Titik Lemah Kasus Korupsi Tanpa Diperkuat Hasil Audit

0

BELAJAR dari putusan lepas bebas (onslag van recht vervolging) yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin terhadap enam terdakwa kasus dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) pada Senin (19/1/2015) silam, makanya perlu penyidik dan penuntut umum memperkuat delik materil dalam menyatakan adanya unsur kerugian negara.

MAJELIS hakim tindak pidana korupsi (tipikor) PN Banjarmasin terdiri dari Fery Sormen, Muhammad Agus Salim, Darsono Syarif, Tongani, Dana Hanura, Cris Fajar, Mardiantors dan Akhmad Jainul berpendapat para terdakwa tak melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2011, jouncto Pasal 18 UU Tipikor, seperti didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) gabungan Kejati Kalsel dan Kejari Banjarmasin.

Akhirnya, mantan Sekdaprov Kalsel Muchlis Gafuri, mantan Asisten II Setdaprov Kalsel, H Fitri Rifanie, mantan Kepala Biro Kesra Anang Bahranie dan H Fauzan Saleh (mantan Wakil Bupati Banjar), serta dua bendahara Biro Kesra, Sarmili dan Mahliana, bisa bebas. Walau di tingkat kasasi, ternyata Mahkamah Agung mengambil putusan berbeda dengan menjatuhkan hukum kepada para terdakwa, yang kini tinggal menunggu salinan putusannya untuk segera dieksekusi.

“Dari kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) di Setdaprov Kalsel itu, sudah sepatutnya baik penyidik dari kepolisian dan kejaksaan, hingga penuntut umum harus memperkuat unsur melawan dan kerugian negara,” ujar guru besar hukum administrasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof DR M Hadin Muhjad, di Banjarmasin, Jumat (3/2/2017).

Sebagai saksi ahli yang kerap dihadirkan dalam persidangan, Hadin mengaku pernah menyaksikan adanya laporan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalsel yang menyatakan tak ada kerugian negara dalam kasus bansos. “Tapi, ternyata tanpa hasil audit BPKP, penyidik justru jalan sendiri. Mereka jalan terus, hingga akhirnya ketika dibawa ke pengadilan, unsur kerugian negara ini jadi pertimbangan majelis hakim untuk membebaskan para terdakwa,” ucap Hadin.

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan (UNUSE) ini mengungkapkan inti kasus korupsi adalah menyelamatkan keuangan negara. “Makanya, unsur kerugian negara ini harus dibuktikan terlebih dulu. Ini semangat atau dasar filosofi ketika guru besar ilmu pidana Universitas Trisakti Prof DR Andi Hamzah saat menyusun UU Tipikor itu,” papar Hadin.

Terlebih lagi seiring terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV-2016, doktor hukum jebolan Universitas Padjajaran Bandung ini menegaskan tak lagi konsep potential loss (potensi kerugian) diterapkan, namun harus berupa actual loss (kerugian nyata) bagi keuangan negara atau daerah. “Dulu, sebelum adanya putusan MK itu, berniat saja sudah bisa dihukum. Ya, konsep potential loss itu dipakai, belum bicara aksi yang dilakukan para pelaku korupsi,” tutur Hadin.

Sekarang, menurut dia, para pelaku korupsi bisa dihukum kalau sudah mengambil uang negara atau daerah. Hadin menjelaskan kasus korupsi merupakan ranah pemerintah, artinya perbuatan melawan hukum itu berada di domain pemerintah. “Jadi, kerugian negara yang dilakukan para pelaku korupsi itu yang bisa mengambil kembali adalah pemerintah, bukan pihak swasta. Kalau bisa pihak swasta mau mengambil, ya tetap harus melalui pemerintah,” kata Hadin.

Yang disayangkan Hadin adalah ketika para penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan dalam kasus korupsi justru selalu meminta audit dari BPKP. “Sedangkan, audit yang dilakukan BPKP itu selalu mengacu pada data yang disajikan penyidik. Bukan berasal dari pendapat sendiri dari BPKP. Hasilnya tentu data yang disajikan terbatas,” ujar Hadin.

Ia menyarankan dalam mendalami kasus korupsi, tim audit BPKP harus bisa melakukan investigasi yang lengkap dan menyeluruh. “Saya melihat justru banyak kasus yang berasal dari audit BPKP ini dikalahkan dalam persidangan di pengadilan. Inilah titik lemah dari penyidikan dan penuntutan perkara korupsi,” kata Hadin lagi.

Anehnya lagi, masih menurut dia, ketika BPKP berpendapat tidak ada kerugian dalam kasus korupsi, ternyata penyidik memilih jalan sendiri. “Proses penyidikan jalan sendiri dengan asumsi kerugian negara berasal dari penyidik sendiri. Akhirnya, ketika dibawa ke meja hijau, kasus ini rontok dengan sendirinya,” ucap Hadin.

Padahal, lembaga audit yang telah ditunjuk berdasar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Namun, BPK memang secara personil sangat terbatas, sehingga BPKP yang lebih banyak dipilih penyidik. Nah, ke depan, jika ingin mengusut kasus korupsi, proses penyidikan harus diperkuat hasil audit dari lembaga yang berkompeten, dan terpenting adalah unsur kerugian itu harus dikuatkan bukti dan data yang valid,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis : Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.