Tumbangnya Hegemoni Incumbent pada Pilkada Serentak di Tanah Laut

Oleh : Muhammad Uhaib As'ad

1

DRAMA tumbangnya kekuasaan politik Bambang Alamsyah (sebagai incumbent) pada Pilkada Serentak Jilid Ketiga, 27 Juni 2018, sungguh di luar prediksi kalkulasi politik. Hiruk-pikuk ritual demokrasi di negeri ini telah mengurasi “libido politik” anak bangsa, selain banyak pesertasi kontestasi elektoral, menguras uang negara demi perhelatan demokrasi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah bagimana masa depan demokrasi khusus pada level lokal?

MENDISKUSIKAN keterlibatan incumbent atau petahana dalam kontestasi elektoral pada Pilkada Jilid Ketiga ini menjadi menarik, bahkan untuk mendapatkan suatu pemahaman di tengah proses demokratisasi dan transformasi politik dari sistem otoritarianisme menuju sistem demokrasi.

Dalam konteks kajian akademik, tampilnya incumbent dalam pertarungan perebutan kekuasaan politik sebagai perspaktif perbandingan. Terutama, kecenderungan yang terjadi di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan, para incumbent memiliki kesempatan peluang besar untuk terpilih kembali. Menurut Cox dan Katz (1996) yang dikutip oleh Mada Sukmajati dalam (krjogja.com, 11 Januari 2017), dengan melihat terpilihnya para petahana kembali di pemilu di Amerika Serikat. Apa faktornya? Sedikitnya ada tiga faktor yang membuat incumbent terpilih kembali.

Pertama, yaitu pengaruh yang didapatkan dari berbagai bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat selama periode kekuasaan sebelumnya. Kedua, pengaruh kualitas incumbent, misalnya keterampilan menghadapi pemilih dalam proses kampanye. Pengaruh ini dibentuk selama periode kekuasaan sebelumnya. Ketiga, pengaruh dalam memberikan keraguan kepada penantang.Tiga faktor ini yang kemudian populer dalam literatur ilmu politik dengan sebutan “incumbency advantage”.

Terkait  mengenai konsep “incumbency advantage”, untuk membangun leading argument pada tulisan ini, beberapa tulisan yang cukup menarik untuk membentuk fenomena incumbent dalam Pilkada Serentak 2018 ini. Bertahan dan tumbangnya para incumbent dalam Pilkada Serentak, adalah Sebastian Dettman (2017) menulis mengenai Incumbency Advantage and Candidat Characteristics in Open-List Priportional Representation System: Evidence from Indonesia.

Kemudian, Ilham Yamin Ismail (2014) menulis Democracy and Incumbent Political Power Struggle for the Indonesian Regional Head Election. Begitu, dari kupasan Marcel Fafchamps (2017) mengenai Family Networks and Distrobutive Politics.

Tulisan-tulisan tersebut menggambarkan bahwa incumbent lebih memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan perebutan kekuasaan dalam kontestasi elektoral untuk kembali berkuasa. Namun demikian, sebenarnya incumbent juga memiliki keterbatasan, demikan kata Mada Sukmajati (2017).

Hal ini terjadi jika incumbent dianggap memiliki kinerja yang rendah dan terjerat dalam kasus korupsi dan abuse of power. Di sisi lain, jika penantang mampu mengeksplor kelemahan-kelemahan incumbent dalam kampanye. Apalagi, jika sang penantang mampu meyakinkan publik akan program-program strategis ke depan.

Dengan demikian, penantang memiliki modal awal yang bagus jika mampu menumbuhkan keraguan di kalangan pemilih terhadap incumbent. Hal ini karena evaluasi testrospeksi pemilih akan lebib difokuskan kepada incumbent ketimbang penantang (Campbell, Dettrey and Yin, 2010).

Mada Sukmajati (2017) menulis kecenderungan yang terjadi di negara-negara yang demokrasinya sedang berkembang justru sebaliknya. Alih-alih mendapatkan keuntungan, para incumbent justru mendapatkan ” incumbent curse /kutukan incumbent” (Lucardi and Rosas, 2016).

Hal ini dikarenakan empat faktor. Pertma, penantang mampu mengeksplor kelemahan incumbent selama berkuasa, terutama yang terjadi dengan kasu korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, perilaku pemilih yang berorientasi pada penyeimbangan. Ketiga, sistem pilkada dengan sist mayoritas membuat pemilih tidak memiliki lagi kesempatan untuk melakukan spekulasi pilihan politik. Inilah yang kemudian menjelaskan masih banyaknya pemilih yang belum memutuskan pilihan politik.

Secara umum, sukses atau tidaknya incumbent sangat ditentukan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah tingkat pelembagaan sistem kepartaian. Hal ini juga terkait dengan identifikasi kepartaian, di mana pemilih yang memilih partai politik tertentu cenderung akan memilih kandidat yang diusung oleh politik tertentu. Kedua, tingkat partisipasi politik publik.

Pengalaman dari banyak negara menunjukkan bahwa tingginya apatisme politik memiliki relasi dengan terpilihnya kembali incumbent. Ketiga, dari sisi penantang. Meskipun di atas kertas dipredikasi kalah, faktor kemampuan penantang mengkonseptualisasikan dirinya ketika dihadapkan pafa incumbent juga sangat mempengaruhi kemenangan.

Keempat, incumbent dalam banyak kasus menunjukkan bahwa kepercayaan diri yang berlebihan di kalangan incumbent yang ternyata berujung pada sikap meremehkan penantang dan berbagai bentuk blunder. Jadi, penantang terberat bagi incumbent sesungguhnya adalah dirinya sendiri.

Kekalahan Bambang Alamsyah pad Pilkada Serentak 2018 di Tanah Laut, seperti dijelaskan pada awal tulisan, sebagai drama kejatuhan yang tragis dalam pertarungan perebutan kekuasaan. Sebagai incumbent, sumber daya politik dan ekonomi serta dukungan amunisi tentu saja melampaui sumber daya yang dimiliki Sukamta sebagai pemenang.

Dukungan para elit politik, aktor politik berkelas di Kalsel, partai politik dan tentu saja jaringan pengusaha tambang batu bara yang semua itu menjadi sumber kekuatan politik dan basis patronase untuk mengalahkan seorang Sukamta.

Popularitas seorang Sukamto biasa-biasa saja dan tidak sebanding dengan popularitas para aktor atau elit politik lainnya di Kalimantan Selatan. Pertanyaannya adalah di mana amunisi kekuatan sumber daya politik Sukamta itu? Bambang Alamsyah sebagai anak mantan Bupati Tanah Laut Adriansyah yang telah berhasil melajutkan politik dinasti sang ayah sebagai modal kuat untuk melalukan mobilisasi kekuatan pesan politik bagi publik Tanah Laut.

Lalu, apa amunisi kekuatan politik bagi Sukamta? Dalam kasus ini, sebagai leading argument, modal kekuatan uang (money politics), jaringan patronase politik political patronage network, politik identitas (political identity) untuk kasus Pilkada Tanah Laut tidak menjadi kekuatan dominan untuk menyelamatkan kekuasaan seorang Bambang Alamsyah sang incumbent (Edward Aspinall and M. Uhaib As’ad, 2016).

Namun, Sukamta telah membuktikan semua itu dan telah mematahkan mitos bahwa uang adalah segala-segalanya. Ternyata rasionalitas politik  dan kecerdasan politik mengalahkan rasionalis material untuk kasus di Tanah Laut Tanah Laut.

Tanah Laut sebagai daerah penghasil tambang batu bara signifikan di Kalsel yang dikuasai para predator tambang yang memiliki jaringan kekuasaan dengan elit politik, arena Pilkada menjadi aktualisasi bagi warga untuk melakukan pembambangkan politik terhadap incumbent dengan cara tidak memilih pada Pilkada.

Jenuh dan bosan adalah kata yang kerap terucap dari mulut warga ketika proses transisi demokrasi hanya menguntungkan segelintir orang dan tidak reformasi yang sedang berjalan belum dirasakan oleh warga seperti yang diharapkan warga.

Kasus Tanah Laut bisa menjadi laboratorium politik dalam memahami dinamika politik (Kalsel) yang sangat menarik. Artinya, pembusukan politik (political decay) yang selama ini dipertontonkan para predator politik atau para pemilik modal sebagai bandar politik, secara pelan-pelan akan mengalami pelapukan seiring semakin berkembangnya pemahaman dan partisipasi politik warga.

Di awal tulisan, elaborasi teoritik yang dikemukakan oleh para penulis tersebut bahwa incumbent memiliki peluang menang, namun faktanya untuk kasus Pilkada di Tanah Laut terbantahkan.(jejakrekam)

Penulis adalah Pendiri dan Peneliti Institute of Politics and Public Policy Studies

Staf Pengajar S2 Magister Administrasi Publik Uniska Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.