Demi Melindungi Pelaku Usaha, Intakindo Turut Rumuskan PP Jaskon

0

TIM Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia. (Intakindo)  pusat masuk menjadi tim perumus Peraturan Pemerintah (PP) Jasa Konstruksi (Jaskon) sebagai petunjuk pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2017.

SAAT ini, terbitnya UU pengganti UU Jaskon yang lama Nomor 18 Tahun 1999 masih minim sosialisasi di Kalimantan Selatan. Hal itu dibutuhkan diskusi atau seminar publik agar penerapan produk hukum bisa maksima. Motor penggeraknya bisa dilaksanakan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Kalimantan Selatan.

Menurut Ketua Dewan Pengurus Provinsi (DPP) Intakindo Kalsel Nanda Febryan Pratamajaya kepada jejakrekam.com, Jumat (19/5/2017), mengungkapkan  UU Jasa Konstruksi yang baru disahkan pada Januari 2017 itu terdiri 14 bab dan 106 pasal telah melalui harmonisasi dengan peraturan sektor lain, seperti UU Nomor 11/2014 tentang Keinsinyuran,dan aturan perundangan terkait lainnya.

“UU Jasa Konstruksi harus mampu memberikan kepastian hukum bagi para pelaku sektor jasa konstruksi agar mendukung percepatan pembangunan nasional,” ucap planolog jebolan Universitas Brawijaya Malang ini.

Nanda mengatatakan saat inisektor jasa konstruksi mengalami persoalan cukup krusial. Fenomena yang ada bahkan menunjukkan bahwa terjadi kriminilisasi di sektor jasa konstruksi. “Dampak tidak adanya kepastian hukum menyebabkan banyak pelaksana jasa konstruksi terlalu berhati-hati melaksanakan tugasnya. Salah satu indikasinya adalah rendahnya penyerapan anggaran,” ujarnya.

Untuk itu, beber Nanda, berdasarkan niat awal dari dibuatnya UU Jasa Konstruksi adalah untuk memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Sebab, menurut dia, asosiasi profesi sebagai ujung tombak dalam pembinaan profesionalisme penyedia jasa konstruksi. “Kegundahan tentang perkembangan asosiasi yang kontra produktif terhadap spirit UU Jasa Konstruksi seperti itu yang memicu munculnya gagasan perlunya melakukan revisi terhadap aturan yang ada,” tandas magister teknik Universitas Krisnadwipayana Jakarta ini.

Di samping aspek-aspek teknis yang perlu disempurnakan, Nanda berharap UU Jasa Konstruksi seharusnya juga berlaku bagi sektor pemerintah dan swasta. Pada kenyataanya, hingga saat ini UU Jasa Konstruksi masih belum berlaku bagi sektor swasta. Misalnya, dalam pembangunan gedung-gedung milik swasta yang sebagian besar ditangani konsultan dan kontraktor asing, karena investornya dari luar negeri. “Hal ini menyebabkan adanya diskriminasi antara penyedia jasa konstruksi nasional dan asing,” cetusnya.

Masih menurut Nanda, pemerintah daerah juga masih banyak yang belum mengadopsi UU Jasa Konstruksi dalam aturan pembangunan di daerah. Seharusnya, peraturan yang terkait dengan proses perizinan mendirikan bangunan (IMB) disesuaikan dengan ketentuan UU Jasa Konstruksi. “Bahkan, dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, kita harus tetap menegakkan aturan perundangan setempat sebagai bentuk perlindungan terhadap pengguna jasa dan terciptanya perlakuan yang sama (equal-treatment) terhadap setiap penyedia jasa yang beroperasi di Indonesia,” tuturnya.

Ia menerangkan pada hakikatnya asosiasi adalah pusat pelayanan (service-center) bukan pusat keuntungan (profitcenter) sebagaimana layaknya badan usaha komersial. “Namun demikian pengelolaan asosiasi juga tetap menerapkan prinsip-prinsip demokratis dan tata kelola yang baik (good corporate governance), sehingga dapat menciptakan trust terhadap anggota dan para pemangku kepentingan,” beber Nanda.

Sekarang keran telah dibuka, untuk pelaksana sertifikasi melalui LSP, akan halnya layanan SKA dan SKT maupun SBU diharuskan layanan pengakuan kompetensinya melalui LSP. “Permasalahannya, tidak mudah untuk sebuah LSP mendapatkan hak untuk melaksanakan proses sertifikasi jika SKKNI bidang dan sub bidang tida ada maka dipastikan LSP tersebut tidak akan bisa beroperasi,” ucapnya.

Nanda menerangkan LSP sebuah badan yang independen terlepas dari asosiasi, oleh karena itu, asosiasi yang selama ini melayankan sertifikasi dipastikan tidak bisa lagi melaksanakan layanannya pasca Undang Undang Jasa Konstruksi yang baru. “Asosiasi harus bersiap untuk membuat dan membentuk sebuah badan hukum, bisa berupa perusahaan, koperasi atau yayasan untuk dapat membentuk LSP,” ujar ahli tata kota muda ini.

Ia juga berharap layanan sertifikasi pasca Undang-Undang Jasa Konstruksi yang beralih dari USTK-LPJK kepada LSP mandiri, memberi harapan ke depan untuk tetap menjaga kompetensi anggotanya. “Sebab, secara terpisah asosiasi mempunyai kewajiban untuk melakukan langkah pelaksanaan continous professional development secara berkala sehingga kompetensi bidang yang dilayankannya tetap terjaga pada anggotanya,” imbuh Nanda.(jejakrekam)

Penulis   : Afdi NR

Editor    :  Afdi NR

Foto      :  Dokumentasi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.