Kehadiran UU Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017, Apakah Harapan Baru atau Masalah Baru?

0

KEHADIRAN UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi untuk mengantikan regulasi lama yang telah berusia hampir 20 tahun yakni UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dikatakan akan membuat sudut pandang terkait hal pengaturan konstruksi menjadi semakin berkembang.

BERBAGAI problema dan mungkin kekurangan dalam aturan lama, maka melalui UU baru ini diharapkan akan bisa teratasi. Sehingga tidak salah kalau sebagian masyarakat pengiat jasa konstruksi menyatakan  UU ini adalah harapan baru dalam perkembangan jasa konstruksi ke depan.

Akan tetapi, tentu jalan masih panjang. Aturan baru memang biasanya selalu digaungkan akan membuat perbaikan dalam penerapannya. Kewaspadaan harus tetap dilakukan belajar dari pengalaman perjalanan UU Jaskon terdahulu, UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang sudah berusia lebih dari 18 tahun. Dan, walaupun UU tersebut dikatakan belum lengkap dan selanjutnya dianggap “gagal” dalam menata atau mengatur kegiatan jasa konstruksi di negeri ini adalah sebuah pelajaran berharga.

Yang menjadi tanda tanya adalah mengapa sampai saat ini belum diketahui seperti apa data konkret dan terukur tentang kekurangan atau ketidakbenaran UU lama tersebut, dan juga apakah dengan anggapan adanya kekurangan  tersebut?  Maka, langkah yang dilakukan langsung mengeluarkan UU baru dan mencabut UU yang lama.

Mengapa tidak dilakukan penyempurnaan atau rekonstruksi terhadap pasal-pasal yang perlu perbaikan pada UU Nomor 18/1999 tersebut. Sehingga yang dilakukan tetaplah masih ada kesinambungan nya dengan pembinaan ataupun pengembangan yang dahulu sudah dilakukan. Tentu bila mengaca kepada kasus UU lama yang sulit diterapkan. Maka tentu kekhawatirannya bila ternyata kehadiran UU baru ini juga tidak bisa diterapkan seperti yang dicita-citakan. Hal ini bisa saja terjadi karena dari segi isi dan kandungan makna UU baru ini lebih komprehensif dan luas dibandingkan UU lama.

Salah satu contoh  pada UU baru hal jasa konstruksi telah dikembangkan menjadi industri konstruksi. Tentu, hal ini menuntut perlakuan yang lebih lengkap dan luas dibanding yang terdapat pada UU yang lama.

Padahal sisi lain, saat kita bicara hal penerapan terkait aspek meñdasar yang sangat diperlukan oleh dunia jasa konstruksi negeri, seperti hal peningkatan kompentensi SDM pekerja konstruksi saja, ternyata sampai saat ini belum  bisa diterapkan dengan baik. Sebab, bila kita coba cermati pada UU Nomor 18/1999 atau UU lama berikut turunan PP-nya pun dasarnya sudah cukup mumpuni dalam mengatur hal tenaga kerja konstruksi. Mungkin untuk mengungkap persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan jasa konstruksi salah satunya adalah terkait hal proses sertifikasi tenaga kerja konstruksi.

Dalam hal sertifikasi inilah  yang puluhan tahun masih menjadi “momok” yang membuat muncul berbagai persoalan. Urusan terkait hal sertifikasi memang ini tidaklah salah untukditanganidengancepatkarena menjadi sebuah kewajiban yang disyaratkan UU tersebut.  Hanya yang kurangnya adalah belum dibarengi dengan penekanan dan penguatan/dukungan terhadap kewajiban pembinaan berkesinambungan atau peningkatan keprofesionalan berkelanjutan para SDM tersebut.

Persoalan kebutuhan sertifikasi ini ujungnya membuat banyak langkah kontraproduktif yang dilakukan ‘pabrikan sertifikat’.  Obral dan jual beli sertifikat dianggap sebuah kewajaran yg diterima oleh publik. Padahal jelas ini membuat sistem menjadi rusak. Sistem andal yang mau dibentuk dengan baik dan akuntabel berdasar UU Nomor 18/1999 dan aturan turunannya menjadi tersisihkan dan kalah.

Ini semua akibat banyak pihak terkait yang melakukan pembiaran terhadap hal jual beli dan obral sertifikat tersebut  Ada kesan kegiatan “malpraktik” ini sengaja dilindungi oleh pihak-pihak yang mau menarik keuntungan finansial. Karena memang bisnis pembuatan sertifikat merupakan bisnis yang menguntungkan, pasarnya juga sangat menjanjikan. Bahkan beberapa organisasi terkait jasa konstruksi baik secara resmi ataupun tidak resmi turut serta berpartisipasi melakukan kegiatan ‘malpraktik’sertifikat ini. Untuk membuktikan dasarnya sangat mudah. Yang belum pernah dilakukan adalah menindaknya , karena kerja mereka sangat rapi dan terkoordinasi.

Dalam hal ini sebenarnya yang menjadi dasar utama mengapa ini terjadi adalah karena aspek supply-demand yang tidak seimbang. Hal kebutuhan tenaga kerja konstruksi bersertifikat yang tinggi untuk digunakan sebagai syarat dalam pemenuhan legalitas pendirian badan usaha. Termasuk, untuk melaksanakan pekerjaan akhirnya memunculkan peluang dalam bisnis penerbitan sertifikat.

Daerah yang minim ketersediaan tenaga kerja konstruksi yang memiliki keahlian atau keterampilan tertentu terpaksa mencari jalan keluar.  Dampaknya,  untuk memenuhi kebutuhan cepat dengan tidak berbelit alias mudah didapat maka dicari cara melalui kerjasama saling menguntungkan melalui jaringan oknum tertentu yang punya kemampuan untuk memproses sertifikat dengan cepat tanpa birokrasi yang berbelit.

Bahkan semua syarat bisa mereka pangkas dan terbabas. Dan sertifikat yang dikeluarkanpun juga legal. Bedanya, hanya biaya lebih mahal dibanding harga standar resminya. Dan inilah yang sangat merusak dari hal keabsahan proses menghasilkan sebuah sertifikat yang akuntabel , bermutu serta bisa dipertanggung jawabkan. Yang memprihatinkan, ujungnya ternyata banyak SDM yang sertifikatnya saja yang digunakan sebagai sarana legalitas saja tapi SDM-nya sendiri tidaklah ikut terlibat dalam melaksanakan aktivitas usaha atau pekerjaan yang dilaksanakan oleh badan usaha tersebut.

Akan tetapi problem ini sayangnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi ternyata belum menyentuh hal mendasar dalam mengatasi persoalan proses sertifikasi ini. Pada undang-undang ini yang muncul malah menambah jalur birokrasi baru dengan dimunculkannya lembaga yang khusus mengurusi urusan sertifikasi.

Lembaga ini bernama Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Amanat ini ada pada pasal 71 dan yang bisa membentuk LSP, hanya dua cara pertama bisa dibentuk oleh asosiasi profesi terakreditasi dan yang kedua dapat dibentuk oleh lembaga diklat yang memenuhi syarat sesuai ketentuan perundang-undangan.  Akan tetapi ternyata ini hanya bisa dilakukan bilamana LSP tersebut mendapat rekomendasi dari menteri ,dan bila tidak bisa terbentuk akibat belum memenuhi syarat, maka menteri dapat melakukan sertifikasi kompetensi kerja.

Padahal, sebenarnya yang kita perlukan adalah bagaimana aturan bisa membantu untuk mengatasi atau menghilangkan  ‘malpraktik’ proses pembuatan sertifikat. Mestinya, penekanan inilah yang diperlukan bukan diadakannya lembaga baru. Pembenahan pada lembaga lama yang terkait mengurusi sertifikat mestinya menjadi hal utama yang perlu diperkuat aturan regulasinya. Jadi, celah untuk permainan sertifikat bisa dihilangkan.

Membuat lembaga baru  bisa diartikan melakukan uji coba baru. Apakah dengan uji coba baru ini bisa lebih baik  dibandingkan dengan lembaga yang lama tersebut? Apakah terpikirkan kemubaziran yang terjadi dari aspek waktu yang berlalu lebih puluhan tahun dan juga dana yang telah dikeluarkan cukup besar dalam menjalankan operasional lembaga lama tersebut? Padahal, sisi lain lembaga baru masih belum jelas kelebihan dan kemampuannya.

Pengalaman menunjukan apa yang menjadi penyebab munculnya permainan dalam proses sertifikasi.  Hal ini bukan terletak pada lembaga pembuat sertifikasi tapi lebih banyak karena persoalan oknum yang memanfaatkan hal disparitas supply-demand antar daerah terkait ketersediaan sumber daya manusia atau pekerja konstruksi yang memiliki sertifikat.

Lembaga baru yang akan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tersebut seperti yang tertera pada pasal 71 terlihat tetap tidak akan banyak bisa berfungsi dalam mengatasi hal permainan pembuatan sertifikat ke depan. Ini karena terkait dengan perputaran dana yang besar sehingga akan banyak menarik minat ‘pemain bisnis’ sertifikat untuk mencari celah dalam memanfaatkan keberadaan pasal 71 ini.

Tentu,  dengan pengalaman dan kepiawaian para pemain ini maka mereka akan mudah berlindung atau mungkin terlindungi oleh aturan pasal ini. Bahkan dengan munculnya birokrasi baru dipastikan mereka akan lebih leluasa membuat jaringan baru dalam mengukuhkan peran mereka berbisnis sertifikat.

Jadi, kesimpulannya adalah yang memunculkan kekuatiran bila keberadaaan undang-undang baru yang diharapkan bisa membuat perubahan dalam hal perbaikan di proses sertifikasi. Ternyata yang terjadi sebaliknya membuat semakin banyak muncul persoalan dalam hal keabsahan proses sertifikasi. Tentu, bila ini yang terjadi maka harapan besar atau angan untuk adanya perbaikan melalui munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 ini menjadi sebuah mimpi kosong.

Sisi lain yang juga perlu dicatat adalah terkait dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh asosiasi jasa konstruksi agar bisa bertahan keberadaannya. Ini  sebagai wujud partisipasi publik konstruksi bila melihat aturan yang ada di undang-undang ini maka akan banyak asosiasi yang terdegradasi. Apalagi, hal ini mengingat persyaratan yang diberikan oleh menteri agar asosiasi-asosiasi bisa terakreditasi cukup berat ini tertuang pada pasal 84 ayat (6) dalam hal ini terutama bagi asosiasi cabang di daerah karena untuk asosiasi profesi dengan keahlian atau keterampilan tertentu di tiap daerah.

Jelas, hal itu belum tentu bisa ada sehingga syarat terkait jumlah dan sebaran anggota akan menjadi kendala utama keberadaan asosiasi profesi dan ujungnya yang bisa bertahan. Karena, hanya asosiasi jasa konstruksi yang memiliki kekuatan jaringan dan kemampuan finansial yang besar.

Adapun asosiasi spesialisasi yang minim anggota akan terlikuidasi tentu ini adalah salah satu perlakuan yang diskriminatif dan tidak berkeadilan bagi asosiasi yang minim anggota dan tidak memiliki kemampuan finansial atau sumber daya.

Dari dua sisi yang coba ungkap atau diambil sebagai contoh ini, maka pertanyaan mendasarnya atau mungkin yang harus kita pikirkan adalah apakah undang-undang baru ini bisa memberikan perbaikan dari kekurangan atau ketidaksempurnaan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi? Atau bahkan undang-undang yang baru ini ternyata ke depan akan banyak memunculkan masalah baru lagi yang bisa saja terjadi lebih parah permasalahannya dibandingkan dengan era undang-undang lama?

Akan tetapi, harapan kita adalah semoga hal tersebut tidak terjadi. Karena kalau hal yang sama kembali terjadi maka artinya keberadaan UU baru ini tidaklah memberi manfaat dan berguna.

Dan patut direnungkan bahwa sejak UU Nomor 18 Tahun 1999 lahir sampai dengan saat ini artinya usia regulasi jasa konstruksi sudah mencapai hampir 20 tahun. Dan dengan usia 20 tahun, maka mestinya jasa konstruksi indonesia sudah semakin berkembang, andal serta maju dan berdaya saing.

Akan tetapi, bila kita mau mengungkap dengan jujur dan melihat fakta yang telah terjadi selama ini maka kehadiran UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengantikan UU yang lama masihlah menimbulkan keraguan apakah akan mampu berbuat banyak. Karena masalah jasa konstruksi kita dasarnya bukan hanya terletak pada aspek regulasi. Bila belajar ke masa lalu , maka akan didapatkan bahwa yang berpengaruh membuat ‘kegaduhan dalam menata jasa konstruksi. Terutama, dalam hal banyaknya ‘akselerasi’

dalam memanfaatkan piranti aturan. Ya, fakta bicara bahwa piranti aturan yang dibuat ujungnya terlihat hanya banyak melanggengkan dan menguntungkan serta bahkan melindungi kepentingan pihak tertentu saja.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Provinsi Kalsel

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.