Perang Narasi Dan Mimpi Pemilu Cerdas Berintegritas Dikupas Forum Ambin Demokrasi

0

FORUM Ambin Demokrasi melaksanakan diskusi dengan tema ‘Perang Narasi dan Mimpi Pemilu Cerdas Berintegritasi’, di Rumah Alam Sungai Andai , Rabu (17/5/2023).

DISKUSI yang menghadirkan Noorhalis Majid, Muhammad Effendy, Winardi Sethiono, Siti Mauliana Harini, Abdul Haris Makkie, Khariadi Asa, juga dipandu oleh Fathurrahman Kurnain, dan dihadiri oleh para bakal calon legislatif .

Noorhalis Majid mengatakan, bahwa Forum Ambin Demokrasi diadakan agar narasi-narasi seputar pemilu, dapat mencerdaskan pemilih. Minimal ada yang menyuarakan hal-hal substansial tentang demokrasi, sehingga kualitas demokrasi berjalan semakin baik.

Diketahui, di media sosial perang narasi sangat kuat sekali, bahkan sudah kasar, namun tidak mencerdaskan. Hanya melahirkan budaya komentar, dimana semua orang tiba-tiba menjadi komentator, tanpa jelas keilmuannya. Selain itu, semua orang hanya menonjolkan calonnya, bukan gagasannya.

Muhammad Effendy, dosen Tata Negara Fakultas Hukum ULM mengatakan, bahwa secara umum narasi dalam pemilu bertujuan agar orang bisa tampil ke hadapan publik. Bagi seorang calon, narasi menjadi visi dan misi.

Semestinya, narasi dalam rangka menjelaskan apa yang menjadi visi dan misinya ketika menjadi calon legislatif. Bagi tim pendukung atau tim pemenangan, narasi bertujuan untuk memperkuat calon yang didukungnya.

Narasi menjadi sangat penting. Sebab melalui narasi yang disampaikanlah, lahir penilaian masyarakat atas calon. “Faktanya dalam pemilu kita, nilai atau bobot narasi sangatlah kurang, bahkan miskin narasi, sehingga semua sepertinya sama saja,” ucap Muhammad Effendy.

“Sering kali yang dilihat adalah siapa yang mengucapkan narasi, bukan isi narasi yang disampaikan. Seharusnya, yang dinilai adalah isi narasinya, baru kemudian figurnya,” tambahnya.

“Memang caleg-caleg kita tidak kuat dalam menyampaikan narasi, yang disampaikan lebih banyak jargon-jargon politik. Padahal, hanya narasi yang baik, yang dapat menggaet hati pemilih,” tuturnya.

Narasi seputar Habaib sebagai simbol dari agama, lebih kuat dari pada Gusti sebagai simbol kebangsawanan. Namun, sayangnya Habib masih di bawah money politic. Jadi apakah Habaib atau Gusti, bila ada money politic maka keduanya juga akan kalah.

Kenapa Habaib sangat kuat, sebab jaringan dan solidaritas Habaib mendukungnya, sekalipun visi misinya tidak jelas. Dalam Pemilu, mestinya yang ditonjolkan bukan simbol atau gelar seperti Habaib atau Gusti, tapi yang paling penting adalah visi dan misi yang akan diperjuangkan oleh sang calon.

Sementara itu, anggota DPRD Kota Banjarmasin dari Partai Golkar Sukrowardi menyampaikan, bahwa saat ini masyarakat sangat cuek terhadap tahapan pemilu. Padahal tahapan tersebut bagi calon sangat krusial, sebab semua calon disibukkan oleh berbagai persyaratan dan dibatasi oleh limit waktu yang tidak panjang.

Mestinya masyarakat juga ikut memantau terkait persyaratan. Sebab nyatanya banyak calon yang sebenarnya tidak memenuhi syarat namun lolos menjadi calon.

“Terkait narasi, caleg sendiri tidak mempedulikannya, bahkan empat kali jadi anggota dewan, tidak jelas narasinya. Apa yang sudah diperjuangkan? Regulasi seperti apa yang sudah dihasilkan?” tanya Sukrowardi.

“Jadi tidak terbayangkan akan melakukan apa? Memperjuangkan soal apa? Namun, apa nanti yang akan didapatkan? Saya sangat pesimis ada yang memikirkan soal pembangunan dan segala hal yang memajukan daerah. Di Kota Banjarmasin misal, dari anggaran 2 triliun, 80 persen habis untuk belanja pegawai, dan sisanya juga masih berpeluang disimpangkan,” bebernya.

Haris Makkie, mantan birokrat yang sekarang bergabung pada Partai Bulan Bintang mengatakan, bahwa di negara-negara lain, narasi jauh lebih penting dari apapun, termasuk calon. Bahkan tidak ada pembicaraan soal money politic, mungkin yang ada hanya ongkos politik. Sebab, mustahil menghindari ongkos dalam politik, sebab pasti ada aktivitas yang membutuhkan dana.

“Di tempat kita, selain ongkos politik, juga ada money politic. Sebab kuat ungkapan ‘Datang liur, bulik liur jua‘ (datang sekedar omong saja, maka pulang juga omong), bukan melahirkan dukungan,” terang Haris Makkie.

Siapa yang harus mencerdaskan pemilu? Mestinya yang mencerdaskan adalah partai politik. Sementara yang terjadi, jangankan soal mencerdaskan pemilih, mekanisme perekrutan caleg saja tidak jelas.

Kenapa caleg yang mudah terpilih adalah orang-orang petahana, sebab mereka rajin memelihara konstituen. Padahal cara memeliharannya dengan menggunakan APBD, bukan dengan memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam anggaran dan kebijakan.

Sekarang ini, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mendorong parpol memiliki mekanisme yang baik dalam rekrutmen calon legislatif, bukan dengan cara yang asal-asalan, sehingga calon yang disuguhkan oleh partai-partai, memang orang pilihan yang dapat berjuang untuk rakyat.

Melihat keadaan sekarang ini, rasanya sudah mustahil memperbaiki ketergantungan pada money politic, sudah sebegitu rusaknya. Semuanya dikuasai uang, tidak diperlukan narasi-narasi. Kalau pun hari ini kita mendorong agar narasi lebih diutamakan, mungkin nanti baru berdampak beberapa generasi setelah kita. Mudah-mudahan, dari kelompok kecil ini bisa mengubah cara berpikir masyarakat secara perlahan.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.