Gawat, 565 Desa Terancam Tergusur Tambang Batubara

0

ANCAMAN tergusur dan hilang dari peta mengancam beberapa desa di Provinsi Kalimantan Selatan. Desa-desa ini berada di bawah bayang-bayang aktivitas pertambangan batubara. Sebab, sedikitnya ada 565 desa dari total 2.039 desa yang berada di wilayah konsesi pertambangan di Provinsi Kalsel.

DARI riset Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan tercatat ada 3,7 juta hektaree luas Kalimantan Selatan, ternyata 50 persen wilayah telah dibebani perizinan industri ekstraktif perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara. Melalui analisa tumpang tindih izin tambang dengan penggunaan lahan di Kalsel , dari total izin tambang seluas 1.183.430,90 hektare, seluas 8.777,38 hektare izin tersebut berada di wilayah pemukiman (termasuk tranmigrasi). Bahkan, seluas 251.726,03 hektare izin tambang berada di wilayah pertanian dan perikanan. Kemudian, ada pula 464.921,00 hektare izin tambang berada di kawasan hutan. Serta, seluas 46.789, 00 hektare izin tambang berada di wilayah adat.

Izin-izin tersebut berada di atas ruang hidup masyarakat yang kebanyakan dari mereka menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Izin pertambangan diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).Perusahaan skala besar mampu melakukan apa saja yang membuat masyarakat kehilangan tanah dan air. Penguasaan ruang yang timpang ahirnya membuat masyarakat kehilangan sumber-sumber kehidupannya. Bisnis perusahaan dan pembangunan yang direncanakan pemerintah menjadi alasan kepentingan yang mengorbankan kepentingan masyarakat.

Salah satu dari banyak peristiwa penderitaan rakyat akibat pertambangan batubara ini terjadi di Desa Wonorejo. Terjadinya penghancuran ruang hidup rakyat oleh aktivitas pertambangan batubara PT Adaro Indonesia hingga membuat warga Desa Wonorejo semakin kebingungan akan masa depan mereka. Hampir semua penduduk yang tersisa tidak lagi memiliki tanah dan rumah. Kebun-kebun karet telah berubah menjadi lubang tambang. Warga bernaung di sisa-sisa fasilitas umum yang belum digusur. Kriminalitas dan kekerasan terjadi pada perempuan, dibarengi dengan trauma psikologis yang mendalam. Sampai saat ini warga Desa Wonorejo masih menunggu kepastian hidup mereka

“Konflik agraria di Kalsel beragam bentuknya ada yg berupa perampsan lahan (land grabbing), tumpang tindih status lahan, dan akibat kebijakan negara,” kata Budi Kurniawan pekerja kemanusian dan aktivis lingkungan hidup kepada jejakrekam.com, belum lama ini.

Menurut Budi, umumnya yang terjadi di Kalsel adalah land grabbing. Perusahaan dengan semua sumber daya mereka bisa dengan sangat mudah mengmbil alih lahan milik masyarakat. Perusahaan biasanya melengkapi dirinya dengan berbagai perangkat hukum. “Dalam hal ini seringkali masyarakat yang dirugikan. Ini karena, mereka tidak memiliki legalitas yang disyaratkan negara. Misalnya dalam bentuk sertifikat dan lain-lain,” ucap jurnalis senior ini.

Budi berkeyakinan masyarakat sudah tinggal lama di tanah mereka, bahkan jauh sebelum negara ini berdiri. Nah, masih menurut dia, ketika kepentingan perusahaan dan pemerintah lokal bertemu ditambah kepentingan ekonomi sesaat, seringkali masyarakat jadi korban Ini yang terjadi berulang-ulang. “Seharusnya,. pemerintah lokal berpihak pada kepentingan masyarakatnya. Jangan mudah memberi izin dan memudahkan perusahaan masuk begitu saja. Lalu menggusur warganya,” ucap Budi yang juga film maker yang bekerja sama dengan Walhi kalsel.

Budi berpendapat dalam kasus Wonorejo di Kabupaten Balangan, hal itu sangat jelas terjadi sekarang sudah saatnya kelas menengah kaum intelektual aktivis, tokoh agama, mahasiswa dan lainnya untuk bergerak memberi dukungan nyata terhadap masyarakat. “Ya, dalam bentuk aksi, riset dan sebagainya yang semuanya bermuara untuk menekan perusahaan dan pemerintah lokal,” ucapnya.

Senada Budi Kurniawan, Muhammad Luthfi juga berpendapat bahwa masalah konflik agraria ini adalah problem yang sangat kompleks, harus ada titik temunya terlebih lagi pertambangan yang sarat dengan tindakan kolisi, korupsi dan nepotisme (KKN). “ Jadi, diibaratkan tinggal menunggu kehancuran, dan para aktivis lingkungan hanya bisa memperlambat kehancuran tersebut,” ucap Muhammad Luthfi, salah satu aktivis lingkungan ini.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Warta Putra Balangan

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.