Rupiah Melemah, Rakyat Kian Susah

Penulis: Winingtyas Wardani MT

0

NILAI tukar rupiah terhadap dolar semenjak lebaran sampai sekarang terus melemah. Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa 4 September 2018, rupiah hampir menyentuh angka Rp 15.000 per dolar AS. Bahkan di beberapa dealer atau bank, rupiah sudah berada di atas Rp 15.000 per dolar AS. (liputan 6.com).

MELEMAHNYA rupiah membuat beberapa industri yang berancang-ancang untuk menaikkan harganya yaitu industri makanan dan minuman berbahan berbaku impor yang pembayarannya menggunakan dollar AS. Juga industri obat-obatan serta industri plastik dan aromatik.Peralatan elektronik pun dipastikan juga akan ikut menaikkan harga jualnya.

Naiknya dolar ini tidak menutup kemungkinan akan merembet ke kenaikkan harga BBM yang selama ini masih diimpor dari luar. Kenaikan harga BBM tentu saja akan mempengaruhi kenaikan harga-harga kebutuhan yang lain.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika tidak hanya sekali ini saja. Tahun-tahun sebelumnya juga pernah terjadi.

Sebagai rakyat biasa dampak yang paling dirasakan dengan melemahnya rupiah terhadap dolar, barang-barang kebutuhan menjadi naik. Karena hampir sebagian besar bahan baku makanan seperti gandum, kedelai, gula, dibeli dari luar negeri, dengan dolar AS sebagai alat bayarnya.

Jadi bisa dibayangkan tahu dan tempe yang berbahan baku kedelai impor akan semakin mahal. Sedangkan tahu dan tempe merupakan sumber protein andalan rakyat jelata yang penghasilannya pas-pasan. Kalau harga tahu dan tempe pun naik, bagaimanakah nasib rakyat pra sejahtera? Ini baru makanan belum lagi keperluan obat-obatan dan keperluan lainnya.

Bisa dikatakan rupiah melemah rakyat kian susah, entah untuk waktu berapa lama. Terlepas dari penyebab melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebagai orang awam terhadap ilmu ekonomi, tentu timbul pertanyaan kenapa rupiah berada pada posisi yang sangat tergantung dengan dolar Amerika? Sampai kapan mata uang kita melemah? Adakah alat tukar yang tidak terpengaruh oleh mata uang asing?

Uang sebagai alat bayar dalam dalam sistem ekonomi kapitalis fungsinya tidak hanya sebagai alat tukar tetapi juga bisa diperjualbelikan. Sistem uang yang berlaku adalah sistem uang kertas inkonvertibel, yang tidak ditopang jaminan emas dan perak, tidak mewakili emas dan perak, dan tidak pula mempunyai nilai intrinsik.

Maksudnya uang dengan nilai nominal 100 ribu misalnya , nilai intrinsiknya bisa jadi tidaklah 100 ribu. Bisa jadi lebih murah, karena hanya berupa selembar kertas. Nilai pada uang kertas tersebut hanya bersumber dari undang-undang yang memaksakan penggunaannya sebagai alat pembayaran yang sah.

Bahayanya penggunaan uang kertas (flat money) seperti ini, menurut M Sholahuddin SE MSi, negara-negara penjajah memanfaatkan uang tersebut sebagai salah satu alat penjajahan. Mereka mempermainkan mata uang dunia sesuai dengan kepentingannya dan membangkitkan goncangan-goncangan moneter serta krisis-krisis ekonomi. Mereka juga memperbanyak penerbitan uang kertas inkonvertibel tersebut, sehingga berkecamuklah inflasi yang menggila, yang akhirnya menurunkan daya beli pada uang tersebut. Inilah salah satu faktor yang menimbulkan kegoncangan pasar modal.

Lain halnya dengan alat tukar yang diberlakukan pada sistem ekonomi Islam. Uang dalam pandangan Islam berbasis kepada emas (dinar) dan perak (dirham). Menurut Ir H Budi Suherdiman Januardi MM, dinar memiliki stabilitas tinggi. Nilainya tidak fluktuatif sehingga jika dibandingkan dengan mata uang lainnya tidak akan terdepresiasi bahkan akan terus terapresiasi.

Lebih lanjut Budi menjelaskan, bahwa sejarah telah membuktikan bahwa pada zaman Nabi Muhammad SAW, harga seekor ayam harganya satu dirham. Di zaman sekarang dengan uang yang sama (satu dirham saat ini setara dengan tiga gram perak), seekor ayam masih bisa kita beli. Hal ini membuktikan bahwa emas (dinar) dan perak (dirham) merupakan extra ordinary currency (anti inflasi). Sehingga pada masa kerasulan Muhammad SAW yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah sesudahnya dalam pengelolaan pemerintahannya sangat jarang terjadi resesi ekonomi.

Masih menurut Budi, penerapan dinar dan dirham akan terhindarkan dari upaya menjadikan uang sebagai komoditas. Secara politis, penerapan emas dinar dalam sistem keuangan suatu negara akan memandirikan negara tersebut.Dengan demikian negara tidak lagi tergantung pada dominasi negara luar.

Negara yang kembali ke sistem emas dan perak menurut M Sholahuddin, SE MSi, 2008 : harus melaksanakan politik swasembada. Negara juga harus mengurangi (meminimkan) impor. Selain itu negara juga harus menerapkan strategi substitusi terhadap barang-barang impor dengan barang-barang yang tersedia di dalam negeri. Terakhir negara juga harus menggenjot ekspor atas komoditas yang diproduksi di dalam negeri dengan komoditas yang diperlukan di dalam negeri atau menjualnya dengan pembayaran dalam bentuk emas dan perak atau dengan mata uang asing yang diperlukan untuk mengimpor barang-barang dan jasa yang dibutuhkan.

Dengan kembali pada sistem emas, niscaya akan terwujud kestabilan ekonomi. Krisis ekonomi akan terjadi akan menghilang. Dan yang paling penting lenyapnya hegemoni uang suatu negara atas negara lain.

Namun tentu saja untuk kembali ke dinar dan dirham perlu didukung oleh suatu institusi yang akan menjamin penerapan Islam secara kaffah di setiap aspek kehidupan. Dengan adanya institusi tersebut, mata uang akan stabil dan rakyat pun tidak dibikin susah oleh kenaikan harga. Wallahua’lam.(jejakrekam)

Penulis tinggal di Banjarbaru

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.