Banjir Banua Berlanjut, Pembangunan Berkelanjutan Terabaikan

Oleh : Akbar Rahman

0

PEMANASAN global adalah peningkatan suhu permukaan rata-rata Bumi yang luar biasa cepat selama satu abad terakhir. Suhu permukaan rata-rata global naik 0,6 hingga 0,9°C antara 1906 dan 2005, dan tingkat kenaikan suhu hampir dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Kondisi ini memicu perubahan iklim. Peningkatan suhu global meningkatkan risiko kekeringan dan meningkatnya intensitas badai, termasuk siklon tropis dengan kecepatan angin yang lebih tinggi, monsun Asia yang lebih basah. Di banyak negara telah terjadi dampak bencana pemanasan global dan perubahan iklim. Peningkatan curah hujan, dan musim kemarau panjang telah menyebabkan banjir dan kekeringan di beberapa negara.

PERUBAHAN iklim telah meningkatkan kesadaran dunia untuk menjaga keberlanjutan, dan membuktikan kebenaran dokumen ”Our Common Future” in 1987 by The World Commission on Environmental and Development (WCED), sebuah lembaga yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (baca:Report of the World Commission on Environment and Development: Our Common Future). Konsep ini mendorong perubahan paradigma mendasar dalam pembangunan lingkungan bagi teori-teori pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan yang memanfaatkan praktik dan inovasi keberlanjutan platform yang bertujuan menciptakan lingkungan binaan yang berkelanjutan yang memerangi degradasi lingkungan dan menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk hidup melalui pilar keberlanjutan.

Pengurangan penggunaan sumber energi tak terbarukan telah menjadi pilihan dalam kehidupan masyarakat. Penghematan energi tidak hanya diterapkan pada bangunan tetapi juga pada rencana perkotaan dan desain perkotaan lebih jauh tentang pembangunan secara umum(Santamouris, 2014). Peningkatan suhu permukaan kota akibat aktivitas penduduk, harus mendapatkan solusi agar penggunaan energi fosil dapat dikurangi (Rahman, 2010). Salah satu solusinya adalah mejaga hutan tetap lestari dan pengembangan ruang terbuka hijau di area kota.

Indonesia adalah salah satu negara terus berkembang. Saat ini, pembangunan berkelanjutan sudah menjadi isu utama dalam pembangunan. Efisiensi energi terus dilakukan dengan membuat peraturan pemerintah. Indonesia memiliki peraturan pembangunan regional dan kota: Undang-undang tentang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 dan Peraturan Menteri PU No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Kedua peraturan itu untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Kota-kota di Indonesia minimal wajib memiliki 30% ruang terbuka hijau, dengan pengelolaan dan penataan ruang yang tepat dan benar sesuai dengan kaidah keseimbangan lingkungan. Jadi tidak sekedar memenuhi jumlah 30% tapi persebaran ruang terbuka hijau di perkotaan juga harus diperhatikan.

Mengapa ruang hijau sangat diperhatikan dan memiliki peran penting penjaga keseimbangan lingkungan? Sampai saat ini anomali cuaca ekstrim telah nyata terjadi. Perubahan iklim adalah salah satu yang nyata dirasakan, pergesaran waktu musim dari tahun ketahuan semakin mengacaukan kondisi cuaca. Idealnya perubahan musim mengikuti waktu ‘gerak’ semu matahari dari lintang utara ke lintang selatan begitu pula sebaliknya pada waktu tertentu. Namun pemanasan global telah merubah kondisi cuaca yang tidak menentu dan esktrim.

Ruang hijau yang ditanami dengan pepohonan terbukti mampu menahan cuaca esktrim saat musim hujan atau musim kemarau, sehingga penanaman pohon sebagai usaha manusia untuk bertahan. Di saat musim hujan yang ekstrim, pohon mampu menahan air sehingga tidak terjadi tanah longsor dan banjir. Jika ruang terbuka 30% merupakan hal wajib dimiliki setiap kota, maka selain itu kawasan hutan juga harus lestari. Tata ruang kota dan wilayah penyangga kota harus diperhatikan seperti hutan-hutan yang berada disekitar kota atau kabupaten sesuai yang diamanatkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Banua Darurat Banjir

Saat ini, kondisi lingkungan di Kalimantan Selatan (Banua) cukup memperhatikan. Bencana banjir telah menyengsarakan kehidupan rakyat yang menjadi korbannya. Jika ditarik ke belakang, 10 tahun terakhir ini Banua tidak pernah absen dari kejadian banjir setiap tahunnya. Bahkan semakin tahun kejadian banjir semakin meningkat secara kuantitas jumlah dan luasan cakupan banjir.

Berdasarkan hasil tabulasi data yang dihimpun dari berbagai sumber pemberitaan banjir di Banua, baik media lokal ataupun nasional, didapat hasil yang ‘mencengangkan’. Kejadian banjir 2 tahun terakhir meningkat secara signifikan. Dari tahun 2009 hingga 2016 rata-rata kejadian banjir di Banua sekitar 5 kali dalam. Namun tahun 2017 meningkat tajam menjadi 18 kejadian dan hingga medio 2018 sudah terjadi 14 kejadian (perhatikan grafik intensitas kejadian banjir).

Daerah-daerah yang rutin menjadi langganan banjir adalah kabupaten-kabupaten yang berada di sekitar tepian pegunungan Meratus seperti: Tanah Bumbu, Kota Baru (wilayah yang masuk daratan Kalimantan) dan Hulu Sengai Tengah.

Ketiga wilayah ini menjadi langganan wilayah banjir setiap tahunnya. Kondisi ini memberikan indikator yang tidak terbantahkan bahwa ada ‘aktivitas’ yang salah terhadap pengelolaan wilayah hutan di pegunungan meratus atau disekitar gunung meratus. Pegunungan meratus merupakan penyangga air utama di Banua, ketika penyangga air terganggu, maka sungai-sungai yang berhulu ke meratus akan meluap dan membanjiri kawasan perdesaan hingga perkotaan.

Degradasi lingkungan ini telah berdampak negatif terhadap pembangunan Banua. Dampak banjir telah ‘menyedot’ anggaran belanja daerah.Alokasi anggaran yang semestinya dapat digunakan untuk pembangunan dialihkan untuk mengatasi bencana hingga pasca bencana. Maka pemerintah provinsi harus lebih serius dan konsentrasi dalam menangani kondisi lingkungan yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Ada beberapa langkah yang telah dilakukan, namun belum tepat sasaran, misalnya penghijauan sepanjang jalan A. Yani, padahal lahan-lahan bekas tambang tetap dibiarkan ‘me-nga-nga’ tanpa ada reklamasi dan penghijauan. Dan kebijakan pemerintah provinsi mencabut izin tambang PT. Sebuku Iron Lateritic Ores di Kabupaten Kotabaru (wilayah Pulau Laut) yang dianggap berdampak negatif terhadap lingkungan, patut juga dipertimbangkan di wilayah Pegunungan Meratus.

Apakah cukup dengan penghijauan? Penghijauan adalah hal yang mendasar dan pertama yang harus dilakukan. Selanjutnya adalah pembenahan daerah aliran sungai (DAS). Kualitas dan kuantitas DAS sangat mempengaruhi agar debit air yang meningkat dapat dikelola. Jika DAS masih kurang untuk mengatasi volume air maka kanal-kanal atau pembuatan irigasi yang berfungsi mengalirkan air hingga aktivitas pertanian perlu dibuat, dan yang sudah ada ditingkatkan kualitasnya.

Untuk wilayah perkotaan saluran drainase juga menjadi perhatian, selain kuantitas infrastrukturnya juga kualitasnya terjamin agar tidak tersumbat oleh kotoran atau sampah kota. Jika kondisi hutan sudah semakin sedikit ‘gundul-nya’ dan media aliran air baik (sungai-kanal-irigasi-drainase) hingga ke laut, maka usaha untuk mengatasi banjir sudah dilaksanakan. Sebagai penutup, mengutip 1 ayat dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d/13:11].(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa Program Doctoral di Saga University-Japan

Salah satu pendiri dan aktivis Forum Peduli Banua (FPB)

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.