Tablet Campuran Aspirin, Hentikan Pandemi Flu Spanyol di Banjarmasin (2-Habis)

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

PANDEMI flu Spanyol yang melanda Banjarmasin, seabad lalu tepatnya tahun 1918-1920 memang menjadi wabah mematikan di Kota Seribu Sungai. Walaupun demikian, pandemi ini sebenarnya sudah melanda Banjarmasin dalam skala kecil tahun 1890.

LABORATORIUM voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie tertanggal 5 April 1890 menuliskan dari hasil observasi di Borneo pada tahun yang sama, influenza pertama kali melanda Bandjermasin dan kota utama di sekitarnya hingga daerah yang jauh dari perkotaan.

Bahkan, awal April 1890 pada waktu yang hampir bersamaan di Pantai Barat Sumatera, di wilayah Borneo bagian Selatan dan Barat, influenza mulai menjadi epidemi Demikian dilansir Departement van Zaken Oversee, dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1892.

BACA : Berawal Dari Hong Kong, Kasus Flu Spanyol Seabad Lalu, 1.424 Warga Banjarmasin Menjadi Korban (1)

Untunglah, kasus tersebut tergolong kecil dibandingkan kasus besar 26 tahun kemudian. Wilayah Bandjermasin dan Stagèn (Poeloe Laoet) dilanda penyakit influenza (spanish griep/flu spanyol) yang langsung tersebar dari penumpang kapal ke Pelabuhan Banjarmasin dan Stagen dari Singapura pada pertengahan Juli.

Dari tempat-tempat yang disebutkan, penyakit ini menyebar dengan mudah ke daratan, sehingga pada bulan Juli beberapa pusat kesehatan di Banjarmasin melaporkan maraknya wabah ini. Demikian dituliskan Dienst der volksgezondheid, pada tahun 1920.

Hal sama dituliskan Eisenberger (1936). Tahun 1918 menjadi terkenal di seluruh wilayah karena penyakit kolera dan flu Spanyol yang telah menjangkiti hingga 90 persen dari populasi/penduduk di wilayah Borneo.

Penelitian Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie di Banjarmasin menemukan basil influenza pada kedua kasus ini menunjukkan kesamaan antara kasus influenza tahun 1890 dan tahun 1918-1920. Hingga tahun 1925 kemudian, Verslag der handelingen der Staten-Generaal mencatat masih terdapat sisa sisa penyakit influenza hingga ke wilayah-wilayah Dayak dari daerah Samarinda, Bandjermasin hingga subdivisi Puruktjahoe dari daerah Doesoenlanden.

Seperti dijelaskan di artikel sebelumnya. Pada awal November 1918, Residen yang berkedudukan di Banjarmasin telah mengirimkan telegram darurat yang menyatakan bahwa daerahnya terserang wabah influenza (Arsip ANRI, TZG-Agenda nomor 35536/18, bundel Algemeen Secretarie). Pandemi flu Spanyol diduga berasal dari Hong Kong.

BACA JUGA : Banjarmasin, Kota Sungai Dihantui Bayang Krisis Air Bersih ‘Abadi’

Dalam telegram tersebut menurut Nofita Rusdiana Dewi (2013) dijelaskan bahwakeadaan di Banjarmasin sedang kacau. Inspektur kesehatan melaporkan adanya peningkatan kematian yang tinggi. Kematian tersebut pada umumnya disebabkan oleh penyakit Spanyol. Penyakit Spanyol disini dapat diartikan sebagai influenza/Spanis Griep atau flu Spanyol.

Dalam telegram tersebut, Residen Borneo Timur dan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin melaporkan sebanyak 1.424 orang di daerahnya telah tercatat menjadi korban penyakit influenza.

Besarnya jumlah korban jiwa akibat pandemi ini di Banjarmasin khususnya, turut menandakan gagalnya pemerintah dalam menghadang penyebaran virus melalui pelabuhan. Pada akhirnya otoritas di Batavia memang dapat mencegah penyebaran wabah penyakit, namun hal yang sama tidak dapat diterapkan di kota-kota pelabuhan lainnya.

Bagaimana upaya pencegahan dan pengobatan flu spanyol di Banjarmasin? Tidak terdapat catatan khusus mengenai penanggulangannya. Tetapi secara umum, Arie Rukmantaradalam tulisannya tentang When Sneeze Kills: Indonesia’s Influenza Pandemic of 1918 menuliskan bahwa sebelum obat medis ditemukan, masyarakat telah mencoba melakukan pengobatan dengan menggunakan obat-obat tradisional seperti temulawak. Jamu ini dipercaya dapat menghangatkan tubuh dan mengobati influenza.

Di samping pengobatan tradisional, menurut Priyanto (2009) masyarakat masa itu juga menghubungkan dengan kepercayaan metafisik. Mereka yang menderita sakit sering dianggap telah melanggar pantangan adat.

BACA JUGA : Riwayat Pelabuhan Martapura Lama Era Belanda dan Jepang

Oleh karena itu langkah yang perlu diambil untuk memulihkan keadaan adalah dengan mendatangi makam­-makam suci di tempat terjadinya wabah dan melaksanakan ritual adat. Selain itu, ada juga yang meyakini bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh gangguan hantu penunggu lokasi tertentu.

Pada sisi lain, Kepala Dinas Kesehatan Sipil membentuk sebuah komite yang bertugas menyelediki penyakit ini mulai asalnya, penyebarannya, dan pengobatannya (Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie, 1920).

Namun karena luasnya wilayah Hindia Belanda, komite ini tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam waktu cepat sehingga korban terus berjatuhan. 

Menurut Novita Rusdiana Dewi (2013), saat pemerintah Hindia-Belanda masih bingung untuk menangani penyakit ini, lembaga Nederlandsch Zending Genootschap mengambil inisiatif untuk menanggulangi virus influenza yang oleh masyarakat dinamakan “demam panas”, “Penjakit Aneh”, “Penjakit Rahasia”, dan “Pilek Spanje” ini.

BACA JUGA : Dari Militaire Weg ke Jalan Kalimantan hingga Jalan S Parman

Dengan memanfaatkan fasilitas rumah sakit yang seadanya, para ahli kesehatan zending berupaya mencegah tersebarnya wabah itu dan sedapat mungkin mengobati para pasien yang telah terjangkit. Untuk mencegah semakin menyebarnya penyakit, para pendeta dan dokter zending juga aktif menyebarkan informasi mengenai gejala dan penanganan penyakit ini.

Pada bulan November 1918, dibentuk sebuah tim yang memiliki wewenang dalam mengambil tindakan darurat untuk menghadapi wabah influenza. Dokter de Vogel selakupimpinan tim khusus influenza memandang perlu adanya peraturan yang bersifat dan berskala nasional bagi penumpasan penyakit influenza. Peraturan ini diharapkan akan menjadi dasar bagi kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah di berbagai wilayah di Hindia Belanda.

BACA LAGI : Sejuta Memori dari Perangko Pertama di Banjarmasin

Dengan demikian, pada awal tahun 1919, rancangan undang-undang influenza (Inflenza Ordonantie) telah dibuat dan diedarkan kepada pihak-pihak yang terkait. Peraturan ini dilandaskan pada Staadblad tahun 1911 nomor 277 mengenai peraturan karantina. Pada tanggal 20 Oktober 1920 peraturan ini ditetapkan sebagai sebuah perundang-undangan dan diberlakukan di seluruh wilayah Hindia Belanda serta dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch Indie nomor 723 tahun 1920).

BACA LAGI : Sate Banjar, Riwayat dari Cita Rasa Kuliner Nusantara

Perkembangan menggembirakan mulai ada ketika Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie(1922) melaporkan bahwa pada tahun 1919, laboratorium kedokteran di Batavia telah berhasil menemukan obat untuk menyembuhkan pasien influenza. Obat influenza ini dibuat dalam bentuk tablet.

Komposisi tablet ini adalah 0,250 aspirin, 0,150 pulvis doveri dan 0,100 camphora.Dinas kesehatan rakyat dalam masa produksi pertamanya menghasilkan hampir 100 ribu butir (M: 101). Tablet-tablet ini kemudian didistribusikan kepada masyarakat secara gratis. Penyediaan tablet obat influenza ini sangat membantu dalam upaya mengobati pasien influenza. Masker juga diberikan secara gratis untuk mencegah meluasnya virus.

BACA JUGA : Pasar Soedimampir dan Amarah si Jago Merah

Selain itu, Priyanto (2009) memaparkan untuk memudahkan penyebaran informasi, pemerintah kolonial melalui Balai Pustaka menerbitkan sebuah buku pedoman mengenai penyakit influenza yang berjudul Lelara Influenza. Buku ini terbit dalam Bahasa Jawa dan ditulis dalam Huruf Jawa.  Buku ini disusun dalam bentuk percakapan di antara tokoh-tokoh wayang (punakawan) yang telah populer dikenal oleh masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan.

Upaya mengatasi flu Spanyol lumayan berhasil menanggulangi flu spanyol di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya. Departement van Zaken Oversee (1920), berdasarkan laporannya menuliskan Flu Spanyol yang merebak sejak 1918 masih terasa sampai bulan-bulan pertama 1919, tetapi itu tidak lagi mengakibatkan banyak korban. Hanya ada beberapa kasus kolera yang terjadi di wilayah Hulu Sungai dan Banjarmasin.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.