Tersanderanya Objek Morality
Oleh : Haris Wahyudianor
DALAM diskursus kepemimpinan tentu menjadi hal menarik untuk dibahas kali ini. Membahas kepemimpinan, tentu tidak lepas dengan namanya sebuah organisasi. Di mana organisasi menjadi suatu wadah seseorang berserikat, berkumpul,dan menyuarakan pendapat.
HAL ini telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 E ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,berkumpu,dan mengeluarkan pendapat”.
Dalam pasal ini, tentu landasan atas hak dan kewajiban warga negara yang dijamin oleh negara,ini tentu menjadi terbukanya sebuah ruang dialetis dalam menentukan dan menyamakan arah gerakan maupun tujuan dalam kehidupan organisasi.
Dalam organisasi skala besar adalah negara. Apa itu negara? Bahwa negara itu bersifat abstrak banyak asumsi-asumsi dari para ahli terkait negara.Tapi negara sejatinya adalah sebuah komponen yang meliputi didalamnya ada wilayah, penduduk, kedaulatan, pemerintahan dan pengakuan negara lain. Inilah komponen utama yang harus dimilki oleh negara.
Dalam hal ini, pemerintahan menjadi hal yang menurut saya menarik untuk dibahas karena di negara Indonesia sendiri yang menganut sistem demokrasi. Masalah-masalah pelik di pemerintahan terus menjadi sebuah hal-hal yang perlu dikritisi terkait perihal kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Apalagi dalam hal menjadi seorang mahasiswa di mana mahasiswa hari ini dituntut menjadi agen of change dan social control-nya pemerintah.
BACA: Lahirnya Lembaga Negara Independen (1)
Sejatinya kembali sistem demokrasi yang sudah semestinya menjadi sistem pemerintahan di Indonesia, tapi hari ini sistem demokrasi tidak berjalan semana mestinya. Hal ini ditandai dengan berbagai aksi demo mewarnai pinggiran-pinggiran jalan di berbagai kota. Bahkan, di ibukota kita sendiri, aksi-aksi protes terhadap pemerintah terus berjalan, akibat tidak kepuasaan rakyat terhadap kinerja lembaga kepemimpinan di negara Indonesia. Hal ini tentu menjadi perhatian serius pemerintah terkait masalah-masalah pelik yang melanda negeri ini.
Kepemimpinan dalam pemerintahan sendiri adalah sebuah implementasi dari morality. Itu yang perlu dicatat dan diingat selalu oleh lembaga pemerintahan baik itu pemimpin maupun aparatur pemerintah itu sendiri. Sebab, masalah ini menjadi point penting sebenarnya terkait aksi-aksi masa yang terjadi di berbagai daerah untuk saat ini.
Pemerintah saat ini gagal membuat suatu pemahaman terhdap objek dari morality tersebut yaitu masyarakat. Sepatutnya pemerintah harus memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat terkait peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah.
Peraturan itu menjadi penyandera aspek morality yang ada pada rakyat. Peraturan itu sebenarnya hari ini menjadi alih fungsi yang seharusnya peraturan itu menjadi payung hukum dan pelindung bagi masyarakat, tapi nyatanya jadi penyandera morality masyarakat. Ini menjadi sebuah masalah yang terjadi di Indonesia hari ini.
Kepemimpinan pemerintah pun banyak salah menafsirkan fungsi kepemimpinannya sendiri. Kebanyakan pemerintah kembali menanyakan kepada masyarakat, contohnya seperti pertanyaan apakah Anda tidak baca peraturannya dan memahami peraturannya? Hal ini tentu menjadi ganjalan dalam sistem demokrasi. Padahal, pemerintah yang hakikatnya adalah pelayan masyarakat, tapi malah sebaliknya masyarakat tentu menjadi pelayannya pemerintah. Ini yang menjadi gagal pemahaman yang dilakukan pemerintah. Jika pemerintah mampu untuk menafsirkan kepemimpinan sendiri, tidak akan ada sebuah problematika yang melanda negara kita saat ini.
BACA JUGA : Jadi Daerah Penyangga Ibukota Negara, Kalsel Bakal Tersentuh Perubahan
Pemahaman yang dilakukan objek morality tentu akan berbeda jika tidak si pembuat peraturan itu membuat objek moralitynya paham dan mengerti apa maksud dan tujuan peraturan itu dibuat. Hal inilah dapat dibilang tersanderanya morality untuk saat ini yang terjadi di masyarakat. Bisa dibilang juga menjadi kebobrokan yang terjadi di lembaga pemerintah terkait-terkait peraturan-peraturan yang telah dibuat. Aspek legitimasi kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi dasar mereka membuat suatu pemahaman sendiri yang hanya menguntungkan, daripada mereka berbanding terbalik dengan aspek morality yang seharusnya ditekankan oleh pemerintah.
Tentu menjadi hal kritis kita menyikapi problematika hari ini ketika aspek legitimasi kekuasaan berdiri kokoh daripada aspek morality. Pemerintah seharusnya membuat suatu ruang inkubator untuk memulihkan organ-organ yang rusak dari keutuhan suatu negara. Bukan malah membiarkan organ-organ yang rusak itu menjadi semakin berkembang dan dapat menghancurkan keutuhan negara. Inilah menjadi catatan penting juga bagi pemerintah.
Carut marut tentang keadaan negara saat ini tentu menjadi sebuah sorotan tajam bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, pihak-pihak yang terlibat dalam munculnya sebuah problematika bangsa Indonesia menjadi titik nadir mereka sebagai pelayannya masyarakat. Aspek yuridis yang didasari oleh aspek kepentingan membuat hilangnya marwah aspek yuridis yang didasari aspek morality.
Kembali sebuah ketidakpahaman dan kegagalan perumusan peraturan menjadi sebuah kebobrokan kembali terjadi di lembaga pemerintahan. Untuk saat ini, contoh KPK dilemahkan dengan poin-poin yang kontroversial dalam Revisi UU KPK. Ada lagi, RKHUP yang poin-poinnya juga menimbulkan kontroversial.
Hal ini yang membuat belum pahamnya lembaga pemerintah terkait dengan fungsi lembaga pemerintah sendiri, maka dari sebab itu masyarakat wajar khususnya mahasiswa turun ke jalan. Para intelektual kampus ini melakukan aksi demonstrasi karena lembaga pemerintah tidak memberikan sebuah pemahaman terhadap masyarakat.
Maksudnya di sini pemahaman mengenai apa yang memang betul-betul berpihak kepada rakyat, karena ini sesuai dengan sistem demokrasi yang negara kita anut saat ini.
Dalam demokrasi hal yang lebih mendasar yang perlu dipahami bahwa demokrasi merupakan sebuah kebebasan dan fungsi kebebasan sendiri adalah fungsi pengawasan. Yang paling utama adalah pengawasan terhadap lembaga pemerintah.
BACA JUGA : Kaltim Jadi Ibukota Negara yang Baru, Ada Dampaknya bagi Kalsel?
Dalam sebuah teori dari Aristoteles. Dia adalah seorang filsuf Yunani murid dari Plato. Ia menyatakan bahwa sistem demokrasi adalah sistem pemerintahan yang buruk karena sistem demokrasi dipimpin oleh banyak orang untuk kebebasan yang ekstrim.
Dalam teori ini, tentu menjadi point kritis kita dalam menyikapi sistem demokrasi di negara kita. Dalam menyikapi teori ini, saya berasumsi bahwa dilihat aspek positifnya, demokrasi tentu menjadi poin utama dalam mengkritisi segala kebijakan rezim pemerintah yang otoriter.
Karena apabila pemerintah yang otoriter tentu akan berdampak buruk bagi masyarakat indonesia tentunya. Krisis ekonomi mungkin terjadi di negara kita, sektor-sektor produktivitas masyarakat akan mengalami kesenjangan sosial. Oleh sebab itu, sistem demokrasi ini menjadi lawan terhadap rezim-rezim pemerintahan tersebut.
Sebaliknya dalam segi aspek negatif sendiri bahwa kebebasan ini yang identik dengan idealisme yang qodratnya telah dimiliki manusia membuat kebenaran itu akan hilang. Ini akibat terlalu bebasnya seseorang berekspresi mengeluarkan gagasan.
Hasilnya, kemudian memunculkan sebuah perdebatan kadang kala hal yang sudah benar sering sekali dikritisi kembali, maka dari asumsi saya mengenai dampak negatif dari kebebasan itu marwah kebenaran akan hilang.
Dalam porsi ini, saya mengkritisi teori dari Plato bahwa pemimpin yang ideal dalam memimpin suatu negara adalah seorang filsuf. Teori ini menurut saya, akan memunculkan pemimpin yang lebih otoriter, pemimpin tidak percya lagi kepada anggota-anggota di bawahnya kembali lagi bahwa kebenaran itu akan hilang nantinya. Pemimpin seorang filsuf sejatinya pemimpin yang selalu bertanya-bertanya mengapa terjadi seperti ini? Bagaimana jalannya fungsi bisa terjadi seperti ini?
Pemimpin seperti ini terus menanyakan dan terus mengkritisi apa yang sudah dilakukan anggotanya. Maka dari itu, nantinya mungkin mengganggu jalannya sebuah pemerintahan.
BACA LAGI : Membangun Kemandirian Negara Tanpa Jerat Utang
Hal ini tentu menjadi point kritis dalam menyikapi teori pemerintahan yang dikemukakan Aristotels dan Plato. Tetapi kembali pada sistem pemerintahan negara yang kita anut yaitu demokrasi. Jadi peran kita sebenarnya bagaimana kita menyikapi sistem demokrasi ini entah itu dalam paradigma positif ataupun paradigma negatif.
Kembali lagi pada tema yang berkaitan pada objek morality sendiri bahwaobjek morality sendiri yaitu masyarakat adalah sebuah komponen yang paling tidak bisa dipisahkan dari negara. Karena negara tidak akan hadir apabila masyarakat di dalamnya tidak ada, tapi tidak sebaliknya jika masyarakatnya ada tanpa negara pun masyarakat dapat tetap berkembang dengan HAM yang dimiliki oleh kodratnya yang dimiliki setiap manusia.
Maka dari itu, poin dari saya ialah pertama agar mengembalikan sebuah peraturan-peraturan yang tidak sejalan dengan masyarakat. Kedua adanya sebuah fungsi pemerintah yang benar-benar untuk membuat suatu pemahaman terhadap rakyat terkait dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah agar rakyat mengerti dan paham apa maksud dari peraturan sehingga tidak menimbulkan berbagai macam tafsir yang dapat memecah belah bangsa. Ketiga, pemerintah lebih memahami lagi fungsi pemerintah itu sendiri bukannya rakyat yang harus memahami pemerintah.(jejakrekam)
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin