Tragedi Kemanusiaan Kematian Dokter di Tengah Wabah Covid-19

0

Oleh : dr Abd Halim, Sp.PD, SH, MH, MM.FINASIM

TINGGINYA angka kematian dokter dan paramedis di Indonesia melebihi dari negara lain seperti Amerika Serikat. Sejak kasus virus Corona yang pertama muncul di Indonesia diumumkan pemerintah hingga kini per 21 Agustus 2020 setidaknya sudah ada 86 kematian dokter.

KASUS kematian itu diakibatkan positif terinfeksi Covid-19 dam 12 persennya adalah dokter spesialis. Dari data grafik yang dibuat media kumparan tanggal 21 Agustus persentase dokter spesialis terbanyak adalah spesialisasi penyakit dalam (Sp.PD).

Selain yang meninggal dunia, banyak dokter berstatus sebagai pasien yang asymtopatik, bergejala ringan sampai sedang berat. Hasilnya, para dokter tersebut harus isolasi mandiri atau dirawat di ruang isolasi rumahsakit.

Yang cukup memprihatinkan, tingkat kematian dokter di Indonesia adalah sekitar 2.4 persen atau 6 kali lipat dibandingkan dengan tingkat kematian dokter di Amerika Serikat, yang merupakan negara dengan peringkat pertama jumlah kasus Covid-19 di dunia.

BACA : Lima Hari Dirawat Akibat Covid-19 di RSUD Ulin, Dokter Senior RSUD Damanhuri Tutup Usia

Sebagai contoh di Malang raya sejak Maret 2020. Tercatat, dokter di Malang Raya total sudah ada 16 orang yang positif Covid-19 dan tiga orang di antaranya meninggal dunia. Yang terbaru, telah tutup usia pada 12 Agustus 2020, dr Achmad Chusnul Chuluq Ar MPH yang merupakan dokter IKM saat penulis menempuh pendidikan dokter umum di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang pada 1986.

Di Kalimantan Selatan, jumlah dokter yang terpapar positif covid 19 sudah di angka lebih 60-an. Untuk dokter yang bertugas di Kalsel, laporan sementara sudah ada 60 orang yang terpapar Covid-19. Dan tiga orang telah meninggal dunia. Hal ini ditegaskan dr Mohamad Rudiansyah, Ketua IDI Wilayah Kalsel seperti dirilis jejakrekam.com, Rabu (22/7/2020).

Teranyar adalah dokter senior RSUD Damanhuri Barabai yang sempat dirawat dengan ventilator di ICU Covid-19 RSUD Ulin Banjarmasin, dr Aris Sugiharjo Sp.PD juga tutup usia akibat terinfeksi virus Corona.

Penyebab Terpaparnya Dokter dan Kematian Dokter Tanggung Jawab Siapa?

Ketika awal terjadinya pandemi Covid19 ini, negara kita termasuk pemerintah yang berkuasa. Termasuk, sarana kesehatan seperti RS dan lainnya, para petugas kesehatan, dokter dan paramedis dan infrastruktus sarana kesehatan lain tergolong tidak siap. Mereka kaget luar biasa, di samping sikap pemerintah yang menyepelekan pandemi ini, tanpa melakukan antisipasi yang serius dan radikal.

Baik dalam bentuk kebijakan, perangkat hukum sebagai landasan yuridis dalam penanggulanngan wabah ini dan menyediakan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan seperti kelangkaan APD yang standar, penyediaan masker yang proteksi bagi nakes dan rakyat.

BACA JUGA : Kasus Corona Kompleks, IDI Sebut Ada 60 Dokter di Kalsel Terpapar Covid-19

Padahal, menurut konstitusi NKRI jelas ada amanah kewajiban dan tugas negara dan pemerintah seperti dalam alinea keempat pembukaan dan pada pasal 28 H UUD 1945.

Kewajiban pemerintah dalam penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Penanggulangan Wabah pasal 5 ayat (1) yang menyatakan pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah.

Caranya meliputi antara lain :

1. Penyelidikan epidemiologis;

2. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina;

3. Pencegahan dan pengebalan;

4. Pemusnahan penyebab penyakit;

5. Penanganan jenazah akibat wabah;

6. Penyuluhan kepada masyarakat;

7. Upaya penanggulangan lainnya.

Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular menjelaskan apa itu tujuan penanggulangan wabah. Upaya penanggulangan wabah mempunyai dua tujuan pokok yaitu :

1. Berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan.

2. Membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas ke daerah lain.

Pasal 10 Pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

Semakin hari semakin banyak rakyat Indonesia yang terpapar positif Covid-19. Bahkan, belum ada tanda-tanda menuju kurve puncak. Pakar epidemologi dari FKM UI Dr Pandu Riono pun menyebut puncak kasus Covid-19 RI baru akan mencapai puncaknya pada awal semester pertama hingga pertengahan 2021. Tingkat penularan lalu baru akan mulai melandai pada akhir 2021 hingga 2022. Menurutnya, proyeksi tersebut memungkinkan jika penanganan pandemi virus corona masih lambat seperti saat ini.

BACA JUGA : Kisah Nafizah, Dokter Magang Asal Tabalong yang Berhasil Sembuh dari Covid-19

Pandu juga melihat kurva penyebaran sejak awal Maret, belum ada tanda-tanda kurva akan melandai. Bahkan, pada Jumat (28/8) kasus positif virus Corona harian kembali memecahkan rekor baru, bertambah 3.003 orang dalam 24 jam.

Menurut data dari satgas penanggulangan Covid-19 bahwa kasus baru positif covid-19 di Indonesia kembali menembus jumlah rekor harian dengan 3.308 orang pada Sabtu (29/8/2020).

Angka tersebut merupakan akumulasi kasus baru selama 24 jam dari kemarin. Sehingga menambah keseluruhan kasus corona menjadi 169.195 orang. Kasus baru hari ini menembus rekor angka kasus harian terbanyak sejak awal pandemi. Sementara itu, jumlah kasus yang dinyatakan sembuh ada 122.802 kasus dan 7.261 kasus lainnya meninggal dunia.

Masih tingginya angka kejadian ini menyebabkan tingginya angka kesakitan akibat Covid-19 ini dan menyebabkan penuhnya ruang perawatan di RS Rujukan dan Non Rujukan. Minimnya tenaga dokter yang mempunyai kompetensi dan kewenangan klinik dalam menangani kasus dan penyakit Covid-19 yang sekarang bermanifestasi.

BACA JUGA : Ahli Paru yang Minim, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Ikut Tangani Pasien Covid-19 di Kalsel

Jadi, bukan saja di sistem saluran pernapasan tetapi juga di multiple organ seperti jantung, hati dan saluran percernaan, sistem cerebral dan ginjal serta sistem hematologi. Hal ini menyebabkan berpeluang besar terpaparnya para dokter baik FKTP dan FKTL dan di Kota Banjarbaru sudah banyak sejawat dokter di puskesmas, klinik dan praktek mandiri yang terpapar Covid-19.

Hal ini jadi karena banyaknya kasus suspek asymptomatik atau istilah dulu OTG di lingkungan masyarakat dan berobat ke FKTP dengan keluhan yang lain.

Di samping itu, di FKTL RS rujukan dan non Rujakan para sejawat bisa terpapar saat melayani di polikinik dan di IGD saat penderita MRS dengan gejala lain atau Covid-19. Risiko tinggi juga bisa tertular pada saat pelayanan di ruang perawatan dan isolasi pasien Covid-19. Pentingnya tetap konsisten menjalankan Protokol Kesehatan dengan APD sesual levelnya harus dilaksanakan.

Akan tetapi faktor lain yang menjadi penyebab terpaparnya para dokter dan tingginya angka kematian dokter akibat Covid-19 karena kelelahan dalam pelayanannya, kurang istirahat yang cukup dan stress baik fisik dan psikologis sehingga menyebabkan penurunan daya imunitas tubuh disamping kurangnya asupan vitamin dan suplemen yang menurut KMK Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 menjadi tanggung jawab pemilik sarana pelayanan untuk menyediakannya.

BACA JUGA : Legalitas Praktik Kedokteran Melalui Audio Visual (Telemedicine) Saat Pandemi Covid-19

Penyebab hulu dari timbulnya masalah saat ini sudah berdampak multidimensi adalah kurang seriusnya rezim ini penanangan pada awal bahkan menyepelekan dengan pernyataan Presiden Jokowi dan para menterinya.

Pengambilan kebijakan PSBB dan penerapan New Normal dengan membuka fasilitas dan hal hal yang dilarang dalam PSBB. Kemudian rakyat diarahkan ke adaptasi kebiasan baru. Tidak ada kepastian hukum dalam penerapan protokol kesehatan dan sanksi bagi pelanggatnya juga berpengaruh terhadap penyebaran yang masif sampai hari ini.

Dampak Kematian, Mahal dan Lamanya Mencetak Dokter

Pendidikan dokter sangat berbeda dengan sarjana dan profesi lain baik dari metode, lama pendidikan, biaya pendidikan dan regulasi pemerintah yang mengatur pada saat pendidikan dan pasca pendidikan.

Menurut UU Nomor 20 Tahun 2013 bahwa pendidikan kedokteran untuk dokter umum meliputi pendidikan akademik dengan 8 semestar yang menghasilkan sarjana kedokteran dan pendidikan profesi dokter selama 4 semester dan menghasilkan seorang dokter umum.

Sebelum bisa mandiri seorang dokter baru wajib mengikuti program intership selama 1 tahun. Diperlukan waktu 6 bulan bahkan lebih untuk menunggu keikutsertaan program tersebut.

Dengan regulasi baru bahwa setelah intership seorang dokter umum untuk dapat berprofesi sebagai dokter umum di FKTP diharuskan mengikuti pendidikan DLP selama 3 tahun atau melanjutkan pendidikan spesialis dengan lama pendidikan minimal empat tahun.

Dari biaya pendidikan pun sudah jadi rahasia umum sangat mahal dan mungkin hanya orang orang berduit dan ekonomi kuat. Selain itu, juga harus mempunyai tingkat kecerdasan di atas rata-rata untuk bisa menyelesaikan pendididkan tersebut. Minimal biaya yang harus dikeluarkan peserta didik kedokteran umum pada awal pendidikan, membayar ‘sumbangan’ yang sangat besar sangat besar mininal Rp 150 juta sampai lebih Rp 1 miliar.

In belum lagi, SPP per semestar antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Ditambah biaya hidup, biaya buku dan sebagainya. Demikian pula untuk pendidikan dokter spesialis memerlukan waktu yang lama dan biaya sangat besar dan pengorbanan materi dan immaterial, fisik dan mental psikologis yang sangat besar.

BACA JUGA : Dokter dan Perawat Terjangkit, 11 Karyawan RSUD Sultan Suriansyah Positif Covid-19

Pengorbanan keluarga juga sangat penting dan besar tidak bisa diukur dengan materi. Bisa kita bayangkan bagaimana dampak terhadap kematian seorang dokter terutama dokter spesialis terutama tenaga mereka sangat diperlukan dalam penangangan wabah ini.

Tidak mudah mengganti dokter secara instans dan perlu biaya yang sangat besar dan waktu yang sangat lama. Menurut penulis, selain masih massifnya penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat dan tingginya kematian dokter adalah bukti dan petanda kegagalan rezim ini dalam menjalankan fungsi negara dan pemerintah menjalankan amanah dan kewajiban seperti diamanahkan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 4 Tahun 1984 dan UU Nomor Tahun 2018.

Demikian artikel ini, harapan penulis kejadian gugurnya para sejawat penulis tidak bertambah dan pemerintah harus mengevaluasi ulang kebijakannya dengan tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat (salus populi suprema lex esto).(jejakrekam)

Penulis adalah Dokter Ahli Utama/Pembina Utama Madya RSDI dan Klinik Utama Halim Merdeka

Anggota Kongres Advokat Indonesia dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia

Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel.

Kandidat Doktor Ilmu Hukum Unissula Semarang

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.