujuan untuk efisiensi kegiatan dalam benteng, seperti misalnya kegiatan artileri dan peletakan meriam (Van der Kemp, 1899; NA Den Haag, 1818, 1822).

Karena okupasi di Banjarmasin secara ekonomi dianggap tidak lagi menguntungkan, maka pada tahun 1809, Belanda meninggalkan Banjarmasin dan menjual Benteng Tatas dan Benteng Tabanio (sebuah benteng di muara Sungai Barito) kepada sultan seharga 25.000 real.

Atas permintaan Sultan, Inggris melalui EIC kemudian mengantikan posisi Belanda ditahun 1812. Namun okupasi EIC berlangsung singkat, dengan ditandatanganinya Perjanjian London (London Treaty) antara Inggris dan Belanda yang menyebabkan Belanda kembali menguasai Hindia Belanda.

BACA JUGA : Identifikasi Struktur dan Perubahan Lanskap Banjarmasin di Masa Kesultanan (1526-1860) (2)

Inggris meninggalkan Banjarmasin pada akhir 1816 dan Belanda, diwakili oleh Van Boekholtz, mengambil alih Banjarmasin setelah kesepakatan dengan Sultan Soleiman Saidullah (r. 1801-1825) ditandatangani pada 1 Januari 1817 di ibukota Karang Intan (Van der Kemp, 1899; ANRI, 1968).

Belanda kembali melakukan pengembangan wilayahnya yang pada dasarnya bertujuan memperkuat posisinya di Banjarmasin untuk mendukung keberhasilan usaha dagangnya yang tidak lagi bergantung pada lada. Kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh Belanda membawa dampak pada perubahan lanskap Banjarmasin.

Perubahan signifikan yang terjadi yaitu Belanda mulai mengembangkan area di luar benteng, seperti dengan dibangunnya kantor residen, pelabuhan dan gudang baru. Pos-pos keamanan dibangun terutama pada muara-muara sungai yang dianggap potensial menimbulkan permasalahan penyelundupan dan serangan perompak sungai. Beberapa diantaranya yaitu pos di muara Sungai Kuin dan Kelayan, selain sebuah benteng kecil di muara Sungai Martapura yang diberi nama Schans Van Thuijl.

Berbagai intervensi lanskap yang dilakukan oleh Belanda berdampak pada perubahan lanskap. Pemanfaatan rawa tak hanya memunculkan penggunaan baru berupa lahan pertanian ekstensif di Tatas (Knapen, 2001), namun juga perlahan-lahan mempengaruhi menurunnya populasi vegetasi rawa serta mengindikasikan penggunaan ruang yang tidak lagi terfokus di bantaran sungai.

BACA LAGI : Melintas Batas Benteng Tatas, Dibina Inggris hingga Bumi Hangus

 Meskipun demikian, kegiatan berbasis sungai tetap mendominasi mengingat konstruksi jalan masih sangat terbatas. Kegiatan pengembangan memunculkan elemen-elemen lanskap baru, terutama benteng, jalan, kanal, jembatan, dan sawah. Benteng Tatas muncul menjadi pusat kota yang secara semantik menyimbolkan kekuasaan Belanda di Kalimantan bagian tenggara yang awalnya merupakan wilayah Kesultanan Banjar.

Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1860 manakala Belanda menghapus kesultanan karena pemerintahan kesultanan dianggap tidak berfungsi akibat konflik politik internal kesultanan yang diintervensi oleh Belanda.

Berakhirnya masa kesultanan menandai dimulainya periode kolonial yang kemudian merubah lanskap kota Banjarmasin menjadi sebuah kota kolonial.

Simpulan : Lanskap kota Banjarmasin dan perubahannya selama periode kesultanan dipengaruhi oleh key  processes yang pada dasarnya berhubungan dengan aspek politik ekonomi perdagangan. Struktur kota  terbangun dengan adanya fungsi pemerintahan, ekonomi, dan sosial-budaya yang membentuk tipologi sebuah kota pelabuhan.

Banjarmasin memiliki pola pemanfaatan ruang linear yang terbentuk sebagai respon manusia dalam memenuhi kebutuhannya terhadap kondisi alami lanskap yang didominasi oleh lingkungan rawa dan sungai. Pemanfaatan ruang secara intensif tidak hanya pada tepian sungai namun juga pada badan sungai  yang menjadi jalur transportasi utama dan memfasilitasi aktivitas ekonomi.   

Interaksi manusia dengan lanskap alami Banjarmasin menghasilkan sebuah kota di atas air. Perubahan lanskap Banjarmasin dalam konteks ruang (space) dan elemen pengisinya (material, form) menunjukkan bahwa selain kompleks keraton, maka pelabuhan beserta rumah cukai dan syahbandar merupakan elemen lanskap yang penting pada periode ini.

BACA LAGI : Dari Benteng Tatas, Tata Kota Banjarmasin Digagas

Penguasaan terhadap pelabuhan dagang secara tidak langsung menandakan dominasi kekuasaan politik ekonomi. Studi identifikasi struktur lanskap dan perubahannya ini menghasilkan transformasi kota Banjarmasin sebagai berikut:

(1) kota pelabuhan sekaligus pusat pomerintahan (port-polity) kesultanan (1526-1612);

 (2) kota pelabuhan sekunedr kesultanan (1612-1663);

 (3) pelabuhan utama kesultanan (1663-1787); dan

(4) pelabuhan utama Hindia Belanda di Kalimantan Tenggara (1787-1860).

Setelah 1860, lanskap kota berubah dengan karakter kota kolonial.(jejakrekam)

Penulis adalah Pengajar di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Peneliti Centre for Landscape Studies, Faculty of Arts, University of Groningen, the Netherlands

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.