Saat Pemilu Narasi Tak Begitu Penting, Di Tengah Masyarakat Uang Jauh Lebih Penting

0

FORUM Ambin Demokrasi mengadakan diskusi yang bertemakan ‘Perang Narasi dan Mimpi Pemilu Cerdas Berintegritas’, yang dilaksanakan di Rumah Salam Sungai Andai, Rabu (17/5/2023).

SEBAGAI pemantik dihadirkan, Muhammad Effendy, Winardi Sethiono, Siti Mauliana Harini, Haris Makkie, Noorhalis Majid, Kahaitiadi Asa, serta beberapa akademisi dan para calon legislatif yang di pandu oleh Fahturrahman Kurnain.

Winardi Sethiono, seorang pengusaha yang sekaligus Ketua Partai NasDem Kota Banjarmasin membenarkan, bahwa sekarang ini narasi tidak begitu penting, di tengah masyarakat, uang jauh lebih penting. Bahkan ia setuju, bahwa Habaib dan Gusti, juga kalah dengan uang.

Melihat kondisi tersebut dia mengatakan, edukasi sangat diperlukan. Bila dibiarkan, akan semakin parah. Masyarakat sangat cuek, kecuali ada isu bahwa daerah ini akan tergadai, baru masyarakat peduli.

“Kodisi seperti ini diperparah oleh krisis para akademisi yang tidak mau turun tangan melakukan berbagai pendidikan politik. Akademisi diam saja, asik dengan dunianya. Padahal perannya sangat diharapkan,” ungkap Winardi Sethiono.

Masih menurut pengusaha advertising ini, bahwa politik uang sudah sangat parah, kondisinya sudah demikian, seperti tidak dapat dihindari. Akademisi juga sudah demikian adanya, sangat sulit merubahnya.

Dengan kondisi yang semakin parah itu, maka dalam menyampaikan kebenaran, tidak perlu lagi sopan santun, sampaikan saja dengan gamblang sejelas-jelasnya, agar tidak dianggap angin lalu.

Sampai kapan pun, masyarakat tetap akan bodoh, karena memang diinginkan untuk terus bodoh, tidak perlu ada pendidikan politik, sebab hanya akan menyulitkan kelompok oligarki yang selama ini menguasai pemilu.

Khariadi Asa, seorang jurnalis dan mantan penyelenggara pemilu mengatakan, bahwa terkait berita hoax yang banyak di media sosial, Kementrian Kominfo setiap tahun selalu mendeteksi ribuan berita tersebut dan mengklarifikasinya.

Namun entah kenapa, selalu saja mucul berita hoax dan itu sangat memberi pengaruh pada masyarakat. Rupanya, kemajuan teknologi yang melanda masyarakat, tidak dibarengi dengan kemampuan literasi.

Sementara itu, seorang politisi baru perempuan dari Partai NasDem Hastati mengatakan, bahwa dalam komunikasinya dengan masyarsakat selalu terhambat oleh pertanyaan soal ada tidaknya uang yang dimiliki.

Selalu ia sampaikan bahwa, tujuannya terjun politik justru dalam rangka melawan money politic, jadi pasti tidak ada uang untuk money politic. “Kalau semua calon melakukan hal seperti ini, pemilu akan lebih baik,” katanya.

Lain halnya dengan Lidia Agustina, milenial yang aktif dalam berbagai organisasi ini, memberikan gambaran bahwa anak muda sekarang sepertinya apatis terhadap pemilu. “Untuk apa anak muda ikut sibuk pemilu, toh tidak berdampak langsung dengan mereka. Lebih baik memikirkan diri sendiri saja,” terangnya.

Kalau ikut memilih atau ikut mendukung, toh tidak akan diperhatikan juga, sebab ini dunianya orang tua, bukan dunianya anak muda. Begitulah kebanyakan persepsi yang ada di kepala anak-anak muda. Karena itu perlu pencerahan, termasuk oleh akademisi.

Herliani, ibu rumah tangga yang baru ikut terjun dalam politik dan memilih menjadi caleg NasDem berpendapat, sangat sulit menghapus money politic. Ia mengaku mengandalkan berbagai komunitas emak-emak yang sering dia ikuti dan berinteraksi, termasuk beberapa komite sekolah yang dia aktif menangani.

“Namun, pertanyaan yang sering mucul, ada tidak uangnya? Sekarang bagaimana memahamkan agar tidak boleh ada money politic, dan tugas siapa memahamkan tersebut?” tanya Herliani

M Yunus, mantan aktivis buruh dan caleg NasDem mengatakan, bahwa yang dilakukan caleg pada dasarnya bagaimana mampu menjual gagasan atau ide kepada masyarakat, sehingga masyarakat tertarik untuk memilih yang melemparkan gagasan tersebut.

“Satu ilmu tua yang dimiliki manusia, yaitu ilmu menjual, meyakinkan bahwa yang dijualnya, layak untuk dibeli. Dalam menjual, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu bagaimana mampu memberikan perhatian, bagaimana mampu menciptakan ketertarikan, bagaimana dapat memenuhi keinginan masyarakat, dan pada ujungnya mampu mendorong untuk melakukan,” beber M Yunus.

“Sementara ini, banyak orang yang hanya menjual kecap. Seolah memiliki ini dan itu, mampu memenangkan partai dengan kekuatan sumber daya yang disampaikan, dan partai percaya saja dengan orang seperti itu,” timpalnya.

Terkait sistem Pemilu, kemungkin pada Pemilu 2029, sistem proporsional terbuka dan tertutup akan digabung. Agar memenuhi keterwakilan perempuan, maka calon dari perempuan akan tertutup. Sehingga calon perempuan di parlemen minimal jumlahnya 30 persen.

Siti Mauliana Harini akademisi Fisip ULM menyampaikan, bahwa pembicaraan soal keterwakilan perempuan, bagian dari gerakan sosial. Tujuannya agar perempuan berani. Bila ada yang berani, maka akan mendorong dan memotivasi perempuan lainnya untuk ikut dalam pemilu.

Terkait narasi, menurutnya lebih banyak disampaikan untuk kekuasaan. Antara narasi dengan penyampai narasi atau narasumber, lebih kuat narasumbernya. Orang lebih melihat penyampai pesan dari pada isi yang disampaikan.

“Padahal, pengetahuan harus terlepas dari subyeknya. Siapapun penyampainya, yang paling penting adalah apa yang disampaikan, apakah mengandung pengetahuan atau tidak. Sementara itu, kalau celeg menyampaikan sesuatu, ia harus terlihat baik bagi rakyat, sebab orientasinya pada kekuasaan,” papar Siti Mauliana Harini.

Disebutkannya, di dalam masyarakat sendiri dalam melihat narasi tidak pernah obyektif, selalu dianggap ada kepentingan atas narasi yang disampaikan. Sebaik apapun narasinya, yang dilihat adalah kepentingan apa di balik narasi tersebut. Narasi dianggap selalu memiliki kepentingan tertentu, sehingga tidak pernah didengarkan.

“Akademisi juga sulit untuk menyampaikan berbagai hal, sebab setiap kali berkomentar, selalu bertujuan atau dianggap bertujuan mencari panggung. Tidak murni untuk menyampaikan pengetahuan,” keluhnya.

Nasrullah, seorang dosen antropolog dari ULM juga menimpali pertanyaan soal Habaib yang begitu menonjol di daerah ini saat Pemilu, padahal di tempat lain tidak. Sehingga narasi, kalah dengan simbol-simbol serupa tersebut. Kualitas narasi semakin rendah, termasuk narasi yang disampaikan anggota DPRD.

“Narasi, kalah dengan figur. Dan politik sekarang ini lebih menonjolkan figur. Tidak pada pemilihan narasi. Anehnya, kenapa negara tidak memunculkan narasi dulu baru kemudian bicara figur. Lihat saja, yang utama disampaikan adalah figurnya, bukan narasinya. Nanti pada akhirnya, narasi hanya menjadi pelengkap dari figur yang diusung. Figur jauh di depan, dan narasi tertinggal di belakang. Buruknya lagi, bukan hanya soal mengabaikan narasi, tapi juga orang. Sebab pada akhirnya bukan narasi atau orang, akan tetapi berapa uang yang diberikan,” beber Nasrullah.

“Pemilu kita, selama ini bertarung mendukung tokoh, bukan tokoh yang menyelesaikan persoalan. Kalau mampu menyelesaikan persoalan dengan narasi-narasi yang disampaikan, bisa saja kemudian berdamai dengan tokohnya,” ucapnya.

Publilk sendiri tidak memunculkan persoalan untuk diselesaikan melalui gagasan-gagasan. Mestinya media masa sendiri memfasilitasi pertarungan wacana, pertarungan narasi, bukan pertarungan orang. Namun, ketika kita mempersoalkan narasi, sepertinya yang menjabat terdahulu seolah tidak berhasil, sehingga diperlukan narasi baru untuk memperbaikinya.

Muhammad Effendy menambahkan, bahwa di Amerika orang menang pemilu karena narasi. “Di sana, narasi antara satu partai dengan partai lainnya sangat jelas bedanya, sehingga pemilih dapat menentukan ikut narasi yang mana. Di tempat kita narasinya tidak ada, sehingga semua partai sepertinya sama saja, sama-sama tidak memiliki narasi. Yang dijual hanya orang, figur, bukan gagasannya,” ungkapnya.

“Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Partai politiklah? Sebab partai yang merusaknya, membiarkan anggotanya berkeliaran sendiri dengan caranya masing-masing dalam memenangkan pemilu, termasuk dengan cara money politic,” timpalnya.

Bila sistem proporsional tertutup, maka partainya juga tertutup, ada ideologi pada setiap partai, sehingga memiliki identitasnya masing-masing, misal partai buruh memperjuangkan kepentingan buruh. Seperti Partai Masyumi yang memperjuangkan kepentingan agama dan sebagainya. Partai menarasikan yang diperjuangkan. Hal tersebut bisa terjadi, apabila ada otonomi partai di daerah.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.