Cara Menulis Terbaik adalah Membaca, SDD Sarankan Terus Ikuti Perkembangan Bahasa

0

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada,”

ITULAH kutipan syair yang terkenal karya Prof Dr Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin”. Penyair senior yang juga guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dalam karier kesastraan nasional meraih banyak penghargaan. Nah, di Pagelaran Kalsel Book Fair, Jumat (30/3/2018), Sapardi pun bercerita tentang proses kreatifnya seorang penulis.

Sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 silam ini pun bercerita awal karier menulis dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kecintaannya terhadap goresan pena semakin berkembang ketika dirinya kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Dia pun mulai menerjemahkan naskah sastra sejak dari bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi tertua di Indonesia itu. Ada kisah menarik yang diceritakan Sapardi. Ketika ada tawaran mementaskan drama di Magelang. Namun, Sapardi dan kawan-kawan tak punya biaya untuk pergi ke Magelang. Hingga, tercetus ide untuk menggadaikan sepeda miliknya. Begitu digadaikan, ternyata orangtuanya mengetahui hingga Sapardi pun dituduh menjual moda transportasi dengan kayuhan itu.

Namun, itu adalah pilihan hidup Sapardi. Dia pun menuai hasil dengan komitmennya untuk terus menulis. Dari karya tulis itu, Sapardi bisa berkeliling dunia dan mengenal banyak orang. Menurut dia, justru dengan kondisi kekinian sekarang ditopang kecanggihan teknologi informasi, menulis jauh lebih mudah dibandingkan eranya.

“Dulu, menjadi penulis harus susah payah mencari referensi tulisan. Ya, karena minimnya teknologi informasi. Bahkan, menulis pun harus dengan mesin ketik,” ucap pujangga yang juga menerjemahkan karya penyair dunia seperti Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi dan Mak Dizdar ini.

Bagi pendiri Yayasan Lontar ini, cara terbaik untuk menulis adalah dengan membaca. Kemudian, mulai untuk menulis dan perkembangan sastra yang selalu berkelindan dengan ‘metomorfosis’ bahasa.

Peraih SEA Write Award 1986 ini menuturkan terjun ke dunia sastra, berawal dari kegemarannya membaca. Bahkan, pria yang akrab disapa SDD ini berkeinginan menjadi seorang guru bukan seorang penulis.

“Saya melihat Kalimantan Selatan, geliat literasi cukup bagus. Ini bisa dibuktikan dengan ketika tiba di Banua, saya mendapat karya penulis lokal. Sayangnya, karya penulis lokal di sini, tidak semuanya mampu masuk ke rak-rak toko buku nasional,” papar Sapardi.

Dengan segudang pengalamannya, Sapardi pun kini telah membuahkan 50 karya tulis baik berbentuk kumpulan puisi, novel, cerpen, hingga publikasi ilmiah. Namun, tidak semuanya dicetak lagi.

Kehadiran SDD yang menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia serta country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur, serta pengajar sekolah pascasarjana Institut Kesenian Jakarta ini diharapkan Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Kalsel, Hj Nurliani Dardi bisa memompa semangat para penulis muda daerah untuk terus melahirkan karya terbaik.

“Kami sengaja mengundang SDD karena beliau adalah sastrawan dan pujangga senior terkenal di Indonesia. Untuk menghadirkan beliau juga lumayan susah. Syukurnya, karena ada jaringan, akhirnya bisa mendatangkan beliau ke Kalsel. Dari segudang ilmu dan pengalaman SDD, kita bisa banyak belajar dari beliau,” imbuh Hj Nurliani.(jejakrekam)

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.