Membaca Arah NU Kalsel dan Even Tahun Politik

0

MENCERMATI kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) Wilayah Kalsel, nuansa kepentingan politiknya sangat kental, apalagi menjelang even tahun politik 2018 menyangkut suksesi kepala daerah dan makin mendekatnya Pemilu 2019.

SECARA institusional memang NU tidak berpolitiik, akan tetapi sulit tidak mengatakan bahawa dari struktur kepengurusan yang ada relasi kepentingan politiknya sangat kental. Apalagi tampilnya sejumlah bupati yang masuk dalam jaringan kepengurusan.

Dalam beberapa studi literatur dan beberapa hasil riset membuktikan, seperti yang dilakukan oleh Prof Edward Aspinall dan Muhammad Uhaib As’ad (2014, 2015, dan 2016), di era demokratisasi yang semakin terbuka. Dan, fragmented yang sulit dikendalikan berbagai cara para aktor politik mencari caringan patronase politik. Di Indonesia, pasca Orde Baru, selain penggunaan permainan politik uang untuk membangun basis-basis patronase politik, politik identitas etnis dan simbol-simbol agama seperti NU, Muhammadiyah dan lainnya menjadi sasaran dijadikan basis patronase dan klientelisme untuk kepentingan politik kekuasaan.

Dalam buku Pilkada, Patronase dan Politik Uang (2016) sebagai hasil riset di 18 provinsi di Indonesia dan sebagai editor Prof Edward Aspinall dan Mada Sukmajati telah secara jelas membuktikan dan mengkorfimasi secara jelas terhadap perilaku politik dewasa ini. Simbol-simbol primordialisme (agama, etnis, organisasi sosial keagamaan) menjadi zona perebutan bagi para politisi dan parpol untuk menjadikan para stakeholders yang ada dalam simbol-simbol piomordialisme itu.

Menurut saya, apa yang saya baca dan saya amati yang terjadi dalam struktur NU Wilayah Kalsel sekarang tidak dapat dipisahkan medan magnitute kepentingan politik. Khususnya, dalam konteks dinamika politik lokal di Kalsel, terlebih menjelang pilkada serentak 2018 dan selanjutnya menyongsong Pemilu 2019.

Munculnya nama Berry Nahdian Furqon masuk dalam elite struktur NU Kalsel telah menimbulkan kontroversi di internal ormas Islam berbasis kaum muslim sarungan ini. Berry yang dikenal sebagai aktivis, elite PDI Perjuangan Kalsel tiba-tiba bermetamorfosis dalam jaringan NU sebagai sekretaris wilayah.

Kontroversi tersebut bisa dipahami karena selama yang kita kenal bahwa Bung Berry tidak memiliki kekentalan emosional atau menjadi aktivis NU. Resistensi itu rasional bila dilihat dalam perspektif kultural NU. Akan tetapi hal tersebut bisa terbantahkan,  bila dilihat konteks demokarasi bahwa setiap orang punya hak untuk mengaktualusasikan dan mereposisi diri dalam sosial dan politik, selama memiliki kapasitas dan resources yang mumpuni.

Namun demikian, keberadaan Berry di PDIP dan kedekatannya dengan Bupati Tanah Bumbu (baca Mardani H Maming) dan Bupati Tanah Laut (baca Bambang Alamsyah), imaginasi sosiologi internal warga NU menjadi rasional bahwa NU akan tersandera dalam pusaran kepentingan para aktor, baik aktor yang ada di birokrasi pemerintahan, parpol, pengusaha dan kelompok kepentingan lainnya.

NU adalah the Golden Boy yang menggiurkan bagi para pembaca makna simbolik untuk dijadikan political adviertising sepanjang sejarah domokrasi di negeri ini.Allahu A’lam Bisha Shawab.(jejakrekam)

Penulis : Muhammad Uhaib As’ad

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

Staf Pengajar FISIP Uniska MAB

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.