Tindakan Asusila di Ruang Publik, Antropolog ULM Sebut Bukti Hilangnya Kontrol Pribadi dan Sosial

0

ANTROPOLOG Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Nasrullah menilai tindakan asusila yang dilakoni pelajar di ruang publik di Kota Banjarmasin telah menunjukkan hilangnya kontrol pribadi.

“SELAIN hilangnya kontrol pribadi yang bersangkutan. Hal ini juga menggambarkan lemahnya pengawasan atau kontrol sosial, terlebih lagi tindakan asusila itu misalkan terjadi di ruang publik, seperti taman dan lainnya,” tutur Nasrullah kepada jejakrekam.com, Kamis (7/9/2023).

Mahasiswa doktoral antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengungkapkan hubungan asusila di tempat umum juga berkelindan dengan bukti hilangnya kontrol personal.

“Ini artinya, remaja tersebut sudah abai dengan intimitas yang dilakukan di ruang publik sebagai tindakan terang-terangan sehingga kehilangan kesadaran situasional,” kata Nasrullah.

BACA : Heboh Terekam Aksi Asusila, Sejoli Pelajar SMA Berciuman di Siring RK Ilir Banjarmasin

Tentu di benak publik, menurut Nasrullah, kalau hal tersebut dilakukan di tempat terbuka, lalu bagaimana dengan tempat tertutup. Nah, jika diketahui pelaku adalah pelajar SMA, tentu atribut sekolah melekat pada tubuhnya.

“Sehingga status sebagai pelajar dari sekolah tertentu tidak mampu menjadi rem agar tidak melakukan tindakan tersebut,” papar dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP ULM Banjarmasin ini.

Di sisi lain, kata Nasrullah, kalangan pelajar tentu melek teknologi informasi (TI) yang mestinya disadari bahwa ada CCTV  (kamera pengawas) di mana-mana dan juga dari kamera smart phone masyarakat yang dapat menyorot situasi apapun, bahkan memviralkan di media sosial.

BACA JUGA : Hamil 2 Bulan, Korban Asusila Oknum Satpolair Polresta Banjarmasin Lapor ke Propam

“Kedua tindakan individu yang menyimpang di masyarakat tidak hanya dilihat dari penyebab individu bersangkutan. Pandangan lain adalah lemahnya kontrol sosial,” ucap intelektual Hapakat Bakumpai ini.

Menurut Nasrullah, di masyarakat kita sudah memudar peran tetuha kampung, orang yang dituakan, orang yang disegani atau apapun namanya sebagai penjaga moral warga.

“Di kawasan pemukiman penduduk dengan batas teritorialnya masih terjaga, biasanya penjaga moral itu masih eksis tentu dengan segala mitos yang dimilikinya. Itulah sebabnya kesadaran wilayah yang disebut kampung, gang, kompleks akan bertahan ketika masih ada penjaga moral itu,” imbuh Nasrullah.

BACA JUGA : Belasan Gepeng dan Tunasusila Terjaring Razia Cipta Kondisi Satpol PP Banjarmasin 

Persoalannya, kata dia, masyarakat cenderung menimpakan perkara moralitas itu kepada aparat pemerintah seperti Satpol PP. “Boleh jadi demi menghindari tindakan anarkis warga,” katanya.

Namun, Nasrullah berpendapat membebankan kepad satu pihak saja, terutama kalangan pemerintah tentu terbatas daya jangkau geografis dan waktu.

“Sementara penjaga moral masyarakat terus hadir sepanjang waktu karena dia lahir dan tumbuh di masyarakat,” beber dia.

BACA JUGA : Baru Bisa Penuhi 4% RTH di Banjarmasin, Berbiaya Miliaran DLH Jor-Joran Bangun Taman

Di atas semua itu, Nasrullah mengatakan tentulah rasa malu yang harus mengemuka. Secara pribadi malu melakukan tindakan asusila baik secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi.

“Warga malu karena tempat mereka dijadikan atau sebagai pembicaraan warga terkait tindakan asusila. Sebenarnya, sekolah pun malu, terlebih lagi orangtua ikutan malu atas tindakan asusila yang dilakukan anaknya,” pungkas Nasrullah.(jejakrekam)

Penulis Sirajuddin
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.