Penaikan Tarif Alur Barito Tunggu Regulasi Baru BUMD

0

GANJALAN regulasi akan dihadapi PT Ambang Barito Persada (Ambapers) dalam menggulirkan wacana revisi Perda Nomor 11 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Alur Ambang Barito yang mengatur pungutan retribusi bagi para pengguna jalur pelayaran antara Laut Jawa menuju Sungai Barito ke Pelabuhan Trisakti Banjarmasin atau pelabuhan khusus lainnya.

PRODUK hukum yang ditetapkan era Gubernur Sjachriel Darham pada 9 Agustus 2004, terdiri dari 9 bab dan 19 pasal, menerapkan tarif jasa alur yakni bagi kapal pengangkut batubara dikenakan USD 20 sen per ton, serta kapal pengangkut barang lainnya USD enam sen per grose tonnage (GS) bagi kapal berbendera asing, serta Rp 300 per GT untuk kapal berbendera Indonesia. Kurs dollar AS itu diberlakukan berdasar pada nilai konversi ke rupiah pada hari dipungutnya channel fee.

Ada pengecualian bagi kapal yang tidak dikenakan channel fee yakni kapal khusus pengangkut sembako, kapal penumpang termasuk jenis ferry dan roro, kapal niaga  dengan ukuran 1.000 GT ke bawah, kapal milik atau carter PT Pertamina (Persero) pengangkut bahan bakar minyak (BBM) dan gas, kapal kosong, kapal layar motor (KLM) dan perahu layar motor (PLM), kapal-kapal dengan tugas khusus pemerintah, kapal Palang Merah, kapal perang dan kapal keruk.

Kapal yang dikenakan tarif channel fee itu berlaku sejak kedalaman alur sudah mencapai -5 meter LWS dan lebar dasar laut mencapai 100 meter, dapat dilayari 24 jam, dan berpapasan dengan kapal-kapal yang memiliki draft kurang dari -5 meter, dan untuk ponton lebar maksimal 5 meter.

Namun, usulan dari PT Ambapers yang merupakan perusahaan patungan antara PT Bangun Banua dengan PT Pelindo III Banjarmasin ini diyakini  Kepala Biro Sarana Prasarana Perekonomian Daerah Setdaprov Kalsel, H Zulkifli, bakal terganjal dengan regulasi di atasnya yang mengatur tentang badan umum milik daerah (BUMD).

“Kami juga belum mengajukan rencana revisi perda ini. Sebab, masih menunggu regulasi dari Kementerian Dalam Negeri (kemendagri). Kami tidak ingin usulan itu berbeda dari ketentuan regulasi baru,” ujar Zulkifli kepada wartawan, Jumat (19/1/2018).

Menurutnya, Pemprov Kalsel juga menunggu regulasi dari Kemendagri terlebih dahulu. Nah, kata dia, jika regulasi itu sudah ada, maka akan dibuat kesesuaiannya. “Kami juga masih menunggu aturan mekanisme pengelolaan BUMD dulu, apabila itu sudah terbit baru kami sesuaikan. Sebab, untuk maju mengusulkan lebih mudah,” tuturnya.

Dikatakan Zulkifli, jika mengajukan sekarang dikhawatirkan terganjal aturan yang baru. Aturan baru ini, masih menurut Zulkifli, sebagaimana diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014.  “Karena adanya perubahan undang-undang ini, maka seluruh regulasi baru juga disesuaikan.  Terutama, dalam Pasal 12 UU BUMD

Menurut Zulkifli, di pasal 12 UU Pemda Nomor 23 Tahun 2014  mengatur tentang BUMD. Namun, aturan di bawahnya yang mengatur tentang teknis operasional belum dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri. Undang-undang harus ada turunannya lagi. Nah, turunannya yang masih kami tunggu. Janji Kememdagri pada tahun ini sudah keluar aturan itu,” bebernya.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Ambapers, Syaiful Adhar mengatakan, selain mengusulkan memperluas objek penarikan retribusi, dalam perda baru juga akan dirubah nominal biaya. Selama ini, angkutan barubara dikenakan biaya sebesar  USD 30 sen per ton setiap melintas.

Maka dari itu, Ambapers mengusulkan kenaikan USD 5 sen per ton, sehingga menjadi USD 35 sen per ton. Biaya retribusi itu, menurut  Syaiful Adhar, sejak tahun 2009 lalu tidak pernah terjadi kenaikan. Makanya, pada tahun depan diusulkan untuk ditingkatkan.

“Dengan perda lama, kami bisa menyetorkan ke kas Pemprov Kalsel sebesar Rp24 miliar per tahun. Dengan perda baru, kami yakin bisa menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp32 miliar. Hitung-hitungannya, Pemprov mendapatkan 6 persen dari total laba rugi yang didapat pihak ketiga dalam hal ini PT Sarana Daya Mandiri (SDM),” beber Iful-sapaan akrabnya.

Kemudian, masih menurut dia, setelah dipotong 6 persen Pemprov Kalsel, maka menjadi 100 persen kembali. “Dari 100 persen ini dibagi antara PT SDM dengan PT Ambapers. PT SDM mendapatkan 88 persen dan Ambapers 12 persen. Dari 12 persen ini jadi 100 lagi di Ampers. Nah, 100 persen yang baru ini 60 persennya deviden ke PT Bangun Banua, dan 40 persen ke Pelindo,’’ bebernya.

Mantan Wakil Ketua DPW PAN Kalsel ini mengatakan chanel fee tersebut sah-sah saja ditarik oleh PT Ambapers dan pihak terkait. Sebab, dalam merawat alur memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu, pengguna alur juga dengan adanya perawatan bisa mengurangi biaya operasional.

“Sebelum ada perawatan alur, kapal besar masuk ke pelabuhan menggunakan dua kapal tarik di depan dan belakang. Sekarang ini, hanya menggunakan satu kapal tunda. Artinya, pengguna alur sudah diuntungkan,” klaimnya.

“Makanya, untuk merawat alur kami minta biaya retribusi tadi. Untuk merawat alur inni, kapal keruk bekerja 24 jam setiap hari. Sekali keruk hingga 200 metrik ton sehari. Kalau tidak dikeruk akan dangkal. Untuk pengerukan memerlukan biaya di kisaran Rp100 miliar per tahun,’’ pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis : Sayyidil Ahmada

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Youtube

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.