Tegas dan Berwibawa, Pemberantasan Korupsi Jangan Lip Service

Oleh : Anang Rosadi Adenansi

0

PEMBERANTASAN korupsi tak bisa dilakukan dengan cara standar. Apalagi hanya mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Termasuk, institusi lainnya. Bisa dipastikan akan sia-sia dan hanya lip service. Setidaknya, ada lima langkah strategis yang harus segera dilakukan.

APA saja? Lima langkah itu antara lain pemerintah atau otoritas harus membatasi transaksi tunai, kemudian daftarkan aset seluruh kepemilikan masyarakat, pemutihan dan tobat nasional. Kemudian, buat dan sahkan Undang Undang Pembuktian terbalik. Terpenting lainnya adalah penegakan hukum yang keras dan tegas.

Sekarang keberadaan parpol dan anggota DPR RI, sama sekali tidak atau belum mencerminkan kedaulatannya terhadap amanah yang disandangnya. Semua kamuflase saja. Sebagaimana kita ketahui RUU tentang Pembatasan Transaksi Tunai saja sudah mengendap hampir 10 tahun. Itu setelah diajukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melalui pemerintah. Anehnya, justru Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) justru terkesan seperti membiarkan berlarut-larut.

Di sisi lain, anggota DPR RI yang terhormat di Senayan Jakarta, pun seperti tidak ambul peduli. Padahal, RUU Pembatasan Transaksi Tunai sangat penting untuk disahkan. Mirisnya lagi, pegiat anti korupsi seperti ICW dan KPK sendiri nyaris tak terdengar.

Bagi saya, pembatasan transaksi tunai intinya membatasi jumlah nominal uang tunai yang boleh digunakan dalam setiap transaksi. Selebihnya harus lewat jasa perbankan. Pelanggaran batasan transaksi merupakan tindakan pidana, sehingga arus jejak uang dapat terlacak. Ini berfungsi sebagai tindakan preventif juga dapat refresif.

Oleh karenanya, tidak aneh jika anggota DPRD Malang di Jawa Timur itu, tertangkap massal. Ya, itu karena nasibnya saja di dunia yang malang. Padahal, hampir semua kegiatan yang melibatkan fungsi anggaran di DPRD.  Celakanya,  tindakan atau fungsi budgeter ini berpotensi dan dapat cenderung korup. Sepatutnya, Presiden RI harusnya dapat mengambil langkah cepat untuk mengatasi korupsi.

Kemudian, dengan pendaftaran aset seluruh masyarakat ini merupakan langkah yang harus dilakukan pemerintah. Ini agar aset menjadi kepemilikan yang terbuka yang dapat diakses publik. Gunanya agar diketahuinya kepemilikan riil dari pihak-pihak. Selama ini, banyak pencucian uang dilakukan dengan meminjam atau mengatasnamakan orang lain. Dengan kewajiban pendaftaran aset, maka segala potensi kecurangan, baik untuk menghindari pajak atau tindakan pencucian uang dapat dicegah. Kemudian, penarikan potensi zakat pun dapat jauh lebih maksimal.

Langkah ketiga adalah pemutihan atau tobat nasional. Ini harus tetap dilakukan, walaupun pasti akan ada penentangan dari berbagai pihak. Mereka bisa menganggap bahwa ini melegalkan hasil korupsi. Sekarang pertanyaannya, sampai berapa lagi kita harus mengejar masa lalu. Seberapa besar anggaran dihabiskan untuk mengejar koruptor. Lalu seberapa besar, besaran hasil korupsi dapat dikembalikan ke negara. Ini perlu diketahui lebih Rp 1 triliun dana negara dihabiskan untuk KPK. Ini belum lagi, anggaran bagi institusi penegak hukum lainnya. Sepatutnya, kita sudah melangkah ke depan bukan mengejar masa lalu.

Dengan UU Beban Pembuktian Terbalik, jelas lebih efektif dan efisien. Sekarang, porsi penegakan hukum kita selama ini sangat boros. Sebab, negara yang memiliki kewajiban membuktikan seseorang bersalah atau tidak. Dengan beban pembuktian terbalik, maka kwajiban membuktikan harta kekayaannya ada pada orang yang disangkakan. Darimana dia mendapatkannya, dan jika tidak dapat membuktikannya, maka harta disita untuk negara.

Memang ada kalangan yang menentang hal ini. Sebab, dianggap tidak berkesuaian dengan asas praduga tidak bersalah. Tapi dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, sebenarnya yang selama ini sudah diterapkan oleh penegak hukum, tapi setelah menjadi terdakwa. Oleh karenanya, jika alasan asas praduga tidak bersalah, maka ini bukan halangan yang kuat dan tetap dapat diterapkan.

Langkah selanjutnya dalah penegakan hukum yang keras dan berwibawa. Bagaimana pun, kelemahan mendasar kita pada penegakan hukum. Baik penegakan hukum terhadap pelaku atau terhadap aparatur sendiri. Oleh sebab itu, sudah seharusnya penegakan hukum lebih keras dan berwibawa khusisnya kepada aparatur itu sendiri, itu jika lalai atau abai dalam melaksanakan tugasnya.

Oleh karenanya, jika tidak dilakukan terobosan hukum segera, maka selamanya kita akan di persimpangan jalan. Jauh dari harapan butir-butir Pancasila dapat diwujudkan di negeri ini.(jejakrekam)

Penulis Mantan Anggota DPRD Kalsel

Pegiat Anti Korupsi di Kalsel

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.