Perempuan Indonesia Jangan Kebablasan Memahami Emansipasi Wanita

0

PERINGATAN Hari Kartini yang jatuh pada 21 April 2018 harus dijadikan momentum berkaitan dengan mainset perempuan Indonesia dalam melepaskan dari persoalan-persoalan bangsa. Jika mainstream pemahaman Hari Kartini selama ini seakan menjarakkan antara peran publik dan peran domestik dengan memberikan apresiasi besar perempuan bekerja di ruang publik.

“SAYA kira pandangan semacam ini perlu penguatan kembali untuk melek pada ruang-ruang domestic. Pandangan semacam ini didasarkan agar tujuan luhur dari pemikiran Kartini memperjuangkan perempuan Indonesia tidak terkekang pada konstruksi sosial yang tidak memberi luas ruang berpikir perempuan ke arah kemajuan,” ucap Ketua Umum Koalisi Kependudukan Provini Kalimantan Selatan, Taufik Arbain kepada jejakrekam.com, Sabtu (21/4/2018).

Menurut Taufik, justru pandangan yang harus dibangun adalah bagaimana meluaskan perempuan Indonesia pada pemikiran maju merawat dan membina anak-anaknya dengan baik dengan pendekatan dan wawasan yang melek terhadap kependudukan.

Kandidat doktor kebijakan publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengutip data WHO tahun 2017 bahwa ada sekitar 7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia mengalami stunting (36,5%),  sehingga WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk, akibat kurangnya asupan gizi pada saat janin hingga balita.

“Sepatutnya, momentum hari Kartini harus dijadikan sebagai ruang mendobrak pemikiran kebablasan persoalan emansipasi tetapi melupakan ranah-ranah domestik yang memberikan perhatian pada buah hati,” ucapnya.

Dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin ini juga mengingatkan jargon  Habis Gelap Terbitlah Terang mesti diapresiasi sebagai adanya pemikiran baru melepaskan dari pengabaian perhatian terhadap rumah tangga, siaga pada buah hati, dan menambah wawasan kependudukan bagi perempuan. Terutama, bagi mereka yang  mengambil peran public termasuk mereka yang mengambil peran domestik sebagai ibu rumah tangga.

Bagi Taufik, Hari Hartini selama ini hanya dipahami dalam koridor peran perempuan di ranah publik saja, akibatnya ada sebagian pihak seperti mempertentangkan dengan peran perempuan yang full pada ranah domestik.  “Terlebih kondisi sosial di zaman now, pola gaya hidup kecenderungan yang mementingkan penampilan menguras  perhatian pada asupan gizi dan dan siaga rumah tangga,” bebernya.

Pria yang meraih Datuk Cendikia Hikmahdiraja Kesultanan Banjar ini mengingatkan, tantangan kependudukan bangsa ini bagaimana harus menyiapkan generasi-generasi yang memiliki kualitas kesehatan, pendidikan dan karakter yang baik.

“Untuk itu, pasangan usia subur yang sudah berkeluarga sekarang rata-rata mengenyam pendidikan yang bagus, SMA dan perguruan tinggi, sehingga mainset terhadap persoalan pro kependudukan demikian tentu harus terus digalakkan,” cetusnya.

Hal ini, masih menurut Taufik, agar pendidikan yang dicapai berkorelasi dengan pemahaman bagaimana melek terhadap siaga rumah tangga, sekalipun mereka yang  bekerja di ruang publik, apalagi di ruang domestik. “Hari ini bangsa kita surplus kelompok berpendidikan, tetapi jangan sampai defisit pemahaman kerumahtanggaan atau melek terhadap isu kependudukan,” tandasnya.(jejakrekam)

 

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.