Nestapa Rasa Sakit Anak-Anak Desa Belanting, Lombok Timur

0

SEJAK bencana gempa melanda Lombok, banyak kisah tak terduga merebak. Bukan hanya tentang mereka yang membutuhkan hunian sementara ataupun mereka yang memerlukan bantuan logistik untuk makan. Kisah ini tentang anak-anak Lombok yang rupanya sudah mengalami penderitaan jauh sebelum terjadinya bencana gempa. Kini, duka mereka makin bertambah. Karena gempa meniadakan kenyamanan, tak ada lagi rumah, rasa sakit makin menjadi-jadi. 

BERGERAK di fase pemulihan ini, kala itu Tim Medis Aksi Cepat Tanggap (ACT) sedang mengerahkan pelayanan kesehatan di beberapa dusun di Desa Belanting, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Tak menyangka, tim bertemu dengan dua anak yang menderita penyakit serius di Dusun Belanting. Bocah pertama punya nama Anto Wijaya, anak berusia dua tahun yang mengalami pembesaran pada tempurung kepalanya.

Anto mengidap hidrosefalus, ada penumpukan cairan pada rongga otak yang menghambat perkembangan fisik maupun intelektualnya. Bahkan di usianya yang sudah menginjak dua tahun, Anto belum bisa berjalan. Jangankan untuk bermain bersama teman-teman, untuk bergerak pun Anto tidak bisa berbuat banyak.

Relawan Medis ACT Muhammad Iqbal Nurwahid mengatakan, hidrosefalus bisa diobati dengan cara operasi. Tujuannya untuk membuang kelebihan cairan serebrospinal di dalam otak. Salah satu jenis operasi yang biasanya diterapkan adalah operasi shunt dengan menggunakan alat khusus berbentuk selang.

“Kemungkinan dulunya waktu mengandung Anto, ibunya kena Infeksi Janin yang menyebabkan radang pada jaringan otak janin. Kami sedang merujuk keluarga Anto untuk membuat BPJS agar operasi bisa segera berlangsung dan lebih mudah,” kata Iqbal.

Selain Anto, tim juga bertemu dengan Diki, remaja pria yang sudah berusia 18 tahun. Diki mengalami pembengkakan pada kakinya, dari pergelangan hingga betis. Kata Iqbal, sementara diagnosa menunjukkan Diki mengidap penyakit filariasis atau kaki gajah. Bahkan juga ada kemungkinan kalau Diki mengalami tumor tulang.

Penderitaan Diki sudah berlangsung sejak ia berusia tujuh tahun. Jadi, terhitung 11 tahun sudah ia bertahan dengan rasa sakit yang tak tahu kapan sembuh. “Rencananya, Insya Allah hari Jumat pekan ini, Tim Medis ACT bersama Tim Mobile Social Rescue ACT akan merujuk Diki ke Rumah Sakit Selong, Lombok Timur,” jelas Iqbal.

“Jika sudah tahu penyakitnya apa, insya Allah kita baru bisa mengetahui pengobatan jenis apa yang dibutuhkan Diki,” tambahnya.

Kakak Beradik Pengidap Osteogenesis

PINDAH ke dusun tetangga, tak kalah pilu, cerita lain datang dari dengan Mirna (13) dan Mursidin (9). Rasa sakit dua anak ini benar-benar mampu membuat kita yang sempurna, jadi lebih penuh rasa syukur. Mereka adalah kakak beradik asal Dusun Pedamekan, mereka sama-sama mengidap kelainan pada tulang.

Kacamata medis menyebutnya dengan osteogenesis, penyakit yang menyerang tulang sehingga mudah rapuh dan patah, bahkan hanya karena dipegang sekalipun tulang mereka bisa patah atau minimal retak.

Iqbal mengungkapkan, Mirna dan Mursidin sudah menderita osteogenesis sejak lahir. Kondisi semakin memprihatinkan ketika osteogenesis termasuk penyakit langka, kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. “Sebelumnya sudah pernah ada tim medis lain yang menangani mereka. Namun, menemui jalan buntu dan menyerah, termasuk keluarganya,” papar Iqbal.

Tak ingin mengulang cerita yang sama dan akhirnya menyerah, Tim Medis ACT beserta tim Tim MSR ACT turut memulai ikhtiar baru, mengupayakan kesehatan bahkan kesembuhan mereka. Nurjannatunaim selaku Koordinator MSR menjelaskan, ACT akan terus membersamai mereka dengan pendampingan. Sambil merujuk mereka berobat, ACT juga memberikan kebutuhan anak-anak itu.

“Utamanya kebutuhan gizi, asupan yang baik sangat perlu untuk mereka. Setidaknya bisa menopang mereka untuk lebih kuat dan bisa bertahan selama menjalani pengobatan,” tutur Nur.(jejakrekam)

Penulis Nimas Afridha Aprilianti
Editor Fahriza

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.