Berpotensi Pungli, Layanan Sporadik Tak Ada Dasar Hukum

0

INVESTIGASI yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Kalimantan Selatan menemukan fakta adanya pungutan dalam pelayanan registrasi surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah atau biasa dikenal sporadik atau segel tanah dalam kalangan masyarakat awan, ternyata tidak memiliki dasar hukumnya.

TEMUAN ini pun tak dibantah peserta focus group discussion (FGD) yang dihadiri para rumah, kepala desa, camat, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bagian Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kalsel serta Tim Saber Pungli Kalsel di Hotel Rodhita Banjarmasin, Selasa (11/7/2017).

“Karena tak ada dasar hukum, makanya layanannya tidak standar. Prosesnya tidak sama dan tentu saja potensi pungutan liar (pungli) sangat tinggi,” ujar Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel, Noorhalis Majid kepada jejakrekam.com. Menurutnya, hasil investasi ini dilakukan Ombudsman dengan objek penelitian di Banjarmasin, Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Barito Kuala (Batola). “Dari seluruh kabupaten tersebut, tidak ada satupun yang memiliki dasar hukum dalam memberikan layanan kepada masyarakat pengaju sporandik,” ucapnya.

Dari temuan Ombdusman, beber Majid, pungutan atas layanan ini beragam, antara Rp 250 ribu hingga lebih dari Rp 1 juta. Lebih tinggi lagi, jika tanah yang ingin dibuatkan surat keterangan itu berada di wilayah perumahan atau lokasi pengembangan, biayanya lebih mahal lagi. “Biayanya pungutan dimanfaatkan untuk operasional, kesejahteraan petugas dan sebagian ada yang menyisihkannya untuk pendapatan desa,” tutur Majid.

Mantan Ketua KPU Kota Banjarmasin ini menambahkan layanan yang tidak standar ini seringkali menimbulkan konflik.  “Ketika konflik, desa atau kecamatan tidak memiliki mekanisme penyelesaian konflik akibat dari terbitnya sporadik tersebut.  Padahal sporadik adalah hulu dari administrasi tanah, kalau tidak beres maka ujungnya pasti konflik tanah berdampak sosial dan hukum,” ucap Majid.

Jebolan STIE Indonesia ini mengatakan hasil investigasi dan FGD ini akan disusun untuk memberikan masukan kepada pemerintah daerah, sehingga semua layanan memiliki dasar hukum. “Tidak boleh layanan publik tanpa dasar hukum. Agar ada kepastian bagi masyarakat dan  tidak bermasalah secara hukum,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis : Didi G Sanusi

Editor   : Didi G Sanusi

Foto     : Istimewa

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.