Inilah Rekomendasi PGRI atas Penerbitan PP 19/2017

0

PERUBAHAN terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Hal ini seiring dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 serta rancangan pembentuakn Asosiasi Guru Mata Pelajaran (AGMP) sebagai pengganti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

DIKUTIP dari postingan Dwi Atmaja dari APKS PGRI Provinsi Jawa Timur yang turut membahas perubahan regulasi yang berlaku di dunia pendidikan di Indonesia. Untuk itu, Ketua Umum Pengurus Besar  Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengelar rapat koordinasi nasional (rakornas) di Hotel Fave Jakarta, pada 19-20 Juni 2017 lalu.

Ada 11 tim perumus dari PGRI yang mewakili seluruh Indonesia dilibatkan yaki Dr (C) Dudung Koswara, M.Pd (Ketua PGRI Kota Sukabumi, Jawa Barat), Ketua PGRI Kota Palangkaraya DR Ernawati, Wakil Ketua PGRI Kalsel DR Amka, Wakil Sekretaris Umum PGRI Provinsi Jabar, Dede Hidayat, APKS PGRI Jawa Timur Dwi Atmaja, Ketua PGRI Madiun Hariyadi, Ketua PGRI Kabupaten Banjar M Arsyad, Sugeng Mulyo S (Ketua PGRI Kota Yogyakarta), Suparman (Ketua Sekbid Advokasi Hukum Jabar), M Rukhyat Zain mewakili PGRI Kabupaten Cirebon, serta  Budi Setia Baskara (PGRI Kota Sukabumi).

Hasil kajian dari tim perumus ini adalah meninjau ulang PP Nomor 19 Tahun 2017 yang mengubah atau mengganti pemberlakukan PP Nomor 74 Tahun 2008. Rekomendasi dari tim perumus itu adalah ada tiga yakni pasal yang  diubah atau dihapus, hasil kajian dan rekomendasi.

Pasal dirubah/dihapus mencakup butir-butir pasal yang akan ditinjau, lalu hasil kajian yang membahas perbandingan/kesenjangan/kelemahan pasal dan rekomendasi atau usulan perubahan dan solusi kesenjangan. Ada beberapa matrik materi yang diubah seperti Pasal 1 butir  9 yakni perbedaan pengertian guru tetap dalam PP 74/2008 dijelaskan bahwa guru tetap adalah guru yang diangkat oleh pemerintah,pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan, atau satuan pendidikan untuk jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun secara terus menerus dan seterusnya. Sementara dalam PP 19/2017 ditegaskan bahwa guru tetap adalah guru yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau diangkat oleh pimpinan penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat berdasarkan perjanjian kerja dan telah bertugas untuk  jangka waktu paling sedikit 2 (dua) tahun dan seterusnya. Atas pasal itu, PGRI mengusulkan kata perjanjian kerja pada revisi PP 74 perlu dipertegas, karena ada guru yang mengabdi sebelum UU ASN diberlakukan.

Kemudian Pasal 8 yang diubah berdasar kajian dari PP 74 dicantumkan sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secara obyektif, transparan, dan akuntabel”. Yang kemudian dalam PP 19 ada kata “harus’ dihapus sehingga PGRI meminta agar perlu diperjelas penghilangan kata “harus” dihapus karena dapat menghilangkan kewajiban pemerintah untuk melaksanakan prosedur yang ditempuh.

Lalu, Pasal 12 tentang uji kompetensi  untuk memperoleh  sertifikat pendidik bagi  guru dalam jabatan dihapus. Dari hasil kajian PGRI bahwa ketentuan tentang uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik bagi guru dalam jabatan dihapus. “Masalahya adalah bagaimana nasib para guru dalam jabatan yang belum memperoleh sertifikat pendidik yang jumlahnya masih 30% dari jumlah guru? PPG seperti halnya calon guru?” tulis Dwi Atmaja.

Untuk itu, PGRI merekomendasikan agar hendaknya guru mendapatkan hak untuk PLGP sebagaimana ada ketentuan dalam pasal 12 butir 1 dan 2 ,sedangkan butir 3, 4 dan seterusnya dapat dihilangkan Lalu, kembali ke Pasal 14 PP 19/2017 tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan anggaran uji kompetensi bagi guru dalam jabatan dihapus. Sedangkan, berdasar hasil kajian tim perumus PGRI terungkap meski masa transisi 10 tahun dalam UUGD telah berakhir Desember 2015, bukan berarti gugur kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk membiayai pelaksanaan uji kompetensi (sertifikasi guru) bagi guru dalam jabatan. Harus ada upaya tafsir UUGD Pasal 82 ayat (2) untuk dasar penyelesainnya. Untuk itu PGRI merekomendasi agar masih relevan untuk dimunculkan kembali atau tidak dihapus, alasan tafsir UUGD pasal 82 ayat 2 menyebutkan bahwa bukan untuk menghentikan pembiayaan pemerintah daerah terhadap peningkatan kualifikasi guru

Lalu, pasal yang dibahas PGRI adalah Pasal 15 tentang tunjangan profesi diubah. Sebab, pada Pasal 15 ayat (2) huruf  f tentang tugas tambahan selain huruf a sampai dengan huruf e, perlu segera diatur kaitannyadengan  ekuvalensinya  dengan  penugasan guru sebagaimana disebutkan dalam penjelasan atas PP No.19  (yaitu  tugas tambahan  guru sebagai koordinator PKB/PKG, pembina ekstrakurikuler dan/atau kokurikuler, pembina kepramukaan, pembina UKS, pembina OSIS, dan wali kelas). Lalu,  Pasal 15 ayat (3), ketentuan tentang tunjangan profesi pengawas segera ditetapkan agar tidak melewati masa transisi selama 2 tahun sesuai yang dalam Pasal 67.

Selanjutnya, PGRI juga membahas  Pasal  15 ayat (4) huruf g diusulkan penilaian kinerja berdasakan performa kinerja guru di sekolah, bukan didasarkan hasil tes UKG. Untuk itu, PGRI merekomendasikan perlu umusan khusus bagi guru yang telah tersertifikasi tetapi  kurang dari 24 jam tatap muka dan tidak memungkinkan untuk mendapatkan tugas tambahan tunjangan profesi  pengawas tetap diberikan sehingga PP 74 Tahun 2008 pasal 15 ayat 4 tetap diberlakukan sampai ada penjelasan khusus tentang  pendoman teknis jika ingin diganti dengan tunjangan pengawasUKG hanya diperuntukan untuk pemetaan dalam rangka peningkatan mutu guru berdasarkan peraturan Permendikbud Nomor 57 Tahun 2017 dan tidak berpengaruh pada TPGTugas tambahan a sampai dengan f harus ada atau sikronkan dengan dapodik, atau dapodik mengakomodir butir a sampai f

Bergeser ke Pasal  18 diubah dengan hasil kajian erlu dikaji lebih lanjut terkait bantuan sosial (bansos) sehingga PGRI merekomendasikan agar bansos diharapkan dapat menutup permasalahan kebutuhan sekolah yang terkendala dengan keterbatasan anggaran, sehingga penghapusan untuk sumber anggaran ini akan berdampak pada keseimbangan penyelenggaraan pendidikan.

Pasal 19 sampai Pasal 29 tentang tunjangan fungsional, subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan dihapus. Berdasar hasil kajian PGRI justru mempertanyakan mengapa pengaturan pemberian tunjangan fungsional subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat  tambahan dihapus ?Padahal ketentuan tentang tunjangan dan maslahat tersebut ada pada UUGD Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 17.Penghapusan berbagai tunjangan bagi guru tersebut mengakibatkan  kesejahteraan guru akan berkurang, dan dampaknya akan mempengaruhi kinerja guru. Sehingga, PGRI merekomendasikan bahwa pada ketentuan pasal  24, 25, dan 26 terkait maslahat tambahan perlu di perjelas atau dipertegas melalui petunjuk teknis sehingga mempermudah guru berserta keluarga mendapatkan haknya.

Bergeser lagi ke Pasal 52 tentang beban kerja guru diubah yang dipelopoti PGRI berdasar kajian justru pada Pasal 52 ayat (3) ditindaklanjuti dengan terbitnya Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 Pasal 3 disebutkan bahwa “Hari Sekolah digunakan oleh guru untuk melaksanakan beban kerja guru” Perlu segera diatur lebih lanjut mekanisme tugas tambahan guru agar mencapai 24 jam tatap muka. Untuk itu, PGRI menyarankan perlu menambahkan ketentuan menurut Permendikbud  Nomor 111 Tahun 2014 tentang bimbingan dan konseling, dimana bimbingan dan konseling berdasarkan rasio siswa

Kemudian, ada Pasal 54 diubah yang berdasar kajian PGRI disebutkan bahwa Pasal 54 ayat (4) : Segera  ditertibkan  Permendikbud tentang beban kerja kepala satuan pendidikan dan pengawas dengan melibatkan semua unsur terkait termasuk organisasi guru. Sedangkan, PGRI menilai dalam rekomendasi sudah jelas. Bergeser ke Pasal 58 diubah yang menyebutkan dalam Pasal 58 ayat (4): segera diterbitkan Permendikbud tentang Perencanaan, Pengangkatan, dan penempatan guru dengan melibatkan semua unsur terkait termasuk organisasi guru. Kemudian, PGRI merekomendasikan untuk pengangangkatan guru di daerah khusus tetap mengutamakan guru yang sudah lama mengabdi di daerah tersebut

Begitupula, Pasal 66 tentang Pendidikan Profesi Guru diubah, dari hasil kajian tim perumus diusulkan pada  Ayat (1) PGRI mengusulkan tetap dilaksanakan sertifikasi guru bagi guru dalam jabatan melalui PLPG. Lalu,  Ayat (2) kewajiban pemerintah dan pemda untuk membiayai guru dalam jabatan sesuai dengan UUGD Pasal 13 ayat (1).

Berlanjut ke Pasal 67 yakni segera menerbitkan ketentuan tentang tunjangan Profesi Pengawas sebelum berakhir masa transisi. PGRI merekomendasikan sudah jelas dalam hasil kajian, dan meminta tunjangan profesi pengawas tetap diberikan hingga ada kejelasan lebih lanjut terkait kebijakan yang menyangkut Tunjangan Profesi Pengawas.

Pasal  lain yang tidak disebutkan dianggap ada keberpihakan kepada kepentingan guru sehingga PGRI memberkan dukungan pada pemerintah untuk pelaksanaan pasal dalam ketentuan yang ditetapkan, Selain mengkaji PP No. 19 Tahun 2017 dalam rumusan tim menyertakan masukan-masukan yang diserap dari perwakilan daerah-daerah dalam menyuarakan kepentingan guru, yang masih ada relevansi dengan PP Nomer 19 tahun 2017, antara lain: Ketentuan mengikuti  PPG dengan biaya sendiri (atau subsisdi) dan didahului keharusan nilai UKG minimal 8 adalah melanggar UUGD dan melanggar hak-hak guru untuk mendapatkan  hak  tunjangan profesi

Lalu, pelaksanaan UKG dengan menjadikan syarat mengikuti  PLPG sudah melanggar prinsip pendadogik dan prinsip penilaian, jika diharuskan UKG maka standar nilai tidak 8,0 melainkan rentang 6,1 sampai dengan 6,8. Perlu juga ada uji validitas dan reliabilitas soal-soal  materi  UKG  karena akan menentukan hak-hak guru mendapat TPG melalui proses sertifikasi Mempertegas bahwa penghapusan PLPG untuk sertifikasi dalam jabatan guru bertentangan UUGDPersyaratan kenaikan pangkat yang terlalu rumit untuk golongan IV a ke atas melebihi ketentuan Permenpan RB No. 16 tahun 2009 yang dikategorikan rumit sehingga menghambat karir guru yang berdampak pada pelaksanaan belajar dan perlu ditinjau ulang Kekurangan guru yang  cukup  signifikan  kurang lebih 400.000 orang saat ini di isi oleh guru honorer pada negeri  dan  guru  tidak tetap di sekolah swasta memerlukan regulasi  yang  tidak membatasi guru honorer mereka untuk di angkat menjadi  tenaga ASN. Dan memberikan kesempatan pada pemerintah daerah untuk memprioritaskan mengangkat  tenaga honorer  untuk  menjadi  ASNPerlu regulasi yang mengatur khusus bagi guru mata pelajaran yang bertugas di sekolah dasar (selain guru kelas) menyangkut  sertifikasi Beban tugas pengawas dalam rangka mendapatkan  tunjangan  jangan  terlalu  memberatkan  sehingga  menganggu  kinerja  pengawas.

“Naskah rekomendasi berikut telah diserahkan pada Menteri pendidikan secara langsung di Kementerian Pendidikan. Selanjutnya PGRI mengajak bersama guru-guru di Indonesia untuk mengawal penuh rekomendasi dalam menciptakan tatanan dunia pendidikan yang ramah pada kepentingan profesi guru, PGRI juga menyatakan siap menjadi mitra pemerintah dalam merumuskan segenap aspek kebijakan sehingga meminimalkan seluruh aspek kesenjangan yang akan muncul,” tulis Dwi Atmaja.(jejakrekam)

Penulis  : Didi G Sanusi

Sumber : Postingan Dwi Atmaja

Foto       : Poskota

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.