Apakah Gelar Lumbung Qori Nasional Masih Layak?
NAMA Kalimantan Selatan ini dikagumi sekaligus disegani sebagai provinsi yang melahirkan qori-qoriah terbaik di Indonesia. Nama Muhammad Rizqon yang baru saja turut berjejer di deretan juara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Internasional 2017 di Istanbul, Turki, turut mengharumkan nama Banua.
KEBERHASILAN Rizqon yang menyabet juara III MTQ Internasional 2017 di Turki dan berhak menyabet hadiah sebesar 20 ribu lyra Turki atau dikonversi ke mata uang tanah air mencapai Rp 75 juta itu, telah membuat warga Banua begitu bangga dengan siswa kelas XII MAN 2 Model Banjarmasin itu.
Ingatan kita pun seakan kembali untuk mengenang kejayaan para qori-qoriah Kalimantan Selatan yang mampu menembus persaingan di tingkat nasional, bahkan internasional. Bahkan, Kalsel sempat dikenal secara nasional sebagai lumbung para pembaca seni indah kitab suci Alqur’an tersebut.
Apakah kebanggaan itu masih ada? Jika mengutip dari buku Sejarah Banjar yang ditulis Suriansyah Ideham dkk menceritakan keikutsertaan perda Kalsel dalam MTQ Tingkat Nasional yang digelar pada 1968 di Makassar (dulu Ujung Pandang), Sulawesi Selatan telah mentahbiskan nama Wahidah Arsyad meraih juara III untuk kategori dewasa, dan Muhammad Hakim menyabet juara II tingkat anak-anak.
Giliran MTQ Nasional II di Bandung, Jawa Barat, nama Kalsel kembali harum, setelah HM Djahri Fadli keluar sebagai juara III untuk kategori dewasa, serta Husin Abdullah berada di podium juara II di tingkat remaja.
Atas prestasi Kalsel ini, tak salah jika akhirnya pemerintah pusat di era Presiden Soeharto mempercayakan Kalimantan Selatan sebagai tuan rumah perhelatan even satu tahuan itu pada MTQ Tingkat Nasional III di Banjarmasin pada 1970. Hingga, Gubernur Kalsel melalui surat keputusannya tertanggal 15 Mei 1978 membentuk Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Kalsel.
Saat menjadi tuan rumah MTQ Nasional, Kalsel juga tetap menunjukkan eksistensi dirinya sebagai lumbung qori-qoriah terbaik di Indonesia. Terbukti, MTQ Nasional 1970 di Banjarmasin, nama Mawardi Ghani mengharumkan Kalsel dengan prestasinya sebagai juara I kategori remaja. Lalu, pada 1971, MTQ Nasional di Medan, Sumatera Utara, giliran nama H Wahidah Arsyad yang mengukir prestasi dengan memboyong piala utama kategori tilawah dewasa, serta Rusminah H menyabet juara III kategori remaja.
Setahun kemudian pada 1972, MTQ Nasional di Jakarta, nama Hj Rusdiana Abdan yang turut mengharumkan Banua dengan menggondol piala juara II ke Banjarmasin. Disusul, Rusminah naik satu tingkat menyabet juara II untuk tingkat remaja, dan Hairun Nisa menyumbangkan piala juara bagi Kalsel di kategori anak-anak.
Cukupkah? MTQ tahun 1973 yang dihelat di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Muhammad Yamani BA keluar sebagai juara II untuk tingkat dewasa dan berhak mewakili Indonesia dalam ajang MTQ Internasional di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada MTQ Nasional, nama Nasrullah J berhasil membawa titel juara III untuk tingkat remaja.
Lagi-lagi nama Kalsel selalu hadir dalam deretan juara. Ketika MTQ Nasional 1974 di Surabaya, Jawa Timur, nama qoriah Alfisyah Arsyad menjadi juara II dan berhak dikirim menjadi duta Indonesia dalam MTQ Internasional di Kuala Lumpur, Malaysia. Bahkan, di MTQ Nasional di ibukota Provinsi Jawa Timur, nama M Rahmadi turut mencatatkan rekor sebagai juara II kategori remaja, disusul Iti Iriani di kategori anak-anak serta Mahyudin untuk lomba qoriah tunanetra.
Berlanjut pada MTQ Nasional 1975, kali ini Palembang, Sumatera Selatan yang menjadi tuan rumah. Nama Murjani A Malik berhasil meraih juara II untuk tingkat remaja, dan Mahyudin naik menjadi juara I. Lalu, pada MTQ Nasional 1976 di Samarinda, Kalimantan Timur, nama Kalsel masuk dalam perhitungan nasional. Berturut-turut hingga pada 1977, nama Alfisah Arsyad yang menjuara MTQ Nasional di Manado, Sulawesi Utara lagi-lagi diutus mengikuti MTQ Internasional di Kuala Lumpur, Malaysia. Nama Artoni pun turut masuk dalam deretan qori anak-anak nasional dari Kalsel.
Nama Kalsel pun terus bersinar dalam even-even MTQ baik berskala nasional maupun internasional selalu menghiasi deretan qori-qoriah terbaik. Kepada penulis, Hj Alfisyah Arsyad yang merupakan qoriah internasional mengakui pola pembinaan yang berkelanjutan harus menjadi fokus bagi Kalsel dalam mempertahankan gelar lumbung qori-qoriah nasional.
“Nama Kalsel itu juga bisa harum lewat ajang MTQ nasional, tak harus fokus pada dunia olahraga,” kata Alfisyah Arsyad, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, hal yang paling utama adalah ketika sang qori atau qoriah itu mengharumkan nama Kalsel sudah sepatutnya mendapat penghargaan yang setimpal. “Hal itu jelas sangat memotivasi bagi seseorang yang mendapat penghargaan dari pemerintah daerah. Bayangkan saja, untuk seorang atlet saja, bonus yang diberikan itu mencapai ratusan juta. Lalu mengapa para qori-qoriah terbaik tidak mendapat penghargaan semacam itu?” imbuh Hj Alfisyah Arsyad.
Ia mengungkapkan Kalsel pernah mengirim qori-qoriah terbaik untuk mengajari provinsi lainnya, bahkan kehidupan taman pendidikan Alquran (TPA) menjadi contoh nasional. Untuk itu, Alfisyah Arsyad pun sangsi tanpa perhatian khusus dari semua pihak, gelar Kalsel sebagai lumbung qori-qoriah terbaik nasional akan makin memudar. Terlebih lagi, persaingan makin ketat, karena banyak daerah juga telah melahirkan qori-qoriah andalannya dalam setiap even MTQ maupun STQ berskala nasional.(jejakrekam)