10 Tahun Konflik Lahan di Kalsel, Rakyat Selalu Kalah
KONFLIK sumber daya alam seakan seperti benang kusut, tak pernah terurai dengan baik. Hampir seluruh konflik yang menghadapkan rakyat dengan korporasi dan melibatkan pemerintah, tak pernah terselasaikan dengan baik.
FAKTA ini menjadi catatan yang dibedah para pegiat lingkungan, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), LK3, Komunitas Sumpit, YCHI, Kompas Borneo dan lainnya dalam dialog publik bertajuk Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat sebagai Resolusi Konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup di Kalimantan Selatan, digelar di Hotel Rodhita Banjarbaru, Senin (29/1/2018).
Dari dialog itu, terungkap selama ini konflik dipicu ketimpangan kepemilikan tanah, penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Kemudian, ketimpangan struktur agraria menjadi persoalan yang belum terselesaikan bahkan terus meningkat baik jumlah kasus, masyarakat yang terdampak dan luas area berkonflik. Tidak ada alasan untuk negara tidak segera mengakui Wilayah Kelola Rakyat dan segera membentuk Tim/Satgas Khusus untuk penanganan konflik SDA, lingkungan dan agraria.
“Dalam 10 tahun terakhir ini, dari pengaduan yang masuk ke Walhi Kalsel, tercatat ada 30 konflik SDA, agrarian dan lingkungan hidup. Bahkan, konflik itu hampir terjadi di semua kabupaten yang ada di Kalsel,” tutur Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono kepada jejakrekam.com, Senin (29/1/2018).
Dari data Walhi Kalsel, Kisworo membeber konflik dipicu pertambangan batubara dan perkebunan sawit, seperti di Kabupaten Tabalong, yakni dua konflik tambang PT Adaro Indonesia dan konflik sawit PT CPN. “Di Kabupaten Balangan, terjadi dua konflik tambang PT Adaro, konflik perkebunan sawit serta tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Dayak Pitap dengan tuduhan merambah kawasan hutan,” beber Kisworo.
Berlanjut ke Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kisworo mencatat konflik izin perkebunan sawit PT HJL dan PT SBB. Bergerser ke Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), terjadi dua konflik ekspansi sawit PT GAL dan PT GNL serta dua ekspansi tambang PT AGM dan PT MCM. “Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, ada tiga konflik ekspansi sawit PT SAM dan di Kabupaten Tapin, terdapat tiga konflik sawit PT SLS, PT PAS dan PT KAP. Sedangkan, di Kabupaten Banjar, terdapat kasus pencaplokan tanah dan pencemaran akibat tambang batubara PT TAJ, dan dalam kawasan hutan / KPH,” tutur Kisworo.
Begitupula di kabupaten yang sama, terdapat kasus pencaplokan tanah pertanian oleh perkebunan sawit PT BPP dan PT JAL. “Sedangkan, di Kabupaten Tanah Laut, terdapat dua konflik perkebunan sawit yakni PT KJW dan PT Amanah. Di Kabupaten Tanah Bumbu, terdapat dua konflik tambang batubara PT Mofatama, serta satu dengan HPH/HTI PT Kodeco berujung kepada kriminalisasi aktivis/masyarakat adat. Terakhir, di Kabupaten Kotabaru, terjadi penggusuran oleh PT MSAM/Inhutani II dan konflik tambang Sebuku Group,” ungkapKisworo.
Menurutnya, konflik itu terjadi dengan pola, pelaku, dan korban yang sama dan terus berulang. Bahkan, Walhi Kalsel mencatat sekitar 90 persen pelaku yang terlibat konflik adalah perusahaan besar swasta, sisanya aparat, dan pemerintah. “Umumnya, perusahaan yang berkonflik itu berada di atas tanah masyarakat tanpa menghormati kearifan tradisonal dan kebudayaan setempat. Perusahaan berbekal izin konsesi yang diterbitkan pemerintah tanpa memperhatikan ruang hidup masyarakat dan adat,” papar Cak Kiss-sapaan akrab aktivis lingkungan ini.
Dan, masih menurut dia, contoh kasus terbaru terjadi di HSU dan HST. Seperti di Kabupaten HSU, bupati setempat menerbitkan izin di atas wilayah yang dikelola masyarakat dan di atas kawasan hutan. “Sedangkan di HST Kementerian ESDM menerbitkan dua izin PKP2B yang berada di ruang hidup masyarakat dan kawasan hutan untuk PT Mantimin Coal Mining (MCM) dan PT Antang Gunung Meratus (AGM),” papar Cak Kiss.
Bagi Walhi Kalsel, tindakan pemerintah pusat mengeluarkan izin ini langsung mendapat reaksi keras masyarakat. “Ada juga kasus yang telah lama dan belum selesai sampai sekarang, yaitu penggusuran Desa Wonorejo, Balangan oleh PT Adaro Indonesia,” cetusnya.
Di mata Cak Kiss, selama ini, pemerintah sebagai aktor utama pemberi izin bagi perusahaan secara nyata telah melemahkan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat. Padahal, wilayah yang sejak lama telah dikelola dan menopang hidup masyarakat seketika menjadi terancam dan menuju kehancuran kala izin berada pada tahapan operasi dan produksi.
“Perusahaan sebagai pemegang izin kerap melakukan praktik-praktik buruk yang mampu menghancurkan tatanan sosial, menyebabkan kerusakan lingkungan, dan menghilangkan ruang hidup bagi masyarakat. Bukan hanya itu, kriminalisasi masyarakat dan pelanggaran HAM menjadi dampak yang megikuti dari konflik yang terjadi,” katanya.
Sementara itu, Achmad Rozany, staf Departemen Kajian Pembelaan dan Hukum Lingkungan Walhi Nasional, mengungkapkan sebenarnya Indonesia memiliki banyak regulasi yang menyinggung permasalahan konflik sumber daya alam, agraria, dan lingkungan hidup.
“Regulasi itu bersifat sektoral di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, lingkungan hidup, dan sektor pertanahan. Jauh sebelum regulasi itu terbit, ada TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA,” ujar Ucok, sapaan akrab Achmad Rozany ini.
Bahkan Kalsel, menurut dia, memiliki cara penanganan konflik yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2014 dan Perda Nomor 35 Tahun 2015 tentang tata cara fasilitasi penanganan sengketa dan konflik pertanahan di Kalsel.
“Masyarakat dapat melaporkan konflik ke pemda kemudian Gubernur Kalsel membentuk tim penanganan konflik. Selanjutnya, DPRD bertindak sebagai pengawas dalam prosesnya. Namun, pelaksanaanya tidak seperti apa yang tertuang dalam peraturan yang ada. Harusnya ada desk yang khusus menangani konflik itu. Tapi sampai sekarang hal itu tidak ada,” papar Ucok.
Di tengah banyaknya regulasi penanganan konflik yang ada, ternyata masih banyak konflik yang terjadi bahkan tidak selesai atau tepatnya belum terselesaikan. Salah satu yang kini menonjol dan mendapatkan perhatian khalayak adalah izin yang dikeluarkan Kementerian ESDM untuk PT MCM yang diyakini akan merusak Pegunungan Meratus di kawasan Hulu Sungai Tengah.
“Padahal, izin itu dipastikan akan menghancurkan hutan hujan tropis terakhir yang dimiliki Kalsel. Seharusnya, pemerintah pusat dan daerah menjadikan masyarakat dan keberatan yang disampaikan terhadap izin MCM itu sebagai pertimbangan utama,” papar Ucok.
Anehnya, beber dia, ada banyak faktor yang menjadi penghambat dan mendukung penyelesaian konflik. Faktor itu dipengaruhi adanya atau tidaknya ketelibatan masyarakat dan kelompok penekan.
“Percepatan penanganan konflik tentunya harus dilakukan dalam bentuk kelembagaan penanganan konflik yang melibatkan berbagai pihak. Kelembagaan penanganan konflik harus melibatkan masyarakat dan mendapatkan dukungan sepenuhanya dari pemerintah. Lembaga ini tentunya harus bekerja dengan serius menangani konflik yang terjadi. Namun lembaga ini dibentuk saat konflik itu sudah terjadi,” tutur Ucok, panjang lebar.
Salah satu resolusi konflik yang ditawarkan oleh pemerintah adalah reformasi agraria. Skema ini menjadi jawaban atas konflik yang sudah ada. “Skema ini mencegah terjadinya konflik yang terjadi akibat ketimpangan struktur agraria. Ada 12,7 juta hektare kawasan hutan yang akan diberikan akses legal kepada masyarakat, dan ada 9 juta hektare tanah negara,” terang Ucok.
Ada kesempatan bagi masyarakat untuk diakui wilayahnya secara legal. Namun pada praktiknya, wilayah-wilayah yang tertuang di dalam Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) masih berkonflik—tumpang tindih dengan perusahaan.
Dari data yang ada, Ucok mengungkapkan di Kalimantan Selatan, wilayah yang dialokasikan untuk rakyat itu masih saja tumpang tindih dengan izin konsesi bagi perusahaan. “Ada 38.643 hektare alokasi perhutanan sosial yang tumpang tindih dengan izin pertambangan dan 38.924 hektare area perhutanan sosial dalam izin pertambangan. Selain itu, ada 16.186 alokasi dan 388 area perhutanan sosial tumpang-tindih dengan izin sawit dan hak guna bangunan,” tuturnya.
Dari banyak permasalahan regulasi dan konflik yang terjadi, semua itu perlu segera diselesaikan sebelum dampaknya meluas dan makin banyak korban. “Tindakan itu juga harus diiringi dengan percepatan pengakuan wilayah kelola rakyat dan perbaikan tata kelola sumber daya alam di Kalsel,” imbuhnya.(jejakrekam)
Penulis : Didi GS
Editor : Didi G Sanusi
Foto : Istimewa
Pencarian populer:konflik kepemilikan tanah hulu sungai selatan,konflik kepemilikan tanah Kalimantan Selatan tahun