Senjakala Demokrasi, Kuasa Uang-Perselingkuhan Aktor

0

KETERLIBATAN saya mengenai sejumlah riset berskala lokal, nasional maupun internasional berawal sejak perkenalan saya dengan Profesor Edward Aspinall (ilmuan politik dari Australian National University, Canberra).

PERKENALAN saya sejak tahun 2012 lalu dan melibatkan saya dalam beberapa proyek penelitian mengenai demokratisasi dan dinamika politik lokal, pilkada dan politik dinasti, politik uang dan patronase dalam pilkada, juga sejumlah riset-riset lainnya terkait masalah demokratisasi dan bangkitnya oligarki lokal.

Sebagai asisten dalam sejumlah riset, saya merasa mendapat pengetahuan dan pengalaman baru bagaimana menjadi seorang peneliti sosial-politik yang baik dan berkualitas. Pada tahun 2014 lalu, saya dan Prof Edward Aspinall mengadakan penelitian mengenai politik dinasti di sejumlah kabupaten di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Hingga, berlanjut pada tahun 2015 penelitian mengenai pilkada dan politik pada 18 provinsi di Indonesia, dan kebetulan saya menjadi koordinator untuk Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Selanjutnya penilitian dilanjutkan pada tahun 2017 lalu mengenai pilkada dan keterlibatan pengusaha dalam dinamika politik lokal di Kalimantan Selatan. Semua penelitian tersebut atas kerjasama antara Australian National University, Canberra dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Apa yang dapat dijelaskan dari berbagai temuan dalam sejumlah penelitian tersebut? Pertama, proses demoratisasi dalam jumlah pilkada sesungguhnya telah merefleksikan suatu situasi yang sangat memprihatinkan dan bahkan membahayakan bagi masa depan demokraai di negeri ini, yaitu maraknya permainan politik uang dan berbagai modus lainnya yang dikendalilan para aktor politik yang berlatar  pengusaha. Artinya, panggung demokrasi telah dibajak dan dikendalikan oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan modal dan membeli demokrasi untuk menciptakan kekuasaan oligarki dalam pemerintahan.

Sebagai penguasa yang membandari sejumlah pilkada, para pemilik modal tampil sebagai pemerintahan bayangan (shadow government) meminjam istilah Prof Barbara White. Para pemilik modal itu bisa memposisikan diri sebagai informal economy dalam pemerintahan seperti dijelaskan peneliti LIPI, Syarif Hidayat dalam tulisannya Hubungan Penguasa dan Pengusaha Pasca Pilkada (2006).

Kedua, sejak diterapkan pilkada serentak, perkembangan demokrasi semakin liberal dan maraknya aktor politik berlatar belakang pengusaha sebagai penumpang gelap untuk menguasai panggung demokrasi seperti legislatif dan eksekutif untuk membangun jaringan patronase politik dan bisnis sebagai strategi membangun oligarki baru dan persekutuan kekuasaan.

Ketiga, bertemunya persekutuan para aktor yang belatar belakang pengusaha dan membandari para kandidat penguasa daerah telah memberikan jawaban teoritik bahwa keterlibatan para pemilik modal adalh dalam rangka mengamankan jaringan bisnis dan politik dan sekaligus penguasaan infrastruktur dan resources lainnya. Bahkan, dalam hal tertentu penguasaan terhadap sejumlah partai partai politik mengenai siapa yang memimpin partai tidak lepas dari strategi yang dimainkan oleg para pemilik modal.

Artinya, keterlibatan para pemilik modal dalam dinamika politik lokal, khususnya di Kalimantan Selatan sebagai kekuatan yang tidak dapat dipandang remeh. Peran pengusaha di Kalsel menjadi penentu siapa yang menjadi penguasa daerah.

Sejumlah hasil riset membuktikan bahwa dinamika politik lokal di Kalimantan Selatan, sesungguhnya hanya ditentukan oleh segelintir orang. Dan, segelintir orang itulah yang menentukan warna politik daerah yang berpenduduk hampir 4 juta orang lebih ini. Bila sedikit cermat mengamati landscape politik di Kalsel Nampak jelas bahwa penguasa geo-politik  telah berada dalam genggaman kelompok Banjar Pesisir untuk level perebutan Kalsel satu akan datang.

Penguasan partai besar seperti Golkar dan PDIP merupakan keywords dalam melakukan battle ground mendatang. Sebagai gubernur dan sekaligus ketua Partai Golkar, Sahbirin Noor telah menggenggam posisi trategi untuk melakukan battle ground. Ini belum ditambah lagi adanya kedekatan hubungan dengan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming. Selain sebagai bupat, juga sebagai Ketua DPD PDIP Kalimantan Selatan yang memilik nilai strategis dalam jagat perpolitikan di Kalsel.

Bagi saya, kedua local actors ini secara political imagination telah menguasai irama permainan politik lokal Kalsel ke depan. Ada Muhidin (mantan Walikota Banjarmasin) dan Pangeran Khairul Saleh (mantan Bupati Banjar) bisa saja menjadi bayang-bayang dalam battle ground.

Dalam membaca dinamika politik Kalsel, analisa kita tampaknya tidak hanya cukup sampai di sini saja. Pembacaan kita perlu mengeksplore lebih jauh atau membangun Beyond Imagination. Di balik semua itu ada satu kekuatan yang undercover atau impossible hand yant bisa menderive dinamka politik lokal Kalsel.

Untuk memperjelas analis ini, saya ingin meminjam istilah John Sidel yang menyebutnya sebagai local bossis dan Joel Migdal menyebutnya sebagai local strongmen. Local bossim dan local strongmen ini, as the main resources of political patronge and clietelism. Harfiahnya, klientelisme (dihitung dan tak terhitung, clientelisms jamak) adalah sebuah sistem politik yang didasarkan pada hubungan pribadi daripada manfaat pribadi.(jejakrekam)

Penulis : DR M Uhaib As’ad

Staf Pengajar FISIP Uniska MAAB

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.