Hari Sabtu, Hari Rakyat dalam Tradisi Raja Tanah Banjar

0

DISERTASI sejarawan Belanda, AA Cense dalam bukunya De Kronik van Banjarmasin, 1928, menggambarkan tata kelola dinasti Suryanata dalam menakhodai tiga kerajaan nan besar di Tanah Banjar.

MANUSKRIP tua termasyhur adalah Hikayat Banjar. Sebuah wiracerita yang mendeskripsikan perjalanan empat keraton yang menguasai sebagian besar Pulau Borneo; Negara Dipa, Negara Daha, Bandarmasih, dan Keraton Kayutangi (Kesultanan Banjar) di Martapura.

Aslinya, manuskrip sejarah Banjar itu dikenal dengan aneka fragmen. Misalnya, Hikayat Lambung Mangkurat (versi lain Lembu Mangkurat), Tutur Candi, Hikayat Raja-Raja Banjar dan Kotawaringin, Cerita Lambung Mangkurat dan Turunan Raja-Raja Banjar dan Kotawaringin.

Semua fragmen itulah yang akhirnya dihimpun dalam manuskrip Hikayat Banjar. Sayangnya, hingga kini, para sejarawan tak mengetahui siapa penulis epos dan dokumen sejarah dengan gaya cerita bertutur itu. Sebab, rangkaian cerita itu ditulis dalam huruf Arab Melayu dengan kosakata bahasa Banjar tempo dulu.

Jadi, tidak mengherankan, pada 1825, Thomas S Raffles  meminta salinan Hikayat Banjar dari Sultan Pontianak, yang ditelusuri ternyata didapat di Kotawaringin yang berpusat di Pangkalan Bun, Kalteng. Lalu, pada 1845, Hikayat Banjar resmi menjadi dokumen British Museum.

Walau akhirnya, banyak sejarawan meneliti sejarah perjalanan kerajaan-kerajaan besar di Tanah Borneo, hingga seorang professor emeritus bahasa dan sastra Jawa asal Universitas Leiden, Belanda, Johanes Jacobus (Hans) Rass, pada 1961, menulis disertasinya mengenai Hikayat Banjar, yang berisi sejarah Banjarmasin dalam bahasa Melayu.

Hipotesis inilah yang meloloskan Hans dalam ujian doctoral (s2) dengan nilai cumlaude di University of Malaya, Malaysia. Kini, Hikayat Banjar jadi salah satu referensi terpenting dalam menakar sejarah perjalanan empat kerajaan di Tanah Banjar; Negara Dipa, Negara Daha, Bandarmasih dan Banjar.

Gubahan pujangga tua tempo dulu di Tanah Banjar juga disusun AA Cense dalam De Kronik van Banjarmasin, pada 1926, yang disadur kembali penulis Banjar; Gusti Mayur dalam Hikayat Lembu Mangkurat, terbitan 1974.

Lantas apa yang diajarkan dalam Hikayat Lembu Mangkurat? Dalam empat bagian kisah bertutur itu dimulai pada Hikayat I Zaman Lembu Mangkurat, diteruskan Hikayat II Zaman Arya Taranggana, Hikayat III Zaman Marhum Panembahan, dan Hikayat IV Zaman Raja-Raja di Martapura.

Sebagai raja pertama di Kerajaan Negara Dipa, Empu Jatmika dipercaya sebagai peletak dasar trah Pangeran Suryanata di Tanah Banjar. Empu Jatmika yang disebutkan  berasal dari Negeri Keling adalah putra Saudagar Mangkubumi-Sitira. Saat bermigrasi ke Pulau Hujung Tanah (Borneo), Empu Jatmika bersama sang istri Sira Manguntur, membawa dua putranya; Empu Mandastana dan Lembu Mangkurat.

Migrasi dalam misi penaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di Tanah Kalimantan itu, Empu Jatmika juga membawa para pengawalnya; Hulubalang Arya Megatsari, Tumenggung Tatahjiwa, dan Kepala Jawatan Perdagangan serta ahli bahasa Arab, Persia, Melayu, Jawa, Belanda, Tionghoa dan lainnya; Wiramartas.

Dengan seribu pasukan, daerah kekuasaan Kerajaan Nansarunai (Dayak Maanyan) di Batang Tabalong, Batang Balangan, dan Batang Pitap, berhasil ditaklukkan Arya Megatsari. Batang Alai, Batang Amandit, dan Labuan Amas juga sukses dikuasai Tumenggung Tatahjiwa. Atas kemenangan ini, Empu Jatmika mengutus Lambung Mangkurat menjemput keluarga besarnya di Negeri Keling (yang dipercaya sebagian besar sejarawan adalah Kalingga di Kediri, Jawa Timur).

Menariknya, upacara keagamaan yang diterapkan dari Kerajaan Negera Dipa ditetapkan hari Sabtu, seperti tradisi ala Kerajaan Majapahit. Tradisi hari Sabtu tersebut sebagai ‘hari rakyat’ yang dilestarikan Lambung Mangkurat ketika menggantikan sang ayah sebagai penguasa Kerajaan Negara Dipa.

Gaya merakyat ala Empu Jatmika dan Lambung Mangkurat ini diteruskan Pangeran Suryanata, sebagai peletak dasar dinastinya. Ketika diangkat menjadi Maharaja Kerajaan Negara Dipa didampingi permaisurinya; Putri Junjung Buih, Pangeran Suryanata juga menyediakan hari Sabtu bagi rakyatnya untuk menghadap dengan tempat khusus dalam kompleks istana di Amuntai, bernama Sitiluhur.

Tradisi merakyat asal Kerajaan Majapahit yang dipegang Pangeran Suryanata ini lantas diwariskan kepada putra mahkota; Pangeran Suryaganggawangsa seperti tercantum dalam Hikayat Lembu Mangkurat. Bertempat di Sitiluhur, Mangkubumi Lambung Mangkurat, diapit Panganan Arya Megatsari, dan Pangiwa Tumenggung Tatahjiwa, serta para jaksa Kerajaan Negara Dipa; Patih Baras, Patih Pasi, Patih Luhur, dan Patih Dulu, serta pembesar kerajaan juga menerima masukan dari segenap rakyatnya dalam roda pemerintahan monarki.

Nah, tradisi ini berlanjut ketika Arya Taranggana yang menjabat Mangkubumi Kerajaan Negara Daha menyusun hukum tata negara yang dikenal dengan Kutara, ketika pusat kerajaan dipindah dari Amuntai ke Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Maka, tiap Sabtu di era Maharaja Sari Kaburangan menjadi hari rakyat untuk menghadap sang raja. Hingga di era raja terakhir, Pangeran Tumenggung, tradisi hari Sabtu sebagai hari rakyat, tetap dipertahankan.

Ketika Pangeran Samudera yang bergelar Sultan Suriansyah memerintahkan Kerajaan Bandarmasih sebelum berubah menjadi Banjar (Islam), Kutara Arya Taranggana berpedoman tradisi kerajaan bercorak Hindu Siwa tetap dipakai sebagai hukum kesultanan yang dideklarasikan di Tanah Kuin itu. Begitu sang mangkubumi wafat, baru Mangkubumi Kiai Anggadipa memutuskan Kesultanan Banjar menjalankan aturan Islam, sesuai tuntunan Alqur’an, adat istiadat, dan hukum tata tertib lama.

Selanjutnya,  Pangeran Hidayatulah I, penerus dinasti Suriansyah juga memberlakukan hari Sabtu sebagai hari rakyat untuk menghadap kepada raja. Tradisi merakyat ini juga diceritakan dalam Hikayat Lembu Mangkurat  yang diadopsi para Sultan Banjar, saat memindahkan pusat pemerintahan dan ibunegeri dari Bandarmasih (Kuin) ke Kayutangi Martapura. (jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Museum Tropen Belanda

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.